Oleh : Leny Agustin S.Pd.
Wacana-edukasi.com — Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa yang cocok menggambarkan masyarakat kita saat ini. Sejak diumumkannya Pandemi oleh WHO pada Maret lalu banyak lini kehidupan yang ikut anjlok, bahkan ekonomi tidak absen dari kemerosotannya. Masalah ini cukup terasa tajam dari kalangan bawah, menengah hingga kalangan atas sekalipun.
Sadisnya, ditengah himpitan ekonomi dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) serta merebaknya korona yang tidak dapat diprediksi kapan berakhir alih-alih mendapatkan vaksin gratis, nyatanya santer terdengar “imunitas” itu berbayar.
Sebagaimana Menteri BUMN sekaligus Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) Erick Tohir akan mengusulkan dua model pembiayaan vaksin Corona kepada pemerintah dan DPR.
Pertama, vaksin bantuan yang dibiayai pemerintah. Untuk model ini, pendanaan akan diambil pemerintah dari APBN. Sedangkan obyek atau masyarakat yang akan dibantu adalah peserta BPJS Kesehatan dari kalangan masyarakat miskin yang iurannya dibantu oleh pemerintah. Erick menghitung ada 93 juta masyarakat miskin yang kemungkinan bisa mendapatkan bantuan ini.
Kedua, vaksin mandiri yang dibiayai sendiri oleh masyarakat. Usulan ini diajukan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan negara yang saat ini sudah terkuras habis-habisan untuk menangani virus corona dan dampaknya (CNNIndonesia, 11/9/20202).
Nyawa kok dilelang
Tumpul, tidak melihat jauh kedepan. Sejak diumumkannya 2 WNI asal Depok positif korona pemerintah tidak transparan dan tidak gesit menangani pandemi. Hingga saat ini ada kurang lebih 183 dokter dan perawat meregang nyawa karena bertugas, 8.544 pasien meninggal dan 211.000 kasus positif. Alibi pemerintah mempertahan mobilitas masyarakat di awal merebaknya virus karena takut ekonomi mandeg membuat alasan itu bak senjata makan tuan. Yang ada sekarang kesehatan ambruk, ekonomi terpuruk politik ikut carut marut.
Meski desas desus vaksin akan diluncurkan perlu beberapa waktu untuk ujicoba, sekalipun berhasil ada kurang lebih 250jt penduduk Indonesia yang harus tersuplai dan mendapat jaminan kesehatan yang sama. Sadisnya kesehatan dan rasa aman yang seharusnya dibayar oleh negara dilimpahkan kepada rakyat. Lewat jalur BPJS ataupun mandiri.
Bayangkan jika pemerintah mau untuk “bersabar” mengambil langkah di depan dengan PSBB dan karantina pasien positif Corona pada lingkup zona merah. Kemungkinan merebak virus kecil dan ekonomi akan stabil karena roda ekonomi tetap berputar. Pun negara tidak susah payah menanggung biaya pasien positif Corona yang semakin hari menambah anggaran belanja negara. Namun naas, begitulah muka kapitalisme. Menuruti uang dimana ada “peluang”.
Tentu ide ini berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan Islam, negara bertugas menjaga nyawa rakyat. Dalam pemerintahan Islam tidak ada istilah jual beli kemanfaatan namun mengedepankan perintah dan larangan Allah, termasuk hal ini menjaga jiwa (kesehatan).
Bahkan, penyelesaian Islam memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pemanfaatan sains dan teknologi untuk mengatasi pandemi. Hal ini tampak dari pandangan Islam yang mendudukkan ilmu pengetahuan tak ubahnya air dalam kehidupan.
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah SWT mengutusku karenanya seperti air hujan yang menyirami bumi.” (HR Bukhari dari Abu Musa dari Rasulullah Saw.)
Semua desain kesehatan yang digali dari Islam itu meniscayakan dalam penyelesaian Islam terwujudnya dua tujuan pokok penanggulangan pandemi dalam waktu singkat.
Pertama, menjamin terpeliharanya kehidupan normal di luar areal terjangkiti wabah.
Kedua, memutus rantai penularan secara efektif, yakni secepatnya, sehingga setiap orang tercegah dari bahaya infeksi dan keadaan yang mengantarkan pada kematian. Seperti tidak boleh seorang pun yang berada di areal terjangkiti wabah keluar darinya. Juga, tidak boleh seorang pun yang berada di luar areal wabah memasukinya.
Prinsip ini sangat efektif untuk memutus rantai penularan wabah. Sebab menutup rapat celah penularan baik sudah terinfeksi tetapi belum diketahui dengan baik karakteristik kuman dan manivestasi klinisnya, maupun dari yang terinfeksi tanpa gejala.
Artinya, prinsip ini dengan sendirinya tidak saja menjamin masyarakat yang berada di luar areal wabah tercegah dari kasus impor (imported case), namun juga mereka dapat beraktivitas seperti biasa.
Wallahu alam
Views: 5
Comment here