Oleh: Riannisa Riu
Wacana-edukasi.com, OPINI– Melansir berita dari Kompas.com, Jum’at, 17/01/2025, kehebohan terjadi setelah Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung, Jawa Barat, menyatakan sebuah kebijakan yang mengejutkan, yakni menarik kembali sejumlah ijazah alumni universitas tersebut yang sudah lulus pada periode tahun 2018-2023. Pihak Stikom menyatakan bahwa penarikan ijazah kembali disebabkan karena adanya sejumlah kejanggalan pada proses penentuan kelulusan mahasiswa periode tersebut. Kejanggalan tersebut antara lain adalah tes plagiasi yang melebihi batas, ketidaksesuaian nilai IPK di PDDIKTI dengan Simak, jumlah SKS yang kurang dari 144, serta batas studi yang melebihi 7 tahun, sesuai pernyataan Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dilansir cnnindonesia.com, Kamis, 16/01/2025. Kebijakan ini mengundang keberatan dari sebagian besar pihak alumni yang merasa telah menyelesaikan tanggung jawab perkuliahan sehingga tidak bersedia mengulang kuliah akibat kesalahan pihak kampus.
Permasalahan seputar penarikan kembali ijazah merupakan topik sensitif bagi alumni. Pasalnya, mereka telah mencurahkan waktu, kerja keras, dan biaya yang tidak sedikit dalam proses perkuliahan. Apalagi, alumni yang mengalami penarikan ijazah adalah alumni periode 2018-2023, yang berarti sudah lulus sejak enam atau tujuh tahun lalu. Tentu keberatan dari pihak alumni bisa dianggap wajar. Sebab, jika status kelulusannya dipertanyakan, hal ini berisiko mengganggu karier profesional dan kelanjutan pendidikan para alumni.
Namun, kejadian ini tidak terlepas dari hadirnya sejumlah oknum yang telah melakukan kecurangan di dalam kampus. Misalnya, adanya praktik jual beli nilai, praktik plagiasi skripsi oleh joki, dan yang lain sejenisnya. Sehingga kesalahan tersebut tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pihak kampus saja.
Ada saja kasus di mana mahasiswa tergiur untuk mengambil keuntungan pribadi sebagai joki skripsi, atau sebaliknya, membayar demi mendapatkan ijazah dengan cara-cara yang tidak diridhai Allah. Sayangnya sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah sistem pendidikan sekuler kapitalis yang tidak mengenal halal atau haram. Sehingga pendidikan saat ini berorientasi pada keuntungan materi, lebih mengutamakan hasil daripada proses. Maka tidak mengherankan jika kualitas mahasiswa lulusan sistem pendidikan hari ini memiliki standar hidup berlandaskan materi.
Kualitas regulasi pendidikannya pun tidak jauh berbeda. Penekanan prasyarat tinggi bagi mahasiswa untuk lulus dalam ujian skripsi cukup memberatkan, terkadang memerlukan syarat pembuatan jurnal ilmiah terlebih dahulu. Begitu pula dengan syarat-syarat gelar guru atau tunjangan dosen yang membutuhkan sejumlah publikasi ilmiah. Regulasi semacam ini secara tidak langsung menyebabkan penekanan terhadap para akademisi untuk memenuhi prasyarat meski dengan cara-cara yang tidak halal.
Semua hal ini telah menunjukkan adanya kerusakan di sistem pendidikan yang berlandaskan kapitalisme sekuler. Kualitas regulasi yang tidak baik menghasilkan kualitas akademisi yang tidak baik pula. Ini berdampak pada munculnya penyelewengan di berbagai sisi dunia pendidikan, sama seperti yang terjadi di Stikom Bandung. Akhirnya, alumni yang tak bersalah menjadi korban.
Sementara negara di sisi lain, hanya berperan sebagai regulator yang memberikan regulasi namun tidak meriayah sistem pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlandaskan agama (Islam). Peran serta negara selama ini adalah menyediakan kurikulum yang berorientasi ke arah dunia kerja, agar pelajar dan mahasiswa memiliki keahlian yang mereka butuhkan untuk memasukinya. Ini juga merupakan efek dari penerapan pendidikan sekuler kapitalis secara sistemik.
Sehingga, bagi alumni yang merasa dirugikan, negara terkesan kurang memberikan perhatian terhadap masalah penarikan ijazah ini. Seharusnya negara mampu menyediakan solusi yang lebih jelas untuk melindungi hak-hak para alumni sebelum mengeluarkan kebijakan penarikan ijazah kembali. Setidaknya dengan cara tersebut, kerugian sepihak bagi alumni bisa dihindari.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kehadiran sistem Islam dalam seluruh aspek pendidikan. Hanya sistem Islam yang mampu menghadirkan aturan tegas berlandaskan aqidah Islam dalam menuntut ilmu. Sistem Islam akan memompa semangat keimanan dalam diri setiap pelajar, mahasiswa, maupun akademisi lainnya. Sehingga mampu mencetak generasi pelajar yang berkualitas, hanya mengharap ridha Allah semata.
Begitu pula regulasi yang diterapkan di sistem pendidikan Islam pun bukanlah regulasi sembarangan, melainkan kurikulum yang telah berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga setiap ilmu harus berkaitan dengan peningkatan keimanan kepada Allah. Maka tidak akan ada akademisi yang merasa tertekan dengan prasyarat tertentu apalagi sampai melakukan cara yang tidak halal hanya demi memenuhi tuntutan pendidikan. Apalagi dalam sistem Islam, pelaksanaan seluruh kegiatan pendidikan telah dijamin secara gratis, karena biaya pendidikan sepenuhnya berasal dari Baitul Mal.
Negara Islam sebagai penyelenggara pendidikan juga akan menerapkan sanksi jika ada mahasiswa yang berperilaku tidak sesuai syariat seperti joki skripsi atau berani memperjualbelikan nilai. Sistem Islam akan menerapkan sanksi yang sesuai sehingga menjadi zawajir (membuat pelaku menjadi jera) dan jawabir (sebagai penebusan dosa), maka pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya. Dengan demikian secara otomatis pula permasalahan penarikan ijazah kembali tidak perlu terjadi.
Views: 2
Comment here