Oleh: Ratih Wahyudianti
Wacana-edukasi.com, OPINI– Sebuah pagar laut misterius yang membentang sepanjang 30 kilometer di pesisir Tangerang telah memicu kontroversi besar. Investigasi mendalam mengungkapkan adanya kaitan antara pembangunan pagar laut ini dengan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan konglomerat Sugianto Kusuma atau Aguan, pemilik Agung Sedayu Group. Perusahaan-perusahaan tersebut tercatat memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) di wilayah yang seharusnya menjadi kawasan laut (bbc.com, 28/01/2025).
Dugaan kuat menyebutkan bahwa pagar laut ini dibangun untuk membatasi area yang akan dijadikan lahan reklamasi untuk proyek strategis nasional yang tengah digarap oleh Agung Sedayu Group. Meskipun pihak perusahaan membantah keterlibatan mereka, temuan sertifikat HGB atas nama perusahaan-perusahaan afiliasi mereka semakin memperkuat dugaan tersebut.
Kasus ini telah menarik perhatian publik dan pemerintah. Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan jajarannya untuk mengusut tuntas kasus ini. Sementara itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta instansi terkait lainnya tengah melakukan penyelidikan mendalam terkait mekanisme penerbitan sertifikat HGB di wilayah laut dan dugaan praktik manipulasi data.
Skandal Pagar Laut
Polemik seputar pagar laut di Tangerang telah mengungkap kerentanan hukum yang seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Fleksibilitas hukum yang memungkinkan interpretasi yang berbeda-beda, terutama dalam hal kepemilikan lahan dan pemanfaatan ruang laut, telah menciptakan celah bagi praktik-praktik yang merugikan masyarakat banyak. Asas kepentingan yang menjadi landasan pembuatan aturan seringkali disalahgunakan, sehingga hukum menjadi instrumen yang dapat dimanipulasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam kasus pagar laut ini, terlihat jelas bagaimana aturan yang seharusnya melindungi kepentingan publik, justru dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya adanya pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan hukum dan penegakan aturan yang adil bagi semua pihak.
Dominasi kapitalisme telah menggeser keseimbangan kekuasaan dalam tatanan negara. Prinsip kebebasan kepemilikan yang menjadi jantung sistem kapitalisme, secara tidak langsung telah menggadaikan kedaulatan negara untuk mengurusi urusan rakyatnya. Dalam praktiknya, negara seringkali terjebak dalam dinamika pasar yang didominasi oleh segelintir kelompok kapitalis.
Akibatnya, negara lebih berfungsi sebagai regulator yang bergerak sesuai dengan kepentingan bisnis, bukan sebagai pelindung kepentingan rakyat. Negara bahkan cenderung menjadi alat bagi para kapitalis untuk memperkuat dominasinya, dengan cara menciptakan regulasi yang menguntungkan mereka. Hal ini mengakibatkan hilangnya otonomi negara dalam menentukan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Akibatnya, negara tidak memiliki kuasa untuk menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat. Hal ini terjadi karena lemahnya regulasi yang seharusnya membatasi kekuasaan para pemilik modal besar, yang justru sering kali memanfaatkan celah hukum untuk memperkaya diri. Tidak jarang, mereka menggunakan pengaruh ekonomi mereka untuk memengaruhi kebijakan pemerintah, baik melalui lobi politik maupun praktik korupsi yang melibatkan pejabat negara. Ketidakmampuan negara dalam menegakkan hukum yang adil membuat rakyat kecil menjadi korban utama dari eksploitasi yang dilakukan oleh kelompok kapitalis tersebut.
Dampaknya terlihat dalam berbagai aspek, seperti meningkatnya kesenjangan sosial, rusaknya lingkungan akibat aktivitas industri yang tidak terkendali, hingga tergerusnya hak-hak dasar masyarakat. Kondisi ini mencerminkan krisis kedaulatan negara dalam melindungi kepentingan rakyat dari dominasi kepentingan segelintir pihak yang berorientasi pada keuntungan pribadi.
Solusi Hakiki
Dalam Islam, kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta karena sumber daya yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah hak bersama yang harus dikelola untuk kemaslahatan umat. Sumber daya seperti air, hutan, tambang, dan energi dianggap sebagai anugerah Allah yang diberikan kepada seluruh manusia, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah terjadinya monopoli atau eksploitasi oleh individu atau kelompok yang dapat merugikan masyarakat luas.
Oleh karena itu, pengelolaan kepemilikan umum ini harus dilakukan oleh negara atau lembaga yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hasilnya didistribusikan secara adil dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini juga sejalan dengan tujuan syariah (maqashid syariah), yaitu menjaga kesejahteraan masyarakat dengan mencegah ketimpangan sosial dan ekonomi yang dapat timbul akibat privatisasi sumber daya vital.
Islam memiliki serangkaian aturan dan mekanisme yang jelas dalam pengelolaan harta milik umum untuk memastikan bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dikelola secara adil dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat. Harta milik umum, seperti air, tambang, energi, dan fasilitas publik, tidak boleh dimiliki secara pribadi atau disalahgunakan oleh individu maupun korporasi untuk kepentingan segelintir pihak. Aturan ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital umat adalah hak bersama yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara.
Pelanggaran terhadap hukum-hukum Islam terkait pengelolaan harta milik umum dianggap sebagai bentuk kemaksiatan yang dapat merugikan masyarakat secara luas. Islam menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang melanggar aturan ini, baik berupa hukuman duniawi, seperti denda atau hukuman fisik, maupun ancaman balasan di akhirat. Dengan adanya aturan dan mekanisme ini, Islam berupaya menjaga keadilan sosial, mencegah eksploitasi, serta memastikan tercapainya kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Kepemilikan umum di dalam Islam diatur oleh negara yaitu negara khilafah. Negara Khilafah merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan penuh ini memberikan kemampuan bagi negara Khilafah untuk membuat kebijakan yang sepenuhnya berorientasi pada kemaslahatan umat tanpa campur tangan atau tekanan dari pihak luar, termasuk korporasi besar atau negara lain.
Berbeda dengan sistem yang membiarkan kepentingan kapitalis mendominasi, negara Khilafah menetapkan kebijakan berdasarkan syariat Islam yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Dengan sistem ini, sumber daya alam dan kepemilikan umum dikelola langsung oleh negara untuk didistribusikan secara adil, sehingga monopoli dan eksploitasi oleh korporasi dapat dicegah.
Selain itu, negara Khilafah juga tidak terikat oleh utang luar negeri atau perjanjian internasional yang dapat melemahkan kedaulatan politik dan ekonominya. Sebagai entitas yang berdiri mandiri, negara ini memastikan bahwa seluruh kebijakannya, mulai dari pengelolaan kekayaan hingga perlindungan hak rakyat, berada di bawah kendali penuh pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang adil dan sejahtera.
Views: 1
Comment here