Penulis: Siti Khaerunnisa
Wacana-edukasi.com, OPINI– Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) telah mengonfirmasi bahwa tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen pada tahun 2025 akan dihapuskan. Hal ini berdasarkan pernyataan dari Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kemdiktisaintek, Togar M. Simatupang. Penyebab ketiadaan tunjangan dosen ini adalah adanya perubahan nomenklatur kementerian dan ketiadaan anggaran (suara.com, 12/01/2025). Perubahan nomenklatur yang dimaksud yaitu, adanya pemisahan kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi, sehingga membuat Kementerian Keuangan tidak mengabulkan pengajuan alokasi anggaran tunjangan kinerja, karena kekurangan anggaran.
Para Dosen pun melakukan aksi demontrasi atas keputusan ini. Pasalnya pada tahun 2020 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, Nadiem Makarim, sudah menetapkan tukin bagi dosen ASN melalui Permendikbud 49/2020. Bahkan, pada tahun 2024 melalui Kepmendikbudristek 447/P/2024 tukin dijanjikan cair pada Januari 2025, tetapi pemerintah tidak menjalankannya dengan alasan kekurangan anggaran sebab dipisahkannya beberapa kementerian.
Setelah polemik tukin Dosen mendapat atensi dari publik, pihak pemerintah bereaksi dengan mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 2,6 Triliun ke Kementerian Keuangan untuk pembayaran tukin pada 2025. Tetapi hal ini tetap harus menunggu persetujuan dari Kemenkeu dan Badan Anggaran DPR. Setelah itu, Peraturan Presiden (Perpres) harus diterbitkan untuk merealisasikan tunjangan bagi para dosen (iNews.id, 13/01/2025).
Dari polemik ini, kita lihat bahwa nasib upah dosen masih menjadi teka-teki. Tunjangan mereka cair atau tidak?, pertanyaan itu bergelanyut pada mereka, tapi tidak kunjung mendapat jawaban yang membahagiakan.
/Wacana Kesejahteraan Pendidik/
Sebenarnya pemerintah telah menetapkan aturan terkait gaji dosen. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019, gaji dosen dihitung berdasarkan pangkat dan golongan PNS. Misalnya gajinya antara Rp2.688.500 – Rp4.797.000 per bulan, untuk PNS golongan III. Sedangkan untuk gaji paling tinggi adalah Rp5,9 juta per bulan untuk golongan IVe.
Hanya saja, jika dilihat secara umum gaji dosen hanya berkisar dari 2 juta sampai 5 juta per bulan, masih tergolong lebih kecil dibanding pegawai BUMN lainnya. Ditambah lagi penghapusan tunjangan kinerja bagi dosen dengan alasan tidak ada anggaran sebab lembaganya dipecah, yang dianggap tidak masuk akal oleh para dosen, sebab pegawai kementerian lain yang lembaganya juga dipecah, tetap menerima tunjangan kinerja.
Dari tarik ulur pemberian tunjangan kinerja dosen ini, dapat dilihat negara jelas telah mengabaikan kerja keras para pendidik, dengan memberikan gaji dosen yang minim, ditambah tunjangannya dihapus. Tetapi berbanding terbalik dengan besarnya tugas dan tanggung jawab mereka. Selain mengajar, menyusun program perkuliahan, memeriksa tugas mahasiswa, dosen masih harus melakukan penelitian, tugas lapangan, menyusun jurnal, membimbing mahasiswa skripsi/tesis, menjadi penguji, dan menyelesaikan serangkaian administrasi. Dengan beban yang berat tersebut, upah yang diberikan sangat minim, tentu sulit jika Indonesia berharap kualitas pendidikan tinggi akan unggul.
Padahal, kesejahteraan pendidik merupakan faktor yang penting untuk membuat pendidikan berkualitas. Sebab pendidik yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya tidak akan fokus mendidik generasi. Padahal tugas seorang pendidik sangat menyita banyak waktu untuk persiapan pengajaran. Jika mereka masih harus memikirkan cara memenuhi kebutuhan mereka, mereka akan tidak fokus menyiapkan pendidikan untuk generasi. Jadi, jaminan kesejahteraan bagi pendidik adalah hal mutlak yang harus diwujudkan. Bukan beralasan tidak adanya anggaran karena pemecahan lembaga. Padahal ini merupakan perkara administrasi yang seharusnya sudah dipertimbangkan dampak dan langkah-langkah untuk mengantisipasinya.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa negara gagal dalam menyejahterakan dosen sebagai pemilik ilmu yang mendidik generasi, perlakuannya terhadap pendidik tak sebanding dengan peran besar mereka. Inilah bentuk nyata kelemahan sistem yang digunakan pemerintah saat ini, yaitu sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini tidak memiliki visi mencerdaskan generasi, malah lebih mendorong dan menjadikan mereka pekerja, gagap dalam memaknai perkembangan teknologi, dan visi pendidikan mencetak generasi seolah hilang seiring dengan kebijakan yang tidak mensejahterakan pendidik.
/Pendidik Sejahtera dalam Sistem Islam/
Dalam sistem Islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan asasi rakyat dan wajib bagi negara Islam (Khilafah) untuk memenuhinya. Negara bertanggung jawab penuh dalam menyediakan pendidikan bagi warganya sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dalam proses pemenuhannya, negara wajib menyelenggarakan pendidikan gratis, menyediakan sarana prasarana, serta menyediakan SDM andal untuk dapat melahirkan generasi cerdas dan berkarakter Islam untuk melanjutkan peradaban.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, diperlukan peran strategis para akademisi, seperti Dosen di perguruan tinggi. Dengan peran yang strategis itu, tentu diperlukan fokus pada tugas mereka, jadi di sini juga peran negara untuk memberikan kesejahteraan kepada mereka. Sehingga jika sudah sejahtera, mereka hanya akan fokus dalam mencetak generasi yang cerdas dan bermanfaat bagi umat.
Sebagai gambaran, kesejahteraan bagi para pengajar, pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas). Jika mengacu pada harga emas per 16 Januari 2025, 1 gram emas seharga Rp1.424.000, maka gaji guru Rp 90.780.000 per bulan.
Untuk menjamin tersalurkannya gaji pendidik, islam memiliki konsep sendiri dalam mengelola keuangan, yakni melalui baitulmal. Pemasukan baitulmal berasal dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan seluruh SDA. Semua pemasukan tersebut akan dikelola oleh negara untuk mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk gaji para pendidiknya.
Dengan gaji yang cukup besar tersebut, dosen tidak akan terbebani dengan masalah memenuhi kebutuhannya. Sehingga dosen pada masa itu terfokuskan untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak generasi yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir dan sikap Islam. Sehingga, ketika sudah lulus, mereka akan mempraktikkan ilmunya. Bukan sekadar cari uang, melainkan agar ilmunya bermanfaat di tengah masyarakat. Islam memberikan solusi atas semua problematika yang ada. Dengan diterapkannya syariat Islam yang dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Views: 2
Comment here