Opini

Wanita dan Peradaban

blank
Bagikan di media sosialmu

Penulis: Uqie Nai Alumni Branding Writer 212

Wacana-edukasi.com — Gencarnya kaum feminis memperjuangkan hak-hak wanita agar setara dengan pria masih terus berlanjut di negeri ini dan juga wilayah lainnya. Mereka terus melayakkan dirinya agar bisa diterima di kancah perpolitikan agar bisa menyalurkan aspirasi kaum wanita yang dianggap marginal dan terpinggirkan. Selain masuk partai politik mereka juga melibatkan diri dalam pesta demokrasi. Baik dalam pilkada atau pun pilpres. Bahkan berbagai program terkait memajukan kaum wanita pun kerap digulirkan dengan tujuan agar kaum wanita mampu berperan aktif mengambil bagian tegaknya peradaban.

Pertengahan Agustus lalu, dilansir oleh Pikiranrakyat.com., Senin (17/8/2020) telah diadakan diskusi Sawala Aksi Wanoja Sunda (Sawanda) yang bertempat di Aula Redaksi Pikiran Rakyat (PR), Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung. Dalam acara tersebut dihadirkan beberapa narasumber antara lain anggota DPR RI Nurul Arifin, ketua Sawanda, Mira RG Wiranatakusumah dan Ina Primiana. Diskusi mengangkat tema Wanoja Sunda sebagai Ibu Peradaban untuk Indonesia Jaya.

Dalam kesempatan itu Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Ina Primiana mengatakan ada dua hal yang harus dilakukan wanoja Sunda agar mampu menjadi ibu peradaban, sehingga akan memutus rantai kemiskinan dan kebodohan.
Pertama, dengan terus melanjutkan pendidikan. Saat ini, rata-rata perempuan di Jawa Barat, hanya lulusan SD dan SMP. Tidak sedikit yang meninggalkan keluarga untuk bekerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri, padahal pekerjaan mereka hanya menjadi asisten rumah tangga.

Lebih lanjut Ina mengatakan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan itu tetap memerlukan intervensi pemerintah, baik daerah maupun pusat. Sudah banyak perempuan yang berusaha untuk berdaya. Tapi, yang menjadi kendala, terutama di perempuan lokal, mereka tidak tersentuh akses pemerintah. Misalnya, banyak perempuan lokal yang membuka usaha pembuatan alat pelindung diri (APD) dan masker, tapi mereka kesulitan dengan pemasarannya.
Berikutnya, kaitan pendidikan terhadap pengangguran. Menurut Ina harus ada usaha dalam menyesuaikan kurikulum SMK dengan kebutuhan lapangan usaha. Upaya itu harus dibarengi dengan adanya edukasi anak perempuan agar terus melanjutkan pendidikan. Dengan demikian, diharapkan perempuan dapat memutus rantai kebodohan dan kemiskinan.

Pembicara lainnya adalah anggota DPR dari Partai Golkar, Nurul Arifin. Ia mengatakan pentingnya perempuan dalam politik, karena menurutnya banyak hal dalam politik tentang perempuan yang tidak bisa dibahas kaum lelaki secara keseluruhan. Nurul juga menyampaikan kekecewaannya melihat masih jarang perempuan di aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki posisi pimpinan. Demikian pula di militer dan kepolisian. Diakui Nurul, masih ada persoalan kemampuan pada perempuan serta kekhawatiran perempuan bila meninggalkan rumah demi kariernya.

Ditinjau dari sudut perubahan serta peradaban hakiki, diskusi daring Sawanda di atas tentu tidak bisa mewakili kaum wanita secara umum. Persoalan bahwa wanita bisa memutus rantai kebodohan dan kemiskinan hingga terwujud peradaban gemilang tentu tidak cukup dengan memperbaiki kualitas pendidikan, berkiprah di ranah ekonomi praktis atau terjun ke dunia politik dan militer. Pasalnya, solusi yang ditawarkan tersebut masih sulit terealisasi manakala arah pandang kehidupan masyarakat dan negara saat ini lebih didominasi ke arah materi dan manfaat. Kualitas individu seorang wanita ataupun isteri dengan meningkatkan kemampuan secara akademis, bisa mensejajarkan diri dengan kaum adam pada akhirnya akan mengedepankan eksitensi dan potensi semata tapi melupakan kodratnya sebagai ibu rumah tangga dan pencetak kader cemerlang bagi anak-anaknya. Inilah yang diinginkan barat dengan paham kapitalis liberalnya.

