Oleh: Azizah, S.Pd.I (Penyuluh Agama Islam)
Wacana-edukasi.com — Matahari akan tetap menjadi matahari meski tak terlihat oleh orang buta. Khilafah pun akan tetap menjadi khilafah, sebuah sistem pemerintahan Islam yang akan melakukan pengaturan urusan-urusan dunia serta memelihara urusan-urusan agama meski para pembenci berusaha menutupi cahaya kebenarannya.
Demikianlah framing musuh-musuh Islam untuk mendistorsi ajaran khilafah tak akan bisa permanen. Terlebih lagi jika historia khilafah dibaca dengan penuh kejujuran. Saat kekuasaannya mampu membebaskan Nusantara dari kegelapan, dari penyembahan kepada berhala dan dewa-dewa menuju penyembahan terhadap Allah Swt. Inilah bukti perhatian dan kecintaan khilafah pada kaum muslim diberbagai penjuru dunia, tanpa memperdulikan sekat-sekat nasionalisme.
Terbukalah tabir sejarah yang sesungguhnya, begitu jelas jejak-jejak khilafah dimasa lalu dalam mengembangkan politik dan militer di Nusantara. Bukan untuk menguasai apalagi menjarah kekayaan alamnya, tetapi untuk membantu melawan hegemoni penjajah.
Mempelajari sejarah khilafah, perjalanan dan perjuangannya meniscayakan sebuah pelajaran berharga yang akan menjadi penentu apakah sejarah khilafah harus dikaburkan atau dikuburkan identitasnya. Apakah sejarah khilafah harus dibuang atau justru diambil sebagai inspirasi bagi kemajuan dan kebaikan bangsa.
Jejak Portugis di Nusantara
Ada sejumlah motivasi mengapa kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (Cepesa 2002) mengutip sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam tiga kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama katolik.
Dalam istilah yang sudah populer juga dikenal sebutan 3G meliputi gold, glory, dan gospel. Gold maknanya merampas kekayaan umat Islam, glory artinya melakukan pembalasan terhadap kaum muslim yang telah menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman kekhilafahan Bani Umayah, dan gospel maksudnya menjalankan tugas suci kristenisasi. Ketiganya adalah spirit portugis untuk mewujudkan dominasi politik militer terhadap umat Islam
Menurut Uka, Al Burquerque Gubernur Portugis kedua dari Estado da India, Kerajaan Portugis di Asia merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa ia memimpin langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara. Ia dan pasukannya mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511.
Periode 1511-1526 selama 15 tahun Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi kerajaan Portugis yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada tahun 1512 Al fonso de Al buquerque juga mengirim Antonio Albreu dan Franscisco Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Sepanjang perjalanan mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan nahkoda-nahkoda Jawa, armada itu tiba di kepulauan Banda terus menuju Maluku hingga tiba di Ternate (1547).
Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat- seperti dengan kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan Benteng di Pikaoli, begitu pula negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon. Hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama kristen. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575) membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Khilafah dan Perlawanan Malaka Terhadap Portugis
Nama khilafah Islam Turki Utsmani melekat di hati umat Islam Nusantara setelah keberhasilannya melakukan futuhat (penaklukan) konstantinopeI sebagai Ibukota Romawi Timur pada 857 H/1453 M. Sehingga julukan ‘Sultan Rum’ menjadi terkenal di Nusantara.
Namun sebelumnya istilah ‘Rum’ ini mengacu kepada Byzantium, dan kadang-kadang juga kepada kerajaan Romawi. Hingga muncul Khilafah Islam Turki Utsmani menjadikan sebutan ‘Rum’ beredar untuk menyebut kesultanan Turki Utsmani.
Semenjak Portugis berhasil menancapkan pengaruhnya di wilayah Samudera Hindia dan Malaka tidak hanya dua wilayah tersebut yang ditimpa petaka namun juga hampir seluruh samudera Hindia dan Nusantara. Sultan Samudera Pasai kala itu Zainal Abidin bin Mahmud bin Zainal Abidin RaUq Baddar yang mendaulatkan diri sebagai Al Qaim Tahta Rabb al Alamin (Orang yang berdiri di bawah Tuhan semesta alam) mengirim surat kepada Portugis di Malaka untuk menggugat sikap mereka yang sangat merugikan kaum muslimin di kawasan.
