Oleh: Anita Sutrisnawati, S.Pd
Dua bulan kemudian.
Ruang guru riuh ramai oleh hasil Ujian Semester kelas XII IPA-3. Kelas buangan yang tiba-tiba mendapat nilai menakjubkan di pelajaran fisika. Nilai rata-rata kelas mencapai 90. Sebuah angka fantastis untuk pelajaran IPA yang jarang disukai.
Di pelajaran yang lain juga mengalami kenaikan yang berarti. Bahkan nilai mereka melebihi kelas unggulan yaitu XII IPA-1.
“Selamat ya Bu Zul, sejak kedatangan ibu anak-anak di kelas XII IPA-3 dan XII IPA-4 jadi semangat belajar. Nilai mereka menjadi lebih baik. Bahkan kelas XII IPA-3 menjadi kelas unggulan baru.” Pak Rio menghampiriku lalu memberiku kabar baik ini.
“Alhamdulillah pak, jika kedatangan saya bisa membawa kebaikan.”
Kulihat bu Erma guru fisika kelas XII IPA-1 dan XII IPA-2 tersenyum kecut. Ia tak melihatku sama sekali. Perasaanku menjadi tidak enak. Mau tanya nilai fisika kelas XII IPA-1 sebagai parameter keberhasilan pembelajaranku takut dia tersinggung. Apalagi dia sudah memasang muka jutek. Aku pun mencoba bertanya kepada guru lain sebagai parameter meski tak berkaitan langsung.
“Bu Nanda, bagaimana perkembangan anak-anak terutama kelas XII IPA-3 di pelajaran Biologi?” Aku berbicara dengan nada setengah berbisik. Masih ada rasa tidak enak kepada guru-guru lainnya.
“Amazing bu Zul. Semester ini mereka seperti kuda hitam sekolah kita. Semangat belajar mereka luar biasa dan nilai mereka pun melebihi ekspektasi saya.” Ucap bu Nanda bahagia. Aku senang jika ada kebaikan yang bisa kulakukan meskipun kecil.
“Bu, boleh tanya. Bagaimana keadaan mereka jika dibandingkan dengan kelas unggulan satu?” Tanyaku lagi sambil berbisik.
“Sttt, kelas unggulan kalah telak Bu. Rata-rata mereka kalah jauh. Bahkan peringkat paralel yang biasanya di raih oleh Ridho, Ria, Evita, dan Lusi itu tuh anak-anak genius kelas unggulan, sekarang disabet sama empat sekawan.”
“Deg,” hatiku berdebar. Apa empat sekawan yang dimaksud Bu Nanda adalah Aldo, Shandy, Tasya, dan Nindia?
“Empat sekawan Bu?” Kutanya kepada Bu Nanda untuk memastikan benar atau tidak perasangkaku.
“Iya bu Zul, itu julukan bagi Aldo, Rendy, Tasya, dan Nindia. Mereka bersahabat sejak kelas X.”
“O…” Mulutku terbuka tanpa sadar.
“Bu Zul…” Bu Nanda mendekatkan mulutnya di telingaku.
“Apa empat sekawan les kelompok pada bu Zul?” Aku menganggukkan kepala.
“Bu Zul hebat. Baru kali ini ada guru yang bisa menyulap anak-anak kelas buangan menjadi juara. Bahkan sampai bu Emma gak ada suaranya.” Aku menelan ludah sambil melirik Bu Emma. Mukanya masih tetap jutek.
“Ya Allah semoga reaksi bu Emma ini hanya sementara saja,” ucapku dalam hati. Jujur, aku tak ingin mencari musuh.
“Assalamualaikum bu Zul.” Empat sekawan tiba-tiba muncul di hadapanku dengan muka sumringah.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Kusambut wajah sumringah mereka dengan senyum ceria.
“Bu Zul, kami mau mengajak Bu Zul makan siang di kantin. Bisa Bu?” Aku melongo mendengar ucapan mereka.
“Aih, kok cuma bu Zul yang ditraktir. Bu Nanda juga dong.” Sahut guru muda yg duduk di sebelahku.
“Bu Nanda mau? Sungguh?” Nindia keheranan. Aku juga heran mengapa mereka keheranan saat Bu Nanda mau bergabung dengan mereka. Memangnya bagaimana hubungan mereka selama ini? Aku jadi penasaran dengan pola komunikasi guru dan murid di sekolah ini.
“Ayuk bu kita rame-rame.” Tasya dan yang lainnya sangat bersemangat berjalan keluar dari ruang guru. Kami berdua mengikuti dari belakang. Seorang guru memandang kami dengan tatapan kurang senang.
Di kantin kami makan semeja dengan mereka. Kami berdua sangat senang melihat anak-anak menjadi bintang kelas semester ini.