Sebab, bagaimana pun juga kesibukan wanita di alam seperti ini akan menyita sebagian besar waktu mereka yang harusnya banyak di rumah bersama anak serta suami. Isteri pada akhirnya berperan ganda. Sebagai ibu sekaligus pencari nafkah. Ironisnya, perlahan tapi pasti pergeseran nilai serta akhlak akan terjadi, ketahanan keluarga rapuh, antar anggota keluarga menjadi asing. Lalu dimana peradaban itu jika kondisi keluarga saja tak tentu arah?
Islam dengan syariatnya telah mengangkat harkat dan martabat wanita menjadi lebih mulia. Di mata syara’ tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam beban (taklif) hukum. Tidak ada istilah persamaan gender atau keutamaan, kalaupun ada itu adalah pembahasan khusus sebagai sebuah ketetapan berdasar tabiat. Yang jelas, sebagai manusia mereka memiliki hak dan kewajiban yang harus diikuti. Mereka memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum, atau militer tanpa mengabaikan peran utama lainnya sebagai ibu rumah tangga dan pengemban dakwah.

Saat mereka berkiprah di tengah publik, rambu dan batasan senantiasa harus diperhatikan agar aktivitas mereka tidak mengarah kepada keharaman dan kemaksiatan. Ada ketentuan menutup aurat secara sempurna ketika keluar rumah; aktivitasnya bukan yang diharamkan syara’; mendapat izin suami; tidak khalwat (berduaan dengan laki-laki asing/bukan mahram); tidak ikhtilat (bercampur baur antar lawan jenis); didampingi mahram saat bepergian jauh (dengan jarak tempuh sehari semalam).

Pada hakikatnya, aturan yang lahir dari syariat Islam bukan untuk mengekang atau membatasi gerak kaum wanita, namun justru untuk menjaga dan melindungi kehormatan serta kemuliaan perempuan. Terlindungi dari pelecehan seksual, asusila, atau tindakan tidak menyenangkan serta dosa besar lainnya. Pendidikan mereka akan berdaya guna untuk anak-anaknya, keluarga, masyarakat bahkan negara. Di tangan mereka lah peradaban gemilang itu benar-benar akan teraih. Adapun munculnya istilah persamaan dan keunggulan di antara laki-laki dan perempuan bersumber dari pandangan barat yang ingin menghancurkan hak-hak perempuan (Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizham al Ijtima fi al Islam, hal 78).

Secara personal kaum wanita dalam didikan Islam mampu memahami hakikat dirinya sebagai wanita sekaligus sebagai ummu wa rabbatul bait. Kondusifitas peran aktif mereka berkaitan erat dengan sistem yang menaunginya yakni institusi Islam bernama al khilafah. Riayah dari seorang khalifah sebagai penerap syariat menjadikan kiprah wanita menjadi lebih berharga. Untuk dirinya, keluarga, masyarakat, negara bahkan agama. Maka tak heran jika kegemilangan Islam dipengaruhi juga oleh wanita-wanita hebat pencetak peradaban. Sebut saja sosok Aisyah ra., isteri dari sosok mulia Rasul saw. yang dikenal karena kecerdasannya sebagai ahli hadis, fiqih dan keilmuan Islam lainnya menjadi rujukan para sahabat pasca wafatnya Rasulullah.

Kemudian ada As- Syifa binti Abdullah, dikenal sebagai ‘penyembuh’ sekaligus guru wanita pertama di masa Rasul saw. Kecerdasan dan ketinggian ilmunya ia dedikasikan untuk mengajar para muslimah termasuk mengajar isteri Rasul yakni Aisyah ra. dan Hafshah binti Umar, bahkan di masa khalifah Umar bin Khattab As Syifa diangkat sebagaii qadhi hisbah (hakim yang menangani pelanggaran hak umat di pasar); lalu ada Al-Khansa sebagai ibu pencetak mujahid. Ia mengantarkan semua putranya menjadi syuhada. Kemudian Rufaidah binti Sa’ad, dikenal sebagai perawat pertama dalam Islam. Gazalah Al-Haruriah dikenal sebagai sosok wanita tangkas di medan perang hingga membuat musuhnya kewalahan dan lari terbirit-birit. Khaulah binti Azwar, ahli syair yang kuat dan tangkas, beberapakali ikut terlibat dalam pertempuran bersama Rasulullah dan para sahabat.

Demikianlah gambaran riil saat peradaban dapat diraih melalui kontribusi perempuan dalam beberapa aspek kehidupan. Dengan kesalihahannya serta dukungan negara sebagai lembaga penerap syariah, kiprah mereka terlindungi hingga peran aktif mereka berguna untuk kemajuan Islam. Yakni, kemajuan hakiki yang lahir dari perjuangan bernafaskan akidah Islam semata-mata mengharap ridha Allah Swt. Terbukti, Islam menjadi adidaya beberapa abad lamanya hingga menguasai 2/3 dunia. Sebaliknya, program serupa tidak akan menghasilkan target yang diharapkan jika mindset umat, terlebih kaum perempuan ada dalam cengkeraman kuffar barat dengan gaya hedonis, permisif sebagai turunan dari kapitalisme. Baik sebagai pelaku atau korban seperti saat ini.

Wallahu a’lam bi ash Shawwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here