Opini

Perempuan dalam Lingkaran Pelecehan, Sampai Kapan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nursyfa Putri Az Zahra

Wacana-edukasi.com, OPINI–Akhir-akhir ini marak sekali pemberitaan tentang kekerasan pada perempuan, terutama kekerasan seksual. Yang memprihatinkan dan sangat mengiris hati, bukan hanya tentang jumlah kasusnya, melainkan dimana dan oleh siapa kekerasan itu terjadi. Kasus-kasus ini sering terjadi di lingkungan yang seharusnya aman, bahkan melibatkan orang-orang terdekat dan tokoh-tokoh yang dipercaya.

Banyak perempuan mengalami kekerasan di tempat yang justru seharusnya menjadi ruang paling aman bagi mereka; rumah. Di balik tembok-tembok yang mestinya menjadi pelindung, nyatanya tak sedikit yang menjadi saksi bisu dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh ayah, paman, bahkan kakak kandung sendiri. Kedekatan darah tak selalu menjamin keselamatan. Rasa takut, malu, dan tekanan keluarga membuat banyak perempuan memilih diam, menyimpan luka yang tak terlihat oleh mata.

Di ruang pendidikan, tempat ilmu ditanam dan karakter dibentuk, ada sisi kelam yang kerap tersembunyi. Oknum guru, dokter, dosen, ustadz, kepala sekolah, pejabat, hingga aparat negara, tokoh yang seharusnya menjadi panutan, justru menjadi pelaku. Tidak sedikit kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah, pesantren, atau lembaga pendidikan lainnya. Ketimpangan kuasa dan penghormatan berlebihan pada figur pendidik sering membuat suara korban tenggelam di antara rasa hormat yang semu.

Tempat ibadah dan komunitas keagamaan pun tak luput. Ironisnya, di tempat di mana manusia mencari ketenangan dan pertolongan spiritual, justru ada predator yang menyamar sebagai pembimbing rohani. Mereka memanfaatkan kepercayaan dan pengaruhnya untuk melakukan kekerasan dengan tameng agama, membuat korban semakin sulit bersuara karena takut dianggap mencemarkan institusi yang suci.

Di lingkungan kerja, perempuan tak hanya dituntut profesional, tapi juga harus terus waspada. Atasan yang manipulatif, rekan kerja yang sok akrab, atau bahkan sistem kerja yang tidak berpihak seringkali menjadi pemicu. Banyak perempuan memilih diam karena takut kehilangan pekerjaan, atau malah disalahkan jika berani melapor.

Bahkan dalam dunia digital—tanpa tatap muka, tanpa sentuhan fisik—perempuan tetap rentan menjadi korban. Media sosial, aplikasi pesan, dan ruang daring lainnya sering kali menjadi ladang pelecehan. Pelaku bisa jadi siapa saja: teman lama, kenalan baru, atau orang asing yang menyusup lewat perhatian dan kepedulian palsu.

Kasus terbaru, terjadi di lingkungan yang seharusnya aman dan melibatkan tenaga medis yang dipercaya. Dilansir dari kompas.id (11-4-2025), Dokter residen anestesi dari Universitas Padjadjaran, Priguna Anugrah Pratama, diduga memerkosa tiga perempuan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Polisi sudah mengumpulkan bukti bila Priguna Anugrah Pratama (31) tidak hanya memerkosa sekali pada 18 Maret 2025. Berawal dari laporan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Priguna disebut sudah dua kali melakukan perbuatan yang sama, pada 10 dan 16 Maret 2025.

Kedua korbannya adalah pasien di RSHS. Dengan begitu, Priguna memerkosa tiga korban dalam kurun waktu kurang lebih satu minggu. Kepastian ini didapatkan setelah dilakukan sejumlah pemeriksaan. Pelaku menjalankan aksi bejatnya dengan cara membius total korban hingga tak sadarkan diri selama berjam-jam.

Sangat menyayat hati! Bayangkan, tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman—rumah sakit—malah jadi tempat terjadinya kejahatan yang begitu keji, dan pelakunya adalah orang yang dipercaya, yang seharusnya merawat, bukan menyakiti.

Ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, tapi juga menunjukkan betapa kuasa, kepercayaan, dan sistem yang lemah bisa jadi alat bagi pelaku untuk melakukan kekerasan. Apalagi korbannya dalam kondisi lemah, dibius, tak berdaya, itu benar-benar bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
Yang membuat semakin miris, sering kali perempuan harus berjuang dua kali: pertama menghadapi trauma, dan kedua menghadapi keraguan serta stigma masyarakat saat mereka berani bicara.

Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya soal tindakan fisik atau seksual, tapi tentang bagaimana kekuasaan dan kepercayaan disalahgunakan. Tentang bagaimana dunia masih gagal memberi ruang aman bagi perempuan, bahkan di tempat yang mestinya paling aman.

Perempuan dijadikan slogan, tapi dihabisi perlahan. Kita sering mendengar kata-kata manis tentang perempuan: bahwa mereka adalah ibu peradaban, tiang negara, pahlawan tanpa tanda jasa, sosok mulia yang patut dihormati, tapi kenyataan di balik panggung seringkali berbeda. Di balik tembok rumah sakit, di ruang-ruang pendidikan, bahkan di tempat ibadah, perempuan menjadi korban. Diperkosa, dilecehkan, dibungkam, dan yang lebih menyakitkan, itu terjadi di tengah sistem yang katanya menjamin keadilan dan keamanan. Ini bukan sekedar kasus per-kasus, ini adalah bukti bahwa negara sedang gagal, dan perempuan terus menjadi tumbal dari sistem sekuler-kapitalisme yang tak pernah benar-benar berpihak pada mereka.

Perempuan hari ini seolah dibiarkan menghadapi kerasnya dunia tanpa perlindungan nyata. Kekerasan seksual terus meningkat, namun hukum seringkali tumpul dalam memberi rasa aman. Di sisi lain, ibu pekerja dihadapkan pada dilema antara mencari nafkah atau mendampingi anak. Pendidikan pun lebih dipandang sebagai bisnis, bukan pembentuk kepribadian. Tak lepas pula budaya hedon dan citra ideal yang dibentuk media mendorong perempuan menjadi konsumtif, jauh dari fitrah sejatinya. Sementara itu, negara lepas tangan, menyerahkan peran keluarga dan perlindungan sosial pada individu atau pasar.

Mau sampai kapan perempuan terus menjadi korban dalam sistem yang mengikis martabatnya? Sistem sekuler kapitalisme membungkus kebebasan dalam kemasan manis, tapi di dalamnya ada racun yang mematikan. Perempuan ditampilkan sebagai komoditas, dipajang dalam iklan, dieksploitasi di media, dan dituntut memenuhi standar kecantikan yang semu. Pelecehan bukan lagi sekadar masalah moral individu, tapi buah dari sistem yang menormalisasi pandangan terhadap tubuh perempuan sebagai objek konsumsi.

Padahal, Islam mempunyai sistem yang rahmatan lil ‘alamin, menjadikan negara sebagai penanggung jawab utama dalam meri’ayah rakyat—laki-laki, perempuan, anak-anak—dengan syariat sebagai pedoman, bukan keuntungan sebagai tujuan.

Ada satu kisah yang bisa membuktikan betapa Islam sangat menjaga dan melindungi perempuan, ini adalah kisah seorang muslimah dari wilayah Amuriyah (di daerah Romawi/Byzantium) yang menjadi tonggak sejarah tentang betapa mulianya penjagaan Islam terhadap perempuan. Ini terjadi di masa Khilafah Abbasiyah, tepatnya saat masa kekhalifahan Al-Mu’tasim Billah:

Seorang muslimah sedang berada di pasar Amuriyah (di wilayah kekuasaan Romawi) ketika seorang kafir Romawi mencoba melecehkannya dengan menarik jilbabnya. Sang muslimah berteriak, “Wā Mu’tasimaah!” (Wahai Mu’tasim, tolong aku!).

Teriakan itu sampai ke telinga Khalifah Al-Mu’tasim. Tanpa berpikir panjang, beliau mengirim pasukan besar untuk menyerbu benteng Romawi hanya demi menyelamatkan satu orang muslimah yang kehormatannya dilecehkan.