“Bu, terimakasih ya atas bantuannya. Karena ibu kami bisa mendapat prestasi sebaik ini.” Aldo mewakili teman-temannya. Sorot matanya begitu bahagia. Tapi lucunya aku ingin menangis mendengar ucapannya.
“Huaaaa…” Air mataku tak bisa terbendung. Padahal hatiku sangat bahagia.
“Hik.. Hik…Hik…” Bu Nanda sudah menangis bombay terlebih dahulu. Untung saja ada temannya, jadi aku tak malu berurai air mata.
Karena hal ini, kami menjadi pusat perhatian di kantin. Semua mata menoleh kepada kami keheranan. Tetapi ada satu mata terlihat lain. Mata itu milik seorang siswa yang pernah kecewa saat kukatakan aku tak mengajar di kelasnya.
Setelah reda perasaan haru biru kami kubisikan pertanyaan tentang siswa yang duduk di pojok kantin kepada bu Nanda. “Bu, siapa siswa yang duduk di depan kasir tadi?”
“Itu Ridho bu Zul. Anak yang tadi kuceritakan. Ia adalah siswa yang selama ini memegang peringkat terbaik di rombongan belajar kelas XII. Tapi untuk semester ini gelar itu sudah berpindah ke empat serangkai.”
“Oh..” perasaanku tetap tak nyaman melihat caranya memandangiku. Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang memaksaku memperhatikannya.
Baru lima sendok soto ayam kumakan, tiba-tiba perutku bermasalah. Rasa sakit melilit yang luar biasa kurasakan seketika. Aku memang jarang makan makanan warung, mungkin boleh dibilang perutku ‘kaget’.
“Bu Zul?” Bu Nanda memegang tanganku. Kurasakan keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Semakin lama perutku semakin sakit. Kali rasanya seperti ditusuk-tusuk.
“Ya, Allah. Bu Nanda, entah mengapa perutku tiba-tiba sakitnya luar biasa.” Aku tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang kurasakan.
“Ibu?” Anak-anak terlihat panik. Ada semburat rasa bersalah di mata Tasya. Nindia dan Aldo saling pandang. Alis mereka saling bertaut seperti memikirkan sesuatu.
“Bu, kita keluar dari kantin sekarang.” Nindia berbisik kepadaku dan kepada Bu Nanda. Bu Nanda terbengong-bengong mendengar ajakan Nindia. Aku hanya meringis kesakitan. Aku pasrah mau diajak kemana, asal tidak ke dukun.
“Nanti kami jelaskan,” ucap Aldo.
“Tas, kamu bayar dulu!” Ujar Sandy.
Dengan tertatih aku berjalan ke Mushola. Namun begitu melewati Ridho, kakiku serasa tak bertenaga. Aku pun jatuh terkulai. Untung saja Aldo dan Bu Nanda sigap menahan punggungku.
“Bu Nanda, biar saya yang menggendong bu Zul.” Aku sudah menyerah tak bisa berpikir lagi. Mau di gendong Aldo, atau yang lain aku tak perduli. Rasa sakit di perutku terasa luar biasa.
Tak kusangka Aldo mampu mengendong ku dengan tangannya sendiri. Diriku di dalam gendongannya seperti seorang putri dan pangeran. Tetapi sayang, gak ada rasa manis-manisnya, kalah oleh rasa sakit luar biasa.
Sepasang mata melihat kepada kami dengan pandangan tak senang. Mata itu seperti mengikutiku terus-menerus hingga ke mushola.
Di serambi mushola Aldo menurunkanku. Ia menyandarkanku di pilar. Bibirku mulai komat-kamit membaca dzikir untuk meringankan rasa sakit. Perasaanku mulai tak enak, ada rasa gelisah dan ingin marah tak tanpa sebab.
Kubaca surat Al-fatihah, Al-ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas pelan-pelan. Ayat-ayat ini ku gunakan untuk meruqyah diriku. Setiap sampai pada surat Al Falaq, perutku bergemuruh. Seperti ada angin puting beliung di dalamnya. Kuulangi membaca Al-Falaq dan An-Nas dengan sangat pelan. Kucoba berkonsentrasi penuh untuk memasukan ayat-ayat tersebut kedalam pikiranku dengan cara membaca satu ayat dalam satu hembusan napas.
Hasilnya, soto ayam, telur asin, kerupuk, dan es teh yang sudah masuk ke perutku keluar kembali. Jangan dibayangkan warna dan bentuknya!
