Oleh: Ummu Rifazi, M.Si.
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kebijakan efisiensi anggaran yang dieksekusi lewat Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, telah berdampak penyesuaian yang cukup drastis di berbagai lini, termasuk pemotongan anggaran pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang merupakan ujung tombak riset dan inovasi di Indonesia. Pemangkasan anggaran yang diterima cukup tajam di angka Rp 1,429 triliun atau 24,46% dari total pagu anggaran BRIN Rp 5,842 triliun.
Pemangkasan anggaran yang cukup signifikan ini berdampak langsung pada penurunan kemampuan BRIN dalam menjaga kualitas infrastruktur riset, pelatihan peneliti, dan pengembangkan inovasi serta kolaborasi riset di tingkat nasional maupun internasional. Bahkan menurut pendapat beberapa pengamat, pemangkasan anggaran BRIN merupakan langkah kontraproduktif karena sejatinya riset dan inovasi merupakan pondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi dan keunggulan suatu negara (kompas.com, 18-02-2025).
Paradigma Kapitalisme, Memandulkan Riset
Menurut pengamat pendidikan Ubaid Matraji, pemangkasan anggaran riset menunjukkan bahwa minimnya perhatian pemerintah terhadap bidang riset. Aktivitas riset dan pengembangan inovasi dianggap tidak penting dan hanya membuang – buang anggaran saja. Padahal menurutnya kebijakan yang baik adalah yang berbasis pada data riset dan tidak cukup hanya berlandaskan pada bisikan-bisikan para kolega. Riset merupakan aktivitas sangat penting, tulang punggung kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah umat manusia (tirto.id,13-02-2025).
Pemangkasan dana riset terlihat sebagai kebijakan yang diputuskan secara pragmatis, tergesa-gesa dan beresiko tinggi. Pertama, pasalnya negara-negara lain justru berlomba-lomba terus meningkatkan investasi mereka dalam riset dan inovasi untuk mendongkrak daya saingnya di era globalisasi ini.
Kedua,pemangkasan anggaran riset beresiko hilangnya talenta riset karena para peneliti muda potensial mungkin akan kehilangan motivasi atau beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan secara finansial atau memilih untuk bekerja diluar negeri.
Kebijakan efisiensi anggaran bernilai total US$ 44 miliar ini sungguh ironis dan terlihat tebang pilih. Pemerintah nampak mengorbankan dan memandulkan program pentingyang substantif seperti riset dan pengembangan inovasi. Sementara disisi lain pemerintah lebih mementingkan program strategis seperti program makan bergizi gratis (MBG) yang mendapatkan tambahan dana US$ 24 miliar. Padahal program MBG ini sejak awal lebih merupakan kebijakan populis otoritarian agar terlihat seolah peduli pada rakyat dan sejak awal diwacanakan sudah menimbulkan polemik yang semakin hari kian menjadi-jadi.
Dari total US$ 44 miliar efisiensi anggaran, sekitar US$ 20 miliar akan diinvestasikan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), lembaga superholding BUMN yang bakal diluncurkan tanggal 24 Februari2025. Walaupun Danantara direncanakan akan menginvestasikan sumber daya alam (SDA) dan aset negara Indonesia ke dalam proyek-proyek berkelanjutan dan berdampak tinggi di berbagai sektor, seperti manufaktur canggih, produksi pangan, energi terbarukan, dan lain-lain yang digaungkan untuk memajukan perekonomian negara, faktanya hal ini akan semakin memperlebar pintu masuk dana-dana asing atau swasta. Dan ujung dari semuanya sudah bisa ditebak yaitu para oligarki akan semakin diuntungkan dan hegemoni asing semakin kokoh di negara ini.
