Opini

Penolakan Cinta, Awal Petaka

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Poppy Kamelia P. BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS. (Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Di balik gemerlap kehidupan remaja yang sering digambarkan penuh harapan dan semangat, tersembunyi realita kelam yang memukul hati kita. Belakangan ini, masyarakat dikejutkan dengan kabar tragis dari Lamongan, Jawa Timur. FPR, seorang pelajar perempuan berusia 16 tahun, ditemukan tewas di sebuah warung kopi. Pelaku yang tak lain adalah teman dekatnya sendiri, AI, tega menghabisi nyawanya hanya karena cintanya ditolak. Jasad FPR ditemukan membusuk beberapa hari setelah peristiwa nahas itu terjadi. (Kompas.com, 17/1/2025)

Tragedi ini bukan sekadar kisah duka, melainkan potret menyakitkan tentang rapuhnya pengelolaan emosi dan hilangnya nilai-nilai agama di tengah kehidupan kita saat ini. Peristiwa ini membuka mata kita bahwa remaja, yang seharusnya sedang sibuk belajar dan menata masa depan, ternyata bisa terjebak dalam lingkaran gelap emosi yang menghancurkan. Tak hanya menyoroti ketidakmampuan remaja dalam mengelola perasaan, tapi juga menggambarkan betapa rapuhnya pondasi moral dan spiritual yang seharusnya menjadi dasar hidup mereka.

Motif pembunuhan yang dilandasi rasa sakit hati akibat penolakan cinta menunjukkan bagaimana lemahnya kontrol diri dapat berujung pada tindakan yang melampaui batas. Bahkan, setelah melakukan tindakan keji ini, pelaku masih terlihat tenang seolah tak ada yang terjadi, (Surya.co.id, 16/1/2025) Hal ini menyiratkan betapa lemahnya nilai moral dan spiritual dalam jiwa generasi muda.

Mengapa ini terjadi? Salah satu jawabannya adalah karena generasi kita tumbuh dalam sistem kehidupan yang jauh dari tuntunan Allah. Sistem sekuler kapitalisme yang mendominasi saat ini telah menjauhkan manusia dari nilai-nilai agama. Sekulerisme menanamkan pandangan bahwa agama hanyalah urusan pribadi, terpisah dari kehidupan sehari-hari. Akibatnya, halal dan haram sering kali diabaikan. Kapitalisme, di sisi lain, mengajarkan bahwa kebahagiaan diukur dari sejauh mana keinginan pribadi terpenuhi, tanpa peduli apakah cara yang ditempuh itu benar atau salah. Kehidupan yang berfokus pada materi dan kesenangan duniawi sering kali mengabaikan kebutuhan akan kedamaian batin yang hanya bisa didapatkan melalui kedekatan dengan Allah.

Dalam sistem seperti ini, remaja dibombardir dengan berbagai pengaruh buruk dari media dan lingkungan. Tayangan yang menormalkan kekerasan, kebebasan yang tanpa batas, dan hubungan antar lawan jenis yang tidak sesuai syariat menjadi “guru” yang salah. Ketika keluarga tidak cukup kuat membentengi mereka dengan nilai-nilai Islam, dan masyarakat juga tidak mendukung pendidikan moral, maka tragedi seperti ini menjadi sebuah keniscayaan.

Islam, sebagai agama yang sempurna, menawarkan solusi yang komprehensif untuk persoalan ini. Dalam Islam, pendidikan bukan hanya soal akademis, tetapi juga tentang pembentukan akhlak mulia, pengendalian diri, dan pemahaman yang benar tentang makna cinta dan hubungan antar manusia. Seorang Muslim diajarkan untuk mencintai sesuai dengan tuntunan syariat, sehingga cinta tidak menjadi jalan kehancuran, melainkan menjadi ladang kebaikan. Dalam ajaran Islam, cinta tidak hanya sebatas perasaan, tetapi juga tentang bagaimana menjaga hati dan mengarahkan setiap perasaan kepada Allah semata. Cinta yang sejati adalah yang mendekatkan kita kepada-Nya, bukan yang menjerumuskan kita dalam tindakan destruktif.

Islam juga mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan sangat jelas. Tujuan dari aturan ini bukan untuk mengekang, melainkan untuk menjaga kehormatan, mencegah fitnah, dan melindungi generasi muda dari tindakan yang melampaui batas. Interaksi antara laki-laki dan perempuan diarahkan agar tetap dalam koridor syariat, sehingga tidak ada ruang bagi hawa nafsu untuk menguasai. Dengan aturan ini, remaja akan belajar menghormati satu sama lain dan memahami bahwa cinta sejati adalah cinta yang diridhoi Allah.

Selain itu, Islam sangat menekankan peran keluarga dalam membentuk karakter anak. Orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini, mendidik dengan kasih sayang, dan memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan emosional dan spiritual anak-anak mereka. Dalam sistem Islam, negara juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif, baik melalui pendidikan yang berbasis akhlak maupun kebijakan yang mendukung kesehatan mental dan spiritual masyarakat.

Tragedi di Lamongan adalah pelajaran berharga bahwa tanpa kembali kepada Islam, kita akan terus menyaksikan generasi muda yang terombang-ambing oleh pengaruh buruk dan lemahnya kontrol diri. Islam tidak hanya memberikan solusi untuk mencegah tragedi seperti ini, tetapi juga menawarkan jalan hidup yang membawa keberkahan bagi seluruh umat manusia. Remaja yang dididik dalam nilai-nilai Islam akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga kuat secara emosional dan taat pada syariat.

Kisah ini seharusnya menjadi renungan bagi kita semua. Sudahkah kita membimbing anak-anak kita dengan nilai-nilai Islam? Sudahkah kita menjadikan agama sebagai landasan dalam setiap aspek kehidupan kita? Jangan sampai tragedi ini hanya menjadi cerita yang berlalu tanpa ada perubahan berarti. Mari kita jadikan Islam sebagai solusi, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk membangun generasi yang lebih baik, penuh cinta yang diridhoi, dan jauh dari kekerasan. [WE/IK]

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here