Namun apalah daya Sultan Zainal Abidin yang dikenal sebagai penguasa terakhir Pasai. Setelah ia wafat 1517 bala tentara pertugis datang ke Pasai dan menaklukkan Kesultanan Islam pertama di Nusantara itu dengan penuh tipu daya.
Tak hanya Pasai yang berhasil ditiadakan. Portugis juga mampu menahan serangan pasukan Islam dari Demak. Sampai-sampai Sultannya Pati Unus bin Raden Patah syahid dilumat muntahan meriam Portugis pada tahun 1521.
Dengan diplomasinya yang culas Portugis juga menjalin kerjasama dengan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat tahun 1522. Dua tahun berikutnya ( 1524) Kota Blambangan, Panarukan dan Kediri yang masih menjadi basis kekuatan Hindu di Jawa menawarkan kerjasama dengan Portugis. Maka Portugis banyak mendapat aliansi sesama kafir yang terdapat di wilayah nusantara untuk bersatu padu menghantam kekuatan politik Islam yang baru tumbuh di Jawa.
Perlawanan terhadap dominasi dan penjajahan Portugis terus dilakukan. Nyatanya hal ini tak bisa dilepaskan dari peran dan uluran tangan khilafah, sebagai sebuah negara adidaya di masanya.
Kekuatan politik dan militer kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan Lautan Hindia pada awal abad ke-16. Sebagai pemerintahan Islam global bagi kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramain (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Oleh karena itulah pada posisi ini para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji.
Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani ditempatkan di bawah kontrol negara khilafah. Dengan demikian jamaah haji dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis karena ada jaminan keamanan secara riil dari angkatan perang Turki Utsmani.
Sementara di Maluku Portugis berhasil menancapkan kuasanya sejak tahun 1536. Berkaca pada kelakuan Portugis yang memerangai umat Islam di Samudera Hindia dan Nusantara, Sultan Sulaiman Al Qanuni sang Khalifah Utsmaniyah yang berkuasa sejak 1520 menyatakan peperangan terbuka kepada penguasa Portugis yang berkedudukan di Lisbon, Don Sebastio.
“Telah dilaporkan kepada saya bahwa jamaah haji dan para pedagang Muslim yang datang dari India melalui laut telah dianiaya. Jika engkau masih membangkang, maka dengan bantuan Allah Yang Maha Agung kami akan melakukan segala yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban di negeri-negeri itu dan tiada guna lagi bagi engkau untuk memprotesnya”
Selanjutnya Sultan Sulaiman melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya untuk membebaskan seluruh pelabuhan yang dikuasai portugis, guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.
Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah barat Sumatera dengan menempatkan angkatan laut Utsmani di lautan Hindia. Pada saat yang sama Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di lautan Hindia, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan Hindia sepanjang abad 16.
Dalam kaitannya dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528) Laksamana Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut :
(Portugis juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang di sebuh Syamatirah (Sumatera)… dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera…karena itu ketika kapal-kapal kita sudah siap dan Insyaallah bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu”.
Kekuatan baru Islam juga terbit di ujung utara Sumatera, Kesultanan Aceh. Dengan sultan yang pertama Ali Mughoyyat Syah, wafat di tahun 1530 semasa Sultan Sulaiman Al Qanuni menjadi Khalifah Utsmaniyah.