Selain kurangnya perhatian pemerintah terhadap kedudukan penting riset, penerapan sistem kapitalisme pun mengakibatkan buruknya pengelolaan harta kekayaan negara. Sumber daya alam (SDA) yang melimpah di negeri ini justru lebih banyak mengalir ke kantong segelintir para kapitalis alias oligarki yang dimuluskan oleh berbagai regulasi kebebasan kepemilikan dan pengelolaan SDA yang dibuat oleh pemerintah. Akibatnya pemasukan negara untuk pemenuhan kebutuhan rakyat dan berbagai aktivitas penting seperti riset pun menjadi sangat minim.
Paradigma Islam, Memajukan Riset Demi Keunggulan Peradaban
Pada dasarnya riset merupakan kegiatan yang sangat tergantung politik ideologi suatu negara. Bagi negara kapitalis, riset dilakukan lebih berorientasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal pada faktanya hanya 3-5% riset yang berhasil hingga berdampak keuntungan ekonomi.
Alhasil, riset – riset dasar yang membutuhkan waktu yang panjang dan dirasakan kurang berdampak terhadap perekonomian akan diabaikan. Padahal, sejatinya berbagai riset dasar tersebut sangat penting untuk keberlangsungan peradaban. Apalagi dengan anggaran yang terbatas, riset di negara kapitalis yang bukan negara maju (negara berkembang) menjadi tidak berdaya.
Berbeda halnya dengan riset dalam peradaban Islam justru dilakukan untuk mendukung tanggung jawab Khalifah dalam mengurusi urusan umat. Kegiatan riset dan inovasi mendapatkan perhatian besar dalam Daulah Khilafah Islamiyyah yaitu demi kemandirian pemenuhan kebutuhan asasi (sandang, pangan, papan) maupun komunal (pendidikan, kesehatan, dan keamanan) bagi seluruh warganegara Islam (muslim maupun nonmuslim). Dengan kemandirian tersebut, maka kemaslahatan masyarakat dan negara tidak akan jatuh ke dalam kendali dan hegemoni asing.
Berbagai fakta telah membuktikan bahwa ketergantungan negeri kaum muslimin terhadap produk impor telah menjadi jalan penjajahan oleh negara maju. Dan Allah ta’alaa telah memperingatkan muslim terhadap hal ini dalam QS An-Nisa: 141 yang artinya, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.”
Daulah Khilafah Islamiyyah akan mendirikan pusat – pusat
riset, serta memberdayakan sumberdaya manusia (SDM) periset secara optimal dengan sarana prasarana lengkap, pendanaan yang memadai, dan program yang sesuai visi misi Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Pembiayaan berbagai riset didukung penuh oleh kas negara (Baitulmal) dari total sumber pemasukan 12 pos pemasukan yang jumlahnya berlimpah.
Tinta emas sejarah mencatat keberadaan Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan sebagai pusat penelitian dan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Khalifah Harun
Ar-Rasyid pada tahun 786-809 M dimasa pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Meski kerap disebut sebagai Perpustakaan Baitul Hikmah atau Perpustakaan Besar Baghdad, namun sebenarnya lembaga ini tidak sekedar berfungsi sebagai perpustakaan yang mengarsipkan buku-buku kuno dari Persia, Bizantium, bahkan Ethiopia, dan India.
Baitul Hikmah mempunyai
fungsi yang banyak, antara lain sebagai perpustakaan, pusat penerjemahan teks-teks kuno dari Yunani, dan pusat kegiatan studi serta riset di masa kejayaan
peradaban Islam. Dari lembaga ini bermunculan ilmuwan-ilmuwan Islam era Abbasiyah yang terkenal hingga kini di seluruh dunia, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Al-Khawarizmi, dan Al-Battani.
Baitul Hikmah menjadi pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika yang dijadikan akademi pertama pada 832 M oleh Khalfiah Al Makmun. Keberadaannya pada saat itu laksana air hujan yang mengalirkan keberkahan ke bumi dan menyejahterakan segala sesuatu yang ada di dalamnya. [WE/IK].
Views: 12
Comment here