Setelah muntah rasa sakit di perutku berkurang. Kupejamkan mataku sesaat. Namun aneh, muncul di pelupuk mataku sosok wanita tua berambut panjang, mukanya hitam kehijauan, dan pakaiannya serba putih. Menyeramkan sekali, langsung saja kubuka mataku agar bayangan menakutkan itu pergi.
“Bu, ibu melihat apa?” Tanya Aldo kepadaku. Aneh, kenapa dia tahu apa yang kulihat baru saja?
Kuceritakan wanita tua yang baru saja kulihat di pelupuk mataku saat aku memejamkan mata. Mendengar penuturanku Aldo menghembuskan napas pelan-pelan.
Ia meminta ijin untuk memijit kakiku dari pergelangan hingga jari-jari. Aku bertanya kepadanya kenapa demikian. Aldo memberiku jawaban yang cukup mengejutkan.
“Ibu, ini adalah gangguan jin. Yang ibu lihat baru saja itu adalah jin yang menggangu ibu, yang membuat ibu sakit perut.”
“Masa sih?” Tanya bu Nanda tiba-tiba.
“Iya Bu, saya dan Rendi adalah salah satu pendekar perguruan silat KS. Ada sih Bu sedikit pengetahuan tentang dunia magis sekedar untuk menjaga diri atau menolong orang lain.
Pendekar? Wajar jika ia kuat sekali menggendongku dengan tangannya sendiri.
“Bu saya ijin mengurut kakinya ya?” Aldo meminta ijin sekali lagi. Dasar aku sedang kurang fokus, tak segera kujawab pertanyaannya.
Kubiarkan Aldo mengurut kakiku. Setiap urutan seperti berkurang sehelai rasa sakit diperutku. Hingga akhirnya hilang semua rasa sakit di perutku. Aneh ya? Yang sakit perut, yang dipijetin kakiku. Lebih aneh lagi, rasa sakit di perutku berangsur-angsur menghilang.
“Ibu, sepertinya ibu harus hati-hati. Ada yang mengirim ini kepada ibu.”
“Glodak…” Aku terpaku mendengar penjelasan dari Aldo. Dulu aku hanya mendengar cerita saja tentang orang yang terkena jin atau santet, kali ini aku merasakannya sendiri. Sakitnya benar-benar luar biasa.
“Ada yang iri atau tidak suka Bu, dengan ibu. Saya tidak tahu siapa dan mengapa ia berbuat demikian. Saya hanya bisa memberi pertolongan ringan saja.” Aldo berupaya menjelaskan apa yang ia ketahui kepada kami berdua.
Bu Nanda menundukkan kepala, berusaha mencari tahu siapa kemungkinan yang melakukannya. Beberapa menit kemudian ia menganggukkan kepala. Aku tak tahu apa yang ada di benaknya.
“Bu Zul perbanyak dzikir ya untuk menjaga diri. Di daerah kita ini ilmu magic, baik white magic maupun black magic masih kuat mengakar di masyarakat.” Bu Nanda memberiku nasehat.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Rasanya sesuatu banget berhubungan dengan dunia kasat mata alias dimensi ghaib. Mereka nyata ‘ada’ meskipun tak mampu tertangkap oleh panca indera. Sebagaimana Allah, malaikat, dan setan semua ini ada meskipun mata tak bisa melihatnya.
“Astaghfirullah hal adzim, bismilahiladzi laa yadzurru ma’asmihi syai’un fil Ardhi walaa dia sama’i wahuwasami’un alim.” Setelah mengucapkan tiga kali hatiku menjadi lebih tenang.
Aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Di dalam diam aku berdoa, “Ya Allah lindungilah hambamu dari gangguan jin dan setan. Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya padaMu kami memohon pertolongan.”
*
Sebenarnya setelah badanku terasa lebih baik aku ingin pulang. Akan tetapi ada beberapa anak kelas XI yang minta jam tambahan. Mereka iri melihat kakak kelasnya menjadi jago fisika, mereka pun ingin seperti mereka.
“Bu, antar aku istirahat ke UKS ya? Kepalaku sedikit pening waktu masuk kantor guru.” Aku sangat bersyukur kepada Allah, setelah kejadian yang mendebarkan pagi tadi Bu Nanda menjadi teman baruku. Ia masih muda dan humble.
“OK lah, aku juga mau cek berat badanku. Naik lagi atau tidak.” Bu Nanda meringis mengungkapkan isi hatinya. Ah ternyata ia tergolong wanita yang care banget dengan masalah berat badan.
Di UKS aku meminta obat pereda nyeri. Tak tahan aku dengan sakit yang satu ini. Terlalu sering menyerang kepalaku
“Bu, anak-anak kita kok sudah akrab dengan dunia magic ya diusia muda? Itu si Aldo dan Sandy ternyata paham banget dengan dunia Jin. ” Bu Nanda tak bergeming. Matanya fokus pada skala yang ditunjuk oleh timbangan badan.
