Oleh: Sri Wulandari (Guru dan Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Curah hujan yang tinggi kerap membuat masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di kawasan rawan terkena bencana menjadi khawatir. Pasalnya, setiap akhir tahun sering terjadi bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir dan tanah longsor. Apalagi memasuki pekan kedua Januari 2025, hujan dengan intensitas ringan hingga tinggi masih mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menuturkan bahwa bencana hidrometeorologi terjadi di beberapa wilayah Indonesia, mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan hingga Nusa Tenggara Barat (NTB). (CNNIndonesia.com 25/25). Salah satu daerah di Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar, Jawa Timur seusai hujan deras mengguyur wilayah tersebut pada Sabtu (30/11/2024). Dua rumah hilang terbawa arus, sementara 25 lainnya rusak karena banjir bandang di Blitar. (Beritasatu.com 25/25).
Di Kota Bandar Lampung bencana banjir melanda 20 kecamatan dan 124 kelurahan dengan total rumah terdampak ada 13.187 rumah dan dua orang meninggal. BPBD setempat terus berkoordinasi untuk memantau dan memperbaiki kondisi di lapangan. Koordinasi terus dilakukan untuk meminimalisir dampak dari bencana banjir.
Sementara di Pulau Sumatera, khususnya wilayah Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, hujan dengan intensitas tinggi mengakibatkan terjadinya banjir yang berdampak pada 470 unit rumah di Kecamatan Ujan Mas pada Kamis (9/1/2025). Selain itu, luapan air Sungai Benakat dan Lematang juga menyebabkan banjir yang berdampak pada 361 unit rumah. Dikutip CNNIndonesia.com 25/25. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat melakukan monitoring ketinggian air dan mengecek situasi di lokasi. BPBD mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap kemungkinan banjir susulan.
Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah tak hanya bersifat alamiah melainkan secara umum erat kaitannya dengan ulah tangan manusia, terutama dari sisi kerusakan alam dan lingkungan, salah satu contohnya adalah aktivitas penambangan nikel yang masih terjadi di Morowali Utara. Perluasan tambang menyebabkan deforestasi, pengambilalihan fungsi kawasan hutan yang berperan penting bagi penyangga ekologis tanah menyebabkan kerusakan lingkungan. Selain itu, hal tersebut juga dapat mengganggu fungsi hutan sebagai daerah penyerapan air. Akibatnya, risiko terjadinya bencana akan meningkat.
Setiap tahun, bencana yang sama terus berulang, seakan musibah ini telah menjadi agenda tahunan yang tidak dapat dihindari. Secara geografis, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi bencana, salah satunya adalah banjir. Banjir dan longsor merupakan dampak dari tingginya curah hujan dan meluapnya air sungai.
Menyadari potensi bencana yang dimiliki disebagian wilayah, maka pemerintah harus berupaya dan antisipatif yang serius dalam mempersiapkan mitigasi bencana banjir, baik sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi, agar risiko yang ditimbulkan tidak mengakibatkan kerusakan yang cukup besar.
Oleh karena itu, adanya mitigasi sangat penting sebagai alat ukur untuk membaca awal terjadinya bencana. Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi risiko bencana. Program mitigasi dapat dilakukan melalui pembangunan fisik, penyadaran, dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana yang terjadi.
Mitigasi bencana bertujuan untuk meminimalkan risiko bencana, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana, dan juga meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana.
Namun faktanya, dalam penanganan bencana masih banyak permasalahan yang belum ditangani secara serius dan sungguh-sungguh. Solusi mitigasi untuk menyelesaikan musibah dari dampak kerusakan lingkungan yang berat ini hanya berupa langkah-langkah teknis, di antaranya meningkatkan edukasi, kepedulian, dan pertisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, serta menjaga kelestarian lingkungan sekitar dengan menerapkan pola hidup ramah lingkungan. Tentu saja itu bukan hal yang salah.
Tapi tidak bisa dipungkiri, bencana alam yang terjadi bersifat sistematis. Hal ini terlihat dari penanganan bencana dari tahun ke tahun tidak menunjukkan dampak yang signifikan. Hal ini menunjukkan belum optimalnya fungsi riayah (pengelolaan) negara terhadap rakyat. Lemahnya mitigasi bencana menjadi tanda bahwa negara tidak menjadi raa’in (penjaga urusan rakyat). Sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme sekuler, telah menghilangkan tugas utama negara sebagai pelayan rakyat. Negara saat ini hanya menjadi regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan pemilik modal sehingga mengabaikan rakyat.
Berbeda dengan sistem Islam, Negara akan melindungi rakyatnya dari segala aspek, termasuk bencana. Negara akan melakukan perencanaan yang matang dalam mengembangkan kota/desa dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyat. Islam juga mewajibkan pemetaan wilayah sesuai potensi bencana berdasarkan letak geografisnya, sehingga akan disusun tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, sehingga aman bagi manusia dan alam.
Selain itu, Islam juga menjamin ketersediaan dana dalam menghadapi bencana. Negara ini memiliki beragam sumber pendapatan. Jika ada kebutuhan dana untuk kepentingan umat maka negara akan menyediakan langsung dari berbagai pos penerima seperti Ghanimah, Fai’, Kharaj, Jizyah, milik umum, dan lain-lain.
Semuanya dilakukan oleh negara, karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in (pengelola) dan junnah (pelindung) umat, termasuk dalam menghadapi bencana. Sehingga negara harus menjaga keadaan masyarakat termasuk ketika terjadi bencana.
Masalah bencana alam yang terus berulang membutuhkan solusi yang hanya dapat di selesaikan oleh penguasa yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam mengurus masyarakat, hanya sistem Islam yang mampu menyelesaikan problematika bencana sampai tuntas ke akar-akarnya.[]WE/IK.
Views: 8
Comment here