Prestasi Sultan Ali Mughayyat Syah telah dicatat dengan tinta emas sejarah. Kegemilangan Sultan Aceh pertama itulah yang direkam oleh Syekh Ahmad Zainudin Asy Syafii Al Malibari, yang merupakan murid dari ulama tersohor Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitabnya Tuhfatul Mujahidin Fi Ba’di Akhbari Al Burtuqaliyyin. Beliau menulis :
“Dan mereka orang-orang Portugis, semoga Allah mengalahkan mereka. Mereka mendatangkan berbagai barang dari negeri-negeri yang jauh, mereka menjadi ramai dan bertambah banyak di kawasan. Para penguasa di berbagai pelabuhan mengikuti kehendak mereka sehingga mereka sepenuhnya menguasai pelabuhan-pelabuhan tersebut. Pelayaran hanya dapat dilakukan dengan jaminan keamanan dari mereka. Perdagangan dan kapal-kapal mereka bertambah banyak dan sebaliknya perdagangan muslimin di luar kapal-kapal dan benteng-benteng yang mereka bangun semakin merosot. Tiada seorang pun yang dapat merebut kota pelabuhan itu selain Sultan yang mujahid, Ali Al ‘Aysiyy semoga Allah menerangkan kuburnya karena Sultan Ali Al Asyiyy-lah yang telah membuka Sumatera dan menjadikannya Darul Islam. Semoga Allah membalas kebaikannya untuk kaum muslim dengan sebaik-baik balasan”
Sultan Ali Mughayyat Syah juga dikenal sebagai Al Ghazy, petarung di daratan dan di lautan
sebagaimana kalimat yang tertulis dan terpampang pada nisannya Al Ghazi fi Al Barri wa Al Bahri Yansuruhullah. Semoga Allah memberi pertolongan kepadanya.
Perjuangan Sultan Ali Mughayyat Syah dilanjutkan oleh penerus beliau Sultan Alaudin Riayat Syah Al Qahhar. Selama masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahhar, Aceh melancarkan serangan besar-besaran ke Malaka demi menghancurkan Portugis. Serangan-serangan itu dilancarkan pada tahun 1537, 1564, dan 1568. Pada serangan ketiga 1568 armada raksasa berkekuatan 15.000 Ghazi Aceh, 400 Jenisaris dari Khilafah Utsmaniyah dan 200 meriam monster karya para ahli senjata Utsmaniyah berangkat ke Malaka yang dikomando langsung oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahhar.
Seorang sejarawan Universitas Kebangsaan Malaisya, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futuhat terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki untuk melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.
Demikianlah hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Nuruddin Ar Raniri dalam bukunya Bustan As Salathin meriwayatkan, Sultan Alaudin Riayat Syah Al Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Husein Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. Pada Juni 1562 M utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk menyampaikan petisi dari Sultan Alaudin yang meminta bantuan militer utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika Duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973H /1564 M.
Sultan Sulaiman Al Qanuni wafat tahun 974 H/1566 M. Akan tetapi petisi Aceh tersebut mendapat dukungan dari Sultan Selim II (974-982 H/1566-1574 M) yang mengeluarkan perintah kesultanan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975 H/1567 M Laksamana Turki di Suez, Kortoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri.
Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 M sebanyak 500 orang, termasuk ahli-ahli senjata api, penembak, dan ahli-ahli teknik. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis Malaka pada tahun 1568 M.
Portugis yang menguasai daerah Malaka benar-benar kewalahan dan hancur berantakan ketika diserang bertubi-tubi oleh pasukan Aceh. Walau demikian Portugis masih bisa bertahan karena dibantu oleh sekutu-sekutunya dari Johor dan Kedah. Banyak korban yang berjatuhan baik dari pihak Aceh maupun pihak Portugis. Begitu pula ada beberapa Jenisaris Utsmaniyah yang turut gugur dalam jihadnya di kawasan nusantara ini. Mereka yang syahid dimakamkan di kompleks makam Teuku Di Bitay.
Berkaitan dengan hubungan Aceh dan khilafah Utsmaniyah, Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563 M penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan perlawanan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja (sultan) di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhilafahan utsmaniyah mau menolong mereka.
Saat itu kekhilafahan utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu (seperti) pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung. (Disarikan dari berbagai sumber).
Wallohualam Bishowab
Views: 12
Comment here