Oleh: Fitri Hidayati, S.Pd.
Wacana-edukasi.com, OPINI– Salah satu evaluasi di akhir tahun 2024 adalah naiknya pajak pertambahan nilai atau PPN sebesar 12%. Hal ini telah menggerogoti rasa sejahtera dan memberi energi negatif tersendiri bagi rakyat Indonesia. Beberapa elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan pajak ini yang telah berlaku per 1 Januari 2025 lalu.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, aliansi Mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024). Para demonstran membawa sejumlah poster yang berisi aspirasi dan tuntutan, di antaranya “Utangmu urusanmu. Utang negara ya urusanmu,” bunyi salah satu poster.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa ketergantungan pendapatan negara pada pajak sangatlah tinggi. Negara hanya memfokuskan pendapatan berasal dari pajak. Tentu hal ini sangatlah tidak bijak dan bahkan menyengsarakan rakyat.
Meski PPN 12% tidak dikenakan pada semua jenis barang dan hanya berlaku pada barang dan jasa yang mewah atau premium seperti listrik voltase tinggi, sekolah mahal, daging, dll tentu saja hal ini pasti akan berdampak kepada kebutuhan yang lainnya.
Para produsen pastinya akan meningkatkan pengeluaran lebih banyak (sebut saja kenaikan tarif harga listrik) saat menghasilkan barang dan jasa. Sehingga mereka tidak segan-segan untuk menaikkan harga barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat banyak. Pada analisa ini bukan bermakna keberimbangan lagi, melainkan rakyat biasa akan semakin kesulitan menjangkau kehidupan layak, karena faktanya harga-harga semakin tak terkejar.
Merespon Kezaliman adalah Kewajiban
Islam mengajarkan kepada kita untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Semoga catatan ini akan menjadi koreksi baik, karena Islam mengajarkan kepada kita sebagaimana dalam hadits Rasullullah saw.,
“Barangsiapa (dari umatku) yang ketika bangun pagi tidak memikirkan nasib umat, maka dia bukan umatku (umat Nabi Muhammad Saw)” (HR. Ahmad).
Kepedulian ini adalah merupakan kepedulian terhadap umat dan anak bangsa secara menyeluruh. Mari kembali fokus, mengapa negara giat menaikkan pajak. Hal ini
disebabkan oleh jebakan utang negara yang semakin banyak. Pada juli 2024 utang pemerintah menembus Rp 8.502,69 triliun. Sementara utang luar negeri terus merangkak seperti utang ke Singapura, Amerika Serikat, Jepang, China, dll.
Pertanyaan menarik berikutnya adalah bukankah kita negeri yang kaya tambang, laut, hutan, dan tanahnya pun subur sampai-sampai mendapat zamrud katulistiwa?
Kembalikan pada Islam
Islam mempunya pondasi yang kokoh untuk mengurus kehidupan dunia ini. Akidah Islam memancarkan aturan yang sempurna bagi umat apapun dan dimanapun. Demikianlah Islam mengajarkan untuk mengatur sistem ekonomi dengan tata kelolanya.
Dalam Islam, pemimpin wajib menghargai dan mencintai rakyatnya. Hal ini akan ditunjukkan ketika penguasa berbahagia melihat rakyatnya sejahtera bukan malah abai pada urusan rakyat. Sistem Islam akan mengawal ekonomi negara pada anggaran belanja yang terdapat pada baitul mal. Baitul Mal bersumber fai, jizyah, kharaj, harta rikaz dan zakat. Sedangkan harta milik umum tetap menjadi milik umum. Sehingga tidak diperbolehkan negara menjual kepada individu, kelompok, maupun asing apapun kepentingannya. Sebagaimana dalam hadits Rasullullah saw :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Negara berhak mengelola dan mengembalikan kepada rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung (berupa fasilitas yang dibutuhkan oleh rakyat). Penjualan hak milik umum seperti tambang, laut, hutan, dll kepada swasta adalah pendzoliman yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi kerakyatan.
Sedangkan pajak (daribah : bahasa arab) hanya dikenakan pada saat insidental atau kejadian luar biasa seperti dalam bencana kekeringan, wabah penyakit, dan lain sebagainya. Sehingga pajak tidak boleh dikenakan pada sepanjang waktu atau sepanjang tahun.
Dalam Islam, hubungan rakyat dan pemimpin didasari pada ketaatan dan pelayanan. Artinya rakyat taat pada pemimpin, dan pemimpin memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Maka dalam Islam, kondisi terjebak dalam utang bisa dikatakan bentuk pengabaian kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat tidak terjaga bahkan menjadi budak dan jelata di negerinya sendiri yang kaya.
Perihal utang, Islam mengajarkan kita untuk menjadi negeri yang mandiri. Utang negara adalah bentuk ketergantungan pada pihak lain. Terlebih, utang tidak diperbolehkan kepada negara-negara asing yang berseberangan dengan ideologi Islam. Karena akan menjadikan negeri tergadai dan ancaman dikendalikan oleh asing semakin nyata.
Dalam sistem ekonomi Islam utang riba juga di haramkan baik dalam interaksi antar masyarakat maupun antar negara. Hukum riba dalam Islam, sebagaimana Allah swt menyampaikan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Ali Imron [3]: 130).
Hal ini bisa dirasakan pada saat ini bagaimana asing dengan leluasa menjajah negeri ini secara ekonomi, budaya, dan aspek lain.
Demikianlah gambaran bagaimana pajak yang bertubi-tubi telah membebani rakyat dan tidak adil. Untuk itu sudah saatnya kita kembali pada aturan Islam, dari Allah Azza wa jalla, zat yang berhak membuat aturan bagi manusia dan kehidupan. InsyaAllah keberkahan akan melingkupi kita semua.
Views: 3
Comment here