Penulis: Darni Salamah
Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan tertangkapnya koruptor Djoko Tjandra pada tanggal 31 Juli 2020. Bukan isapan jempol belaka, kasusnya yang membuat gempar bukan hanya tindakannya yang mencuri uang negara tanpa nurani, melainkan proses penangkapannya yang begitu memakan waktu yang tidak sebentar. Bak sedang memainkan peran dalam sebuah drama, Joko Tjandra sukses membodohi rakyat.
Tentu hal ini, menjadi tanda tanya besar, buron selama 11 tahun sebagai terdakwa kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp. 904 miliar mustahil tidak dilakukan secara terstruktur. Dengan leluasanya seorang buron bisa membuat e-ktp dengan mudah. Kuasa korporasi seakan membungkam langkah penguasa di setiap lini untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat (kompas.com 30/07/20 )
Lembaga peradilan seakan kian mandul melaksanakan fungsi dan amanahnya. Keberhasilan sebuah lembaga peradilan dikatakan berhasil apabila menegakkan hukum yang sesuai syariat yang memberikan efek jera kepada pelaku pencurian, terlebih koruptor.
Sanksi yang dijatuhkan pun tak sebanding dengan kerugian negara, denda yang tak seberapa menjadikan para koruptor membudaya.
Padahal ada hak rakyat yang diterlantarkan, dan hak-hak yang diambil para koruptor adalah mutlak milik rakyat seutuhnya. Hanya di negara Indonesia, koruptor menjadi pelaku kriminal yang begitu dimanja, ditempatkan di tahanan yang mewah, mendapat perlakuan yang istimewa dari sipir dan juga perlakuan spesial dari pemerintah. Tak heran, bila koruptor sekelas Djoko Tjandra bisa berselancar bebas buron selama 11 tahun karena memang hukum di Indonesia tidak memiliki wibawa.
Saat ini Polri juga tengah mendalami adanya dugaan aliran dana dari Djoko Tjandra. Serta pemeriksaan lebih lanjut Djoko Tjandra, terkait beberapa dugaan kasus lain yang menjeratnya yakni penerbitan surat jalan dan rekomendasi.
(Kompas.com 1/08/20)
Penangkapan Djoko Tjandra tidak bisa dianggap sebuah prestasi bagi kepolisian hal ini merupakan kewajiban pemangku kekuasaan untuk mencegah hal-hal yang merugikan negara dan rakyat. Dari semua sisi negara kita bahkan sudah terikat erat dengan korporasi, hingga hukum pun ikut menjadi hal yang diinvestasikan sehingga bisa dimonopoli dengan leluasa.
Hukum dalam Islam sendiri merupakan hal yang mutlak dalam sebuah negara, HAM (Hak Asasi Manusia ) seakan menjadi marhalah atau propaganda. Karena slogan itu tak pernah sejalan dengan praktiknya. Seharusnya Indonesia menerapkan hukum yang berlandaskan syariat, sehingga menjadikan para pelaku koruptor menjadi jera, bahkan tidak membudaya. Tak hanya itu dengan landasan hukum Islam, akan mencegah tindak pidana korupsi sebelum terjadi.
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,”Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”
Allah Azza wa Jalla menegaskan:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّه
ِۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيم
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]
Dan apa yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan kepada seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri
. ‘Abdullâh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
أََنَّرَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ
(Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham) [Muttafaqun ‘Alaihi]
Jelas, jika hukum Islam sejatinya diterapakan tentu hukum negara pun akan memiliki prinsip kokoh, yang tidak akan pernah dicedera, bahkan kedamaian akan tercipta karena negara terpelihara dari hal yang munkar.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 3
Comment here