By: RAI Adiatmadja
Wacana-edukasi.com — “Kak, aku lapaar.” Kemudian suara tangis itu mengalun di tengah terik matahari yang menggila.
Bocah perempuan berbaju kumal, kotoran di tubuhnya begitu kental. Rambut sebahu, sudah tak jelas bentuk, terlihat kaku seperti ijuk. Air mata kontras dengan pucat pasi wajah. Tak terlihat ada rekaman di matanya tentang masa kecil yang indah.
“Sabar ya, Dek. Sebentar lagi kita akan makan.” Sungguh, laki-laki kecil dua belas tahun itu berjuang dewasa, di antara getir kehidupan yang memaksanya menenun keras jelaga, Semua tak semestinya ia terima.
“Aku tidak kuat, Kak. Aku lapar,” rintihnya memegang perut.
“Minum dulu ya, Dek.” Sepenuh kasih sayang ia tuangkan air yang tak lebih dari setengah cangkir.
Sorot mata si gadis kecil delapan tahun itu sayu. “Aku mengantuk, Kak.”
“Sini Kakak peluk, mumpung Pak Mandor tidak ada,” ucapnya.
Langit siang mengantar pelukan sang kakak di antara tumpukan batu yang harus ia pindahkan dengan segera.
Dek, merdeka itu bukan untuk kita, bisik hatinya bergemuruh.
***
“Toleeeeeeee! Di mana kau?!” Suara lantang dan keras memecah sunyi yang ia ciptakan untuk sang adik, agar berani menikmati lelap di antara kejamnya rasa lapar.\
“Nggih, Pak. Nai lapar, saya coba menenangkan karena tubuhnya sudah lemas.” Tole menjelaskan sambil tertunduk.
“Jangan malas kalau mau dapat duit, noh lihat jam. Kau perlu berjuang sekitar tiga jam untuk bisa membeli makanan. Bilang sama adikmu jangan manja!”
“Bukan manja, Pak. Dia lapar …,” ujarnya masih dalam tunduk.
Laki-laki dengan perawakan tinggi besar, memiliki raut yang bengis, mata melotot, kumis tebal, hidung besar. Menghardik tanpa perasaan. “Tinggalkan adikmu, cepat pindahkan batu itu?!”
Dek, merdeka itu bukan untuk kita, bisik hati Tole kian berat.
*
Sebuah batu, ia pikul sebelum tepat waktu. Masa bahagianya dirampas oleh kapitalisme. Sungguh kejam saat segalanya harus didapatkan dengan uang. Harapan bisa melewati masa kecil dengan tenang pun secepat kilat menghilang.
Tole berjuang tanpa meradang, bukan pasrah atas apa yang tak lazim menjadi haknya. Namun, tak ada pilihan tepat, selain bertahan dan menguat. Ia teringat pesan laki-laki senja yang merenta. Bapak pernah bilang tentang hidup di zaman ini bagi kami adalah tak beda dengan masa penjajahan, hanya bisik hati yang bergemuruh melipurkan rapuh.
Satu jam berlalu, Tole berjuang mengukur waktu dengan letih yang memburu, hanya untuk membeli tak lebih dari dua bungkus nasi berlauk tempe dan tahu. Tubuhnya laksana mandi di kali, bersimbah keringat yang berbau menyengat. Dada telanjang, punggung terbakar terik yang enggan menghilang.
“Bocah, jadi laki-laki jangan lemah. Makanya jangan nakal, harusnya sebesar kau itu sekolah, jadi orang pintar, bukan menjadi orang terlantar!”
“Saya tidak nakal, Pak. Hanya belum beruntung.” Tole tersenyum pahit kepada Pak Jaya–laki-laki baru yang menjadi partner kerjanya.
*
Tentu ia mendamba menjadi pelajar agar hidup tak kurang ajar, tetapi ada tanya yang sempat ia utarakan kepada laki-laki senja suatu ketika.
“Pak, mengapa kini banyak yang bersekolah, tetapi tabiatnya payah?” tanya Tole.
“Begitulah kenyataannya ketika aturan kehidupan menjauh dari ajaran Allah, Nak.”
