Opini

Proteksionisme AS: Hegemoni Kapitalisme Global

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Kiki Zaskia, S.Pd. (Pegiat Literasi)

Wacana-edukasi.com, OPINI— Kembalinya pemerintahan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS), selalu menghadirkan kondisi extraordinary pada kancah politik Internasional. Tak terkecuali dalam kondisi ekonomi global. Kebijakan Donald Trump (DT), yang telah menaikkan tarif impor pada beberapa negara diantaranya Cina, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Bagi pemerintahan AS negara-negara tersebut memiliki surplus perdagangan.

Menurut DT, kebijakan tersebut menjadi sebuah langkah proteksionisme yang bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan yang melanda negaranya. Secara khusus, di Indonesia proteksionisme perdagangan AS yang terjadi menyebabkan Indonesia mendapat penerapan tarif hingga 32% disetiap produk Indonesia yang memasuki AS (Dilansir, republika.co.id 10/04/25)

Komoditas yang di ekspor seperti tekstil, barang elektronik, dan komoditas lainnya tentu akan mengalami kenaikan harga karena tarif yang ditetapkan oleh pemerintah AS. Sehingga, ketika harga barang menjadi naik maka masyarakat AS akan mudah beralih konsumsi pada produk substitusi atau yang harganya lebih murah daripada komoditas dari Indonesia.

Kini, pelaku usaha dalam negeri sedang menghadapi kemungkinan terburuk yaitu, berkurangnya daya saing komoditas serta akses pasar (AS) yang utama bagi pelaku usaha ketika AS tidak lagi mampu menjadi tujuan ekspor.

Dalam perspektif kebijakan politik hal ini telah menjadi implementasi hegemoni (penguasaan) dan dominasi ekonomi AS pada negara-negara lain yang memukul mundur mitra dagang AS. Padahal, kebijakan anyar DT ini memang secara sepihak memberikan keuntungan besar bagi AS tapi kalkulasinya kurang akurat ini juga membuat AS mendapat tekanan dari komiditas Cina. Hal ini, tentu tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi Cina menjadi rival yang sepadan bagi AS.

Di sisi lain, situasi perdagangan yang terganggu saat rantai pasok global lintas negara menyebabkan tidak pastinya peningkatan ekonomi tatkala pelaku usaha kesulitan memproyeksi arah kebijakan perdagangan global. Ketika pengusaha terdampak apatah lagi dengan pekerja yang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) bahkan, meningkatnya pencari kerja yang sulit mendapatkan lapangan pekerjaan sehingga proyeksi angka pengangguran juga turut akan meningkat.

Kebijakan DT terhadap persaingan pasar global kini telah menihilkan segala teori ekonomi kapitalisme mengenai pasar bebas yang tidak mendapatkan interverensi dari negara. Mekanisme pasar yang seharusnya berjalan secara alamiah berdasarkan hukum permintaan dan penawaran kini telah bertolak belakang dengan prinsip tersebut.

Pelanggaran prinsip ekonomi kapitalisme oleh DT ini justru menjadi sebuah sinyal kelemahan sistem ekonomi kapitalisme. Negara-negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme tidak mampu mendapatkan keadilan yang terdistribusi secara merata. Justru, ketimpangan ekonomi dan penderitaan bagi negara-negara yang ekonominya masih sedang berkembang atau bahkan miskin.

Sebuah ungkapan sarkastik seperti ‘yang kaya makin kaya, yang miskin-makin miskin’ menjadi representative dari penerapan ekonomi yang kapitalistik. Kentungan hanya ada pada negara yang memiliki modal yang kuat sedangkan negara miskin hanya mendapatkan krisis ekonomi, pengangguran dan tidak stabilnya perekonomian. Hingga, menjadi negara pembebek yang tidak bisa memiliki kedaulatan atas negerinya sendiri.

Apabila diinsafi kondisi ini seharusnya menjadi perlu pengkajian ulang pemerintah di Indonesia untuk mengevaluasi RUU yang justru tidak berpihak pada kemajuan ekonomi rakyat dan mengambil langkah yang mampu menyelamatkan ekonomi rakyat yang terancam badai PHK serta pengangguran.

Di sisi lain, berbeda dengan penerapan ekonomi Islam yang diatur dalam sistem politik Islam (Khilafah). Dalam pandangan Islam sistem ekonomi harus adil dan menyeluruh. Hubungan dagang tidak dilakukan secara bebas tanpa batas namun berada dalam lingkupan kebijakan proteksionisme demi kepentingan umat.

Dalam khilafah Islam, hubungan kerja sama ekonomi hanya berlaku bagi negara yang memiliki perjanjian (mu’ahid), dan berstatus musuh (kafir harbi hukman) selama dalam kondisi damai yang nagara tersebut masih menerima kebijakan hukum Islam. Sedangkan, bagi yang secara nyata menyatakan berperang (kafir harbi fi’lan) tidak ada hubungan kerja sama apapun.

Kebijakan politik hubungan kerja sama tersebut tidak akan mempertaruhkan stabilitas ekonomi negara serta mencegah masuknya pengaruh asing yang merusak. Islam memberikan ruang bagi Individu untuk melakukan perdagangan atau hubungan kerja sama dengan syarat tunduk dengan aturan syari’at Islam.

Syari’at Islam mewajibkan transaksi yang adil, tidak merugikan pihak lain apatah lagi melakukan kezaliman serta tidak memunculkan kondisi tidak pasti (gharar) dalam perekonomian. Tidak hanya itu, Islam tidak menetapkan harga pasar secara paksa harga akan ditentukan oleh mekanisme pasar secara alami selama tidak ada manipulasi atau praktik yang merusak.

Adapun, jika negara lain menetapkan cukai terhadap barang-barang dari negara Islam maka negara Islam juga memiliki hak untuk memberlakukan cukai timbal-balik dengan nilai yang setara sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan rakyat dan negara. Prinsip tersebut, menjadi bentuk penjagaan martabat umat dan menjaga kedaulatan dalam hubungan kerja sama antar negara. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here