Oleh: Imas Sunengsih,S.E. (Aktivis Muslimah Sukabumi)
Wacana-edukasi.com — Indonesia kini belum terbebas dari pandemi, pasalnya angka yang terpapar Covid-19 tembus di angka dua ratus ribu. Berbagai solusi yang ditawarkan pemerintah tidak mampu menyelesaikan pandemi ini. bahkan Indonesia di lockdown 59 negara.
Di tengah kondisi yang sulit, pemerintah akan melaksanakan pilkada serentak, tentu ini akan menambah laju penularan corona dengan sangat cepat dan pasti akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
Beragam polemik dalam pilkada pun banyak terjadi sebagaiman di lansir KOMPAS.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Menko Polhukam, Mahfud MD menanggapi beragam polemik mengenai politik dinasti dalam Pilkada 2020 (kompas.com 05/09/2020).
Menko Polhukam mengatakan, praktik nepotisme atau kekerabatan ini adalah hal yang tidak bisa dihindari. Pernyataan ini bukan hanya pengakuan bahwa nepotisme adalah sesuatu yang nyata dalam demokrasi tapi juga pengakuan atas oligarki kekuasaan yang didukung penuh para pemilik modal (oligarki kapital). Bagi-bagi jatah kekuasaan bukan lagi perkara yang harus ditutup-tutupi. Para pejabat negeri ini telah secara vulgar mempraktikkannya tanpa malu.
Pilkada yang akan digelar hanya akan menghasilkan kekuasaan politik yang tetap berputar disekitar elite tertentu, dan ini legal secara konstitusional. Sebab para elite telah merumuskan kebijakan yang mewadahi keinginan mereka untuk berkuasa. Lihat saja bagaimana Mahkamah Konstitusi pada 2015 telah menghapus pasal antipolitik dinasti pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Jadi, melalui mekanisme demokrasi sendiri telah menghalalkan undang-undang direvisi dan diganti oleh elite kekuasaan agar sejalan dengan kepentingan mereka. Itulah mengapa dikatakan bahwa nepotisme sulit untuk dihilangkan praktiknya dari negeri ini.
Rusaknya paham demokrasi kian terlihat dari pusat hingga ke daerah. Tinggallah rakyat dijadikan tumbal syahwat kekuasaan para elite. Sudah selayaknya rakyat negeri ini mengambil pelajaran, bahwa demokrasi adalah sistem cacat yang tak layak diadopsi. Satu-satunya sistem yang mampu menebar keadilan seraya menjauhkan praktik oligarki yang tegak atas hawa nafsu manusia untuk berkuasa.
Dalam Islam menjaga nyawa itu begitu berharga, tidak menunggu sampai ada korban yang meninggal baru berekasi. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ berikut ini:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam khilafah menangani pandemi berdasarkan ajaran Nabi ﷺ. Khilafah menerapkan karantina wilayah (lockdown) bagi kawasan zona merah. Melakukan proses isolasi serta pengobatan dan perawatan terbaik bagi yang sakit, sampai mereka sembuh. Serta menjamin warga yang sehat agar tetap sehat dan jangan sampai tertular wabah.
Bagaimanapun caranya, aturan Islam melalui sistem khilafah akan berupaya sekuat mungkin agar angka korban tak bertambah. Karena bagi khilafah, satu saja sumber daya manusia yang menjadi warganya, adalah aset yang harus dipertanggungjawabkan pengurusannya oleh penguasa di hadapan Allah Swt di akhirat kelak.
Hanya dengan sistem Islam dalam naungan khilafah sajalah akan berbuah kehidupan normal yang sesuai fitrah penciptaan manusia dan mampu memberikan solusi di masa pandemi. Mari kita semua satukan barisan untuk berjuang mewujudkannya.Ingatlah bahwa ketika Islam diterapkan kesejahteraan akan dirasakan.
QS ar-Rum (30) ayat 41
“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan karena perbuatan tangan
mereka yang tidak taat syariat; Allah menghendaki agar mereka merasakan
akibat perbuatan mereka itu, supaya mereka kembali kejalan yang benar.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 1
Comment here