Ahhh … Tole selalu ingat pesan itu. Hatinya kembali lapang, tak mengapa tak sekolah karena ia sedang belajar dari kehidupan keras ini. Ia masih punya harapan meminta dalam doa.
*
Tak jauh dari tempat tumpukan batu, ada rumah yang cukup besar berlantai dua. Bercat cokelat dan bernuansa mengkilap, mengesankan kemewahan. Sepasang suami istri bercengkerama bahagia.
Tole dan Pak Jaya menatap mereka dari jauh.
“Le, mengapa adikmu selalu kau bawa? Di mana dia sekarang?”
“Kami hidup berdua terlunta-lunta,” jawab Tole sambil tersenyum.
“Di mana adikmu sekarang?” Pak Jaya mengulang pertanyaan.
“Di tumpukan batu yang agak teduh, Pak. Dia lapar dan tertidur.” Tole menunjuk ke arah tempat Nai merebahkan tubuhnya.
“Le, harusnya kau tidak usah membawa Nai bekerja, ibumu ke mana?”
Tole tersenyum getir.
“Jawab, Le!” Pak Jaya memaksa.
Tole menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Ibu pergi setahun lalu, setelah kehabisan darah saat mau melahirkan anak ketiga.”
Hening mengunci. Meski tetap saja tak mampu merayu terik untuk mereda.
“Meninggal?” tanya Pak Jaya.
Tole menganggukkan kepalanya pelan.
“Ayahmu?” Pak Jaya semakin terlihat penasaran.
Tole menunjuk ke tempat sepasang suami istri yang sedang bercengkerama.
“Pak Mandor?!”
Lagi dan lagi Tole menganggukkan kepalanya lemah.
“Terus siapa laki-laki yang sering kau sebut bapak?”
“Kakekku, ia meninggal sebulan lalu, kata tetangga karena pandemi. Aku diusir dari kampung.”
Pak Jaya terhenyak. Tole tak tertarik untuk mengikuti arus kesedihan yang akan membuat hatinya lemah. Ia pamit kepada Pak Jaya dan bergegas menuju tempat Nai.
Dek, merdeka itu bukan untuk kita, bisik hatinya yang terus menyeret langkah mendekati tubuh sang adik.
*
“Nai, bangun. Yuk kita beli makanan,” ucapnya sambil memeluk sang adik.
Tak ada jawaban, meski tubuh kecil itu terus diguncangkan. Tole mulai merasa ketakutan.
Bayang ibunya dan sang kakek silih berganti. Ia teringat saat meraung-raung tak mau ditinggalkan. “Nai, Nai! Bangun Nai, ayo kita beli makanan!” Tole mulai terisak.
Menit demi menit berlalu, tak ada gerakan pasti dari tubuh Naila. Tole hanyalah laki-laki dua belas tahun, tentu saja sangat wajar ketika ia menjerit dan meraung.
“Kakak, merdeka itu bukan milik kita ….” Suara lembut itu menghentikan tangis Tole.
“Dek, jangan tinggalkan Kakak.” Tole memeluk tubuh adiknya erat. “Kakak berjanji tak akan membuatmu kelaparan lagi, Kakak pun berjanji akan menjawab pertanyaanmu.”
“Merdeka itu milik siapa, Kak?”
Kali ini Tole akan menjawab tanya Nai yang kesekian kalinya. “Milik penguasa, Dek.”
“Penguasa itu siapa? Pak Mandor, Kak?”
Tole menganggukkan kepala.
Dek, jangan bertanya lagi karena aku sudah menjawabnya. Kita adukan pada Tuhan atas semua kesakitan dan ketidakadilan, bisik hatinya.
*
“Tidurlah, Dek. Semoga kita bermimpi indah, bukan sekadar mimpi makan enak, tetapi hidup layak di surga-Nya.” Tole berkata sambil menyelimutkan kardus ke tubuh Nai.
Beratap langit malam cukup membuatnya tetap bersyukur. Setidaknya ia menemukan hakikat merdeka dengan tak memenjarakan hak-hak orang lain. Ia merelakan kesabarannya berjenjang. Wajah ibunya dan sang kakek silih berganti datang, hingga doa meleburkannya dalam lelap yang tenang.
-o00o
Views: 6
Comment here