Setelah pasukan menang, sang muslimah dibebaskan dan pelakunya dihukum. Khalifah berkata, “Aku datang dengan pasukan yang kepalanya di tempatmu dan ekornya masih di Baghdad.”

Masya Allah! luar biasa. Satu perempuan saja yang diganggu, negara Islam langsung bergerak. Bandingkan dengan hari ini, jutaan perempuan diperkosa, dilecehkan, dan dizalimi, tapi negara seolah bisu.

Inilah wujud nyata dari sistem yang rahmatan lil ‘alamin dan pemimpin yang sadar bahwa amanahnya adalah melindungi kehormatan umat, bukan sekadar duduk di kursi kekuasaan.

Dalam sistem Islam, negara tak hanya menjadi pelindung fisik dan hukum, tapi juga penjaga moral dan peran fitrah setiap individu. Perempuan diposisikan mulia, bukan sebagai alat produksi atau objek pasar, tapi sebagai ummun wa rabbatul bait —ibu dan pengatur rumah tangga—yang tugasnya sangat vital bagi generasi umat.
Berikut beberapa poin bagaimana Islam meri’ayah perempuan dan keluarga:

Pertama, Keluarga sebagai institusi utama.
Islam membangun masyarakat dari akar: keluarga. Negara memfasilitasi terbentuknya keluarga sakinah melalui pernikahan yang mudah dan berkah, bukan mahal dan ribet.

Kedua, Perempuan dijaga, bukan dieksploitasi. Islam melarang eksploitasi perempuan untuk keuntungan ekonomi. Pakaian menutup aurat bukan pengekangan, tapi penjagaan dari pandangan yang merusak. Islam menjaga kehormatan perempuan sejak dini.

Ketiga, tanggung jawab nafkah pada laki-laki. Dalam Islam, laki-laki (ayah, suami, wali) diwajibkan menafkahi perempuan dalam tanggungannya. Negara memastikan laki-laki memiliki pekerjaan halal dan memadai. Jika tidak mampu, maka negara wajib hadir, bukan menyuruh perempuan menggantikan peran tersebut.

Keempat, negara sebagai pelindung keluarga.
Negara Khilafah akan mengedukasi masyarakat dengan kurikulum Islam, menyediakan layanan kesehatan, keamanan, dan peradilan syariah yang adil. Pelaku kejahatan terhadap perempuan dihukum tegas agar ada efek jera.

Kelima, peran perempuan dalam masyarakat tetap luas. Islam tidak mengekang perempuan di rumah. Perempuan boleh berkontribusi di ranah pendidikan, kesehatan, dakwah, dan kehidupan publik dengan tetap menjaga syariat—dengan hijab syar’i, tanpa ikhtilat yang melanggar.

Dalam sistem Islam, perempuan tak akan menjadi korban dan bukan hanya dijadikan slogan “pemberdayaan”, lalu dihabisi perlahan oleh budaya permisif dan sistem yang membebani mereka tanpa perlindungan. Islam datang tidak untuk mengurung, tapi untuk menjaga. Tidak untuk membungkam, tapi untuk memuliakan. Perempuan adalah amanah, bukan komoditas. Dalam naungan syariat dan Khilafah, mereka dijaga kehormatannya, dilindungi haknya, dan dihormati perannya. Jauh dari eksploitasi kapitalisme dan abainya negara sekuler yang hanya tahu menghitung keuntungan, bukan air mata rakyatnya.

Jadi, Islam bukan hanya menjaga perempuan secara simbolis, tapi memberikan sistem konkret yang melindungi dan memuliakan mereka secara utuh, dalam rumah maupun masyarakat. Perempuan bukan sekadar simbol perjuangan atau alat propaganda, tapi mahkota mulia yang dijaga. Maka, pertanyaannya kembali Mau sampai kapan perempuan terus berada dalam lingkaran setan ini? Mungkin sudah waktunya kembali pada sistem yang benar-benar memanusiakan perempuan, yakni Islam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 18

Comment here