Opini

Haruskah Layanan Publik Dikorbankan, demi Efisiensi Anggaran?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dwi R Djohan

Wacana-edukasi.com, OPINI– Sobat, pernahkah Anda menonton film The Amazing Spider-Man? Film ini menceritakan aksi heroik seorang superhero yang berjuang melawan kejahatan. Namun, bukan itu yang akan kita bahas kali ini. Yang ingin dibahas adalah ancaman efisiensi anggaran yang diajukan oleh Perusahaan Farmasi Oscorp kepada tim peneliti, termasuk Dr. Connors Curt. Ancaman tersebut diberikan karena tidak ada perkembangan signifikan dalam proyek penelitian mereka. Proyek tersebut bertujuan untuk mengembangkan zat yang bisa merangsang pertumbuhan anatomi tubuh manusia. Meski sudah berupaya keras, akhirnya proyek tersebut dihentikan oleh pihak Oscorp.

Dari film ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa melakukan efisiensi anggaran pada proyek yang tidak memberikan hasil yang diinginkan adalah hal yang wajar bagi lembaga swasta. Lantas, bagaimana jika hal serupa dilakukan oleh negara?

Melansir dari Kompas.com (16/2/2024), Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, yang juga menjabat Ketua Umum Partai Gerindra, mengungkapkan rencana penghematan anggaran negara dalam tiga tahap yang totalnya mencapai Rp 750 Triliun. Adapun rincian tahapannya adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Rp 300 Triliun
Tahap 2: Rp 250 Triliun untuk sektor penghematan belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang kurang efisien
Tahap 3: Rp 200 Triliun untuk penghematan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Dasar hukum dari rencana efisiensi anggaran ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang fokus pada efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025.

Penghematan anggaran ini akan dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bertujuan untuk mencegah stunting pada masyarakat, khususnya anak-anak, serta diinvestasikan pada Badan Pengelola Investasi (BPI) yang bernama Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang akan diluncurkan pada 24 Februari 2025. Melalui Danantara, negara berharap dapat menghasilkan tambahan pendapatan.

Namun, rencana yang terstruktur dengan baik ini ternyata menimbulkan dampak luar biasa di masyarakat. Sebelumnya, mari kita bahas mengenai kebijakan negara yang sempat menghebohkan, yakni rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025. Mengutip dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (Ekon.go.id, 3/1/2025), Presiden Prabowo memutuskan bahwa kenaikan PPN 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, yang menyasar golongan masyarakat yang lebih mampu. Sebelumnya, rencana kenaikan PPN 12% ini akan diterapkan pada semua sektor (sesuai dengan UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan/UU HPP), namun akhirnya dibatalkan setelah adanya protes besar-besaran.

Dari pembatalan kenaikan PPN ini, muncul pertanyaan: Apakah nasib efisiensi anggaran akan sama? Mungkinkah kebijakan tersebut dibatalkan dengan alasan “kekhawatiran” bahwa kebijakan ini tidak berpihak pada rakyat dan berpotensi menurunkan popularitas Prabowo?

Kembali membahas efisiensi anggaran, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dalam wawancaranya dengan MetroTV (16/2/2025), mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran yang dilakukan secara sembarangan bisa berisiko besar bagi kinerja kementerian dan lembaga negara. Hal ini bahkan dapat menyebabkan kekacauan, terutama dalam penyelenggaraan layanan publik.

Sebagai contoh, anggaran awal untuk Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pada 2025 adalah Rp 110,95 Triliun, namun setelah kebijakan efisiensi, anggaran tersebut dipangkas menjadi Rp 29,57 Triliun. Setelah pengajuan kembali ke Komisi V DPR, akhirnya pagu anggaran untuk Kementerian PU disetujui sebesar Rp 50,48 Triliun. Pemangkasan anggaran yang drastis ini dapat mengakibatkan penghentian proyek infrastruktur yang vital, seperti jalan-jalan yang dibiarkan rusak, penundaan atau pembatalan proyek bendungan dan irigasi di sektor pertanian, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai lembaga. Bahkan, sektor-sektor vital yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat—seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan mitigasi bencana—akan sangat terpengaruh. Bukankah ini berarti mengorbankan layanan publik demi efisiensi anggaran?

Sebenarnya, penggunaan istilah efisiensi anggaran di negara akan lebih bijak jika diterapkan pada sektor yang benar-benar kurang efisien. Tentu saja, hal ini harus dilakukan dengan perencanaan matang tanpa mengorbankan layanan publik yang dibutuhkan rakyat. Misalnya, efisiensi dapat dilakukan pada fasilitas mewah anggota dewan, gaji dan tunjangan pejabat negara yang fantastis, perampingan staf kementerian yang berlebihan, biaya dinas pejabat yang tidak perlu, serta anggaran untuk alutsista Kementerian Pertahanan dan lainnya.

Sistem kapitalisme yang diterapkan oleh penguasa saat ini menjadikan rakyat sebagai partner dalam kerja sama yang hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Namun, hal ini berbeda dengan pandangan Islam. Dalam Islam, penguasa (ra’iyyah) memiliki tanggung jawab utama untuk mengurus rakyat dan memenuhi kebutuhan pokok mereka. Prinsip kedaulatan dalam Islam berada di tangan syara’ (aturan Allah), sehingga penguasa harus tunduk pada hukum syara’ dan tidak berpihak pada kepentingan pihak lain yang ingin meraup keuntungan. Mengenai pengelolaan anggaran, penguasa Islam harus bertindak dengan penuh tanggung jawab, memastikan bahwa tidak ada yang dirugikan, terutama rakyat. Sebab, jabatan sebagai penguasa adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. [WE/IK]

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 13

Comment here