“Oh my God. Naik lagi 3 kilo.” Wajah Bu Nanda menjadi mencekam saat jarum pada skala timbangan menunjuk angka lima puluh tiga, jauh lebih ketakutan dari pada pagi tadi.
“Tunggu bu Zul, saya lagi fokus,” ucapnya.
“Aku harus mengurangi makan gorengan sepertinya.” Bu Nanda mengomel sendiri.
“Bu,” ucapku. Aku berharap ia menjawab pertanyaanku.
“Anak-anak kita ini khan masih bisa dibilang remaja bu Zul. Meskipun sebenarnya terkategori remaja akhir. Masa-masa ini adalah masa-masa mereka mencari jati diri. Ada diantara mereka yang ingin dirinya dilabeli dengan predikat tercantik, terhumble, pendekar, dan lain-lain. Jadi sangat wajar kalau ada diantara mereka yang juga belajar magic untuk membela diri atau lainnya. Apalagi disini memang mudah untuk belajar tentang yang begituan.” Aku mencoba mencerna setiap kalimat yang diucapkan bu Nanda. Mungkin ada benarnya kalimat yang ia sampaikan.
Setengah jam istirahat di UKS cukup membuat badanku bugar kembali. Aku dan bu Nanda kembali ke kantor guru. Aku hanya mengambil tas dan beberapa alat tulis. Berikutnya kulangkahkan kakiku ke kelas XI.
Anak-anak kelas XI telah menungguku. Mereka terlihat sangat antusias dengan kedatanganku.
“Assalamualaikum,” ucapku dengan bahagia.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab mereka kompak.
Setelah mengucap salam langsung saja kumulai pelajaran tambahan. White board yang ada di depan kelas sudah penuh dengan ukiran tanganku. Semuanya tulisan membahas tentang hukum Newton. Mulai dari rumus dasar hingga rumus turunan.
Ditengah-tengah suasana kelas yang hening terdengar suara isak tangis. Semakin lama semakin keras. Aku mencari asal suara itu. Belum juga ketemu asal suara, tiba-tiba seorang gadis berambut panjang menggebrak meja sambil tertawa terbahak-bahak. Sesaat kemudian pandangan matanya menuju ke arahku.
“Ya Allah apa yang lagi ini?” Jantungku berdebar-debar. Urat leherku menegang. Bulu kudukku pun ikut berdiri.
Ia seperti mengucapkan mantra-mantra. Seorang anak lelaki mendekatinya dan memegang tengkuknya. Mulutnya komat-kamit, sayangnya aku tak paham maknanya. Sesaat mata anak perempuan yang dipanggil Leni tersebut meredup.
“Astaghfirullah hal adzim,” dzikir pendek kuucapkan untuk menenangkan diriku. Irama detak jantungku masih saja tak beraturan.
“Bruak, a…a…a…” Beberapa anak perempuan menjerit. Leni mengamuk. Matanya merah dan melotot seperti mata setan. Ia menggingit lengan anak lelaki yang tadi megang tengkuknya. Meja dan kursi tempat ia duduk sudah jungkir balik. Matanya memandangi seluruh isi kelas seolah memilih sasaran untuk diserang. Terakhir ia memandang ke arahku lagi.
Entah mengapa tiba-tiba seperti ada hawa panas yang mengalir di dalam tubuhku. Menyesakkan dada dan membuat kepala seperti ditekan oleh benda yang sangat berat. “Apa ini?”
Setelah melepaskan gigitannya kepada anak laki-laki yang di panggil Harun, Leni berjalan merangkak kearahku. Melihat apa yang hendak dilakukannya anak laki-laki yang ada dikelas mencegahnya. Sepuluh anak memegang tangannya, namun ia sangat kuat. Ia tetap mampu merangsek ke arahku.
Aku panik sekali saat ia berhasil mendekatiku dan hampir saja bisa memegang tanganku seandainya tak ada seorang siswa yang ‘menjegal’ kakinya hingga ia terjatuh dan terjerembab ke lantai. Mungkin dia sangat kesakitan, tapi aku tak perduli. Aku berlari keluar kelas secepatnya untuk menyelamatkan diri saat melihat ada kesempatan dalam kesempitan.
“Ada apa Bu?” Tanya beberapa guru saat melihatku berlari.
“Itu pak, ada anak kesurupan. Saya takut.” Ucapku terbata-bata. Aku berhenti sebentar untuk mengambil napas, sedangkan pak Rio dan temannya menuju ke kelas XI. Ketika melihat punggung mereka tak nampak, aku melanjutkan berlari ke ruang guru.
Views: 0
Comment here