Penulis: Rita Razis (Ibu Rumah Tangga Boyolali)
Wacana-edukasi.com — Perbuatan yang halal namun dibenci oleh Allah Swt. adalah Perceraian. Sedang marak tidak hanya di kota-kota besar saja tetapi juga diberbagai kabupaten. Sebanyak 966 pasangan suami istri atau pasutri mendaftar untuk bercerai sepanjang Januari-Juni 2020 di Pengadilan Agama Boyolali. Pertengkaran terus menerus pada pasangan menjadi penyebab terbesar munculnya perceraian. Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Boyolali, Mubarok, mengatakan dari 966 perkara perceraian itu, sebanyak 877 pasutri sudah diputus cerai (krjogja.com, 14 Juli 2020)
Beragam pemicu atau faktor membuat masyarakat mengambil jalan perpisahan dan didominasi istri yang mengajukan ke pengadilan. Panitera PA Sragen Ahmad Fuad Agustani menyampaikan angka perceraian di Kabupaten Sragen tertinggi di wilayah eks Karesidenan Surakarta.Dari 2.065 kasus hingga akhir Oktober lalu, memang lebih didominasi cerai gugat atau permohonan atas permintaan dari pihak perempuan. Faktor terbesar penyebab alasan perceraian adalah ekonomi menyumbang 36 persen perkara, perselingkuhan 17 persen, kemudian lain-lain seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan faktor cemburu
(suaramerdekasolo.com, 12/11/ 2019).
Sebelum covid-19 nilai perceraian di Indonesia sudah tinggi, sekarang semakin tinggi karena wabah covid-19 melanda di seluruh dunia tidak hanya memakan korban jiwa dan bidang kesehatan tetapi juga mengguncang keadaan ekonomi negara termasuk ekonomi tingkat rumah tangga. Mulai dari pendapatan masyarakat yang berkurang karena ketika berjualan sepi atau bagi tenaga buruh pabrik tidak masuk setiap hari bahkan ada pabrik yang melakukan PHK karyawan secara besar-besaran. Sehingga tidak ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ekonomi rakyat yang terpuruk ditambah lagi kebijakan pemerintah membuka lowongan pekerjaan untuk tenaga asing. Hal ini menjadikan rakyat sendiri dianaktirikan, terbengkalai, dan tidak dipedulikan kesejahteraannya.
Kondisi yang berubah 180°membuat ekonomi rumah tanggapun berubah. Seperti hukum rimba siapa yang kuat dia yang bertahan dan berkuasa. Sistem kapitalis menciptakan sebuah pemikiran ditengah-tengah masyarakat bahwa kebahagian itu dengan memiliki materi yang banyak bahkan sebanyak-banyaknya. Tidak peduli harta halal atau haram yang penting kaya raya. Hal ini membuat standar kebahagian dalam rumah tangga bukan lagi sakinah, mawadah, dan warahmah tetapi harta banyak, bisa membeli segalanya, mengikuti model kekinian, dan semua tentang duniawi.
Itulah standar kebahagian keluarga di sistem kapitalis. Sistem sekarang membuat orang jauh dari fitrahnya, lupa jika rezeki seseorang Allah yang menentukan, menikah merupakan ibadah dan negara pun abai dengan kondisi rakyatnya. Salah satu tujuan menikah adalah menyempunkan ibadah dan mendapatkan RidhoNya bukan karena harta dan tahta. Allah juga memberikan hak talak pada suami bukan kepada istri. Karena fitrahnya suami adalah seorang pemimpin dan ketika mengatasi masalah seorang lelaki akan mencari jalan keluar melalui pemikirannya bukan dengan perasaannya. Istri sholehah menjadikan standar kebahagian keluarga bukanlah nominal harta tetapi mendapat ridho dari Allah. Apapun kondisi yang dihadapi di keluarga adalah ujian, Allah tidak akan menguji seorang hamba melebihi kemampuan hambanya.
Bereda ketika sistem Islam yang diterapkan, kita akan selalu menjadi keluarga yang bahagia karena keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah bukan standar materi. Selain kerjasama antara suami dan istri untuk saling menguatkan, mengingatkan, dan berjuang bersama untuk mencapai tujuan (Ridho Allah). Dengan sistem Islam peran keluarga, masyarakat, dan negara akan sesuai dengan porsinya masing-masing dan dalam rangka untuk mencapai tujuan yang sama dan menjadi hamba Allah yang bertakwa
Views: 2
Comment here