Sihir Cinta Zulaikha
By: Anita S.
“Ibu, kedatangan ibu disini cukup fenomenal,” ujar Ridho kepadaku. Aku tak ingin segera menanggapinya. Kubiarkan Ridho bercerita apa yang ia tahu sambil berjalan ke ruang guru.
“Penampilan dan sikap ibu yang berbeda dengan yang lain telah membuat banyak pihak menaruh hati pada ibu, di sisi yang juga membuat beberapa pihak tak menyukai ibu.”
“Sok tahu!” aku menanggapinya dengan datar.
“Iyalah Bu,” jawab Ridho pendek.
“Kamu sendiri berdiri dipihak yang mana?” tanyaku asal kepadanya. Ridho tersenyum mendengarnya.
“Kalau saya sih ada dipihak yang menyukai ibu.”
“Jreng… Jreng… Jreng…” Sebentar hatiku merasa berbunga-bunga, anganku melayang tinggi ke udara. Namun segera aku mendarat di dunia nyata tuk kedepankan logika. Wajar-wajar saja bukan jika seorang murid menyukai gurunya? Suka secara umum bukan suka yang diapit dua tanda petik.
“Kalau yang duduk di belakang bu Zul terkategori yang tak suka pada kedatangan bu Zulaikha.”
“Gleg.” Aku menelan ludah. Ia menunjuk tempat duduk Bu Emma guru fisika yang saat ini kugantikan posisinya mengajar di kelas XII IPA-1.
“Kok bisa?” tanyaku kepo.
“Iya, beliau cemburu karena pacarnya yang juga guru di sini diam-diam menaruh hati pada ibu.” Mataku membulat mendengar kalimat yang diucapkan Ridho. Haruskah aku mempercayainya? Tapi jika aku menganggapnya sedang mengigau rasanya tak pantas. Ia siswa terbaik disekolah kami, untuk apa dia berbohong.
“Serius?” Kuhentikan langkahku. Kuhadapkan tubuhku kepadanya.
“Dua rius Bu. Satu untuk jawaban pertama, satu untuk keterangan saya yang kedua.” Mulutku tanpa sengaja terbuka lebar. Melihat ekspresiku, Ridho segera mendahului masuk ke ruang guru.
“Bu Zul, saya permisi dulu. Assalamualaikum.” Sosok Ridho ngeloyor begitu saja setelah meletakkan buku di bangku bu Emma. Selanjutnya tinggallah aku bersama Bu Nanda dan satu lagi pak Leo. Oh tidak, bukannya dia guru yang sedang dekat dengan Bu Emma?
“Bu, Zul tugas anak-anak kelas XII IPA-1 sudah?” Pak Leo menghampiriku.
“Sudah pak, saya letakkan di meja Bu Emma.”
Tatapan lelaki tersebut membuatku tidak nyaman. Seperti ada sesuatu meskipun dari luar nampak ramah.
“Bu Zul tidak ingin makan? Mari ke kantin bareng saya!” Ya Rabb, apakah yang disampaikan Ridho tadi benar adanya? Perasaanku menjadi tidak enak.
“Saya bawa bekal pak, terimakasih. Mungkin lain kali saja.” Olala, kenapa aku harus bilang lain kali kepadanya. Kalau dia serius di lain kesempatan bagaimana?
“Baiklah, kalau begitu. Mungkin lain kali saya ajak makan Bu Zul di luar.”
“Hah?” Mulut Bu Nanda menganga, mendengar apa yang diucapkan pak Leo. Secepatnya ia menutup mulutnya.
“Terimakasih pak, semoga tidak ada halangan.” Tubuhku kaku seperti manekin saat Pak Leo berdiri disampingku. Ketika lelaki itu beranjak barulah otot-otot tubuh melemas.
“Bu Zul?” Bu Nanda memandangku dengan penuh tanya. Kuangkat bahuku agar ia tahu aku juga tidak paham apa maksud Pak Leo.
“Gawat Bu, sepertinya pak Leo menaruh hati pada Bu Zul.” Sekarang giliran mulutku yang reflek terbuka. “ini sama saja menabuh genderang perang dengan bu Emma.” Bu Nanda membisikkan kalimat tersebut di telingaku dengan pelan-pelan.
“Masa sih Bu?”
“Iya lah, secara gitu lo selama ini pak Leo hanya keluar untuk makan dengan bu Emma. Dia tak pernah mengajak guru lain untuk makan. Hanya Bu Zul, guru wanita yang dia ajak makan siang bersama.”
“Innalillahi.” Kutepuk dahiku saat mendengar cerita bu Nanda.
“Bu, hati-hati betul jika apa yang saya sampaikan benar. Beliau tak segan menyakiti ibu menggunakan tangan orang lain.” Bu Nanda berbicara dengan nada yang sangat rendah. Persis seperti anak-anak yang sedang main petak umpet.
“La? Masa sampai seperti itu?” Bu Nanda menganggukkan kepala. Kira-kira apa disini juga berlaku istilah “cinta ditolak dukun bertindak”. Kepalaku jadi pusing memikirkan kejadian seharian ini.
“A…a…a..” Aku menghentakkan kakiku ke lantai beberapa kali untuk menghilangkan kesal.
*
Sejak semalam kepalaku terasa sakit. Tepat pukul 01.00 dini hari aku terbangun. Kepalaku seperti ditindih batu besar. Otot leherku kaku seperti ditarik ke belakang dan tulang punggungku terasa seperti ada durinya.
Ya Allah penyakit apa yang bersarang di tubuhku ini. Kucoba memejamkan mata meskipun sangat susah. Saat mataku terpejam aku seperti ada di sebuah kolam yang sangat besar. Begitu banyak ikan di dalamnya. Ukurannya besar-besar, tapi sayang semua berwarna hitam.
Berpindah dari kolam aku bertemu dengan wanita tua berbaju putih, berambut putih panjang. Mukanya juga putih, kulit disekitar matanya berwarna hijau. Dia menatapku dengan tatapan penuh kebencian, lalu memukul kepalaku. Rasa sakitnya terasa sampai ketulang belakang.
“Ya Allah, astaghfirullah hal adzim 3x.” Akhirnya aku bisa membuka mata, tapi kepalaku teramat sakit. Air mataku mulai menetes, aku tak kuat dengan sakit ini. Dengan terbata-bata kupanggil bibi Runi.
“Bibi… Bibi…” Aku terisak. Beruntungnya kamarku tak kukunci, sehingga bibi Runi bisa segera masuk ke kamarku saat mendengar suaraku sambil terisak-isak.
“Ada apa Zul? Kau sakit?” Aku mengangguk pelan.
“Bibi, kepalaku seperti mau pecah. Bibi punya Paracetamol?” Bibi Runi mengerutkan kening.
“Sepertinya ada.” Bibi Runi, beranjak dari tempat tidurku. Beberapa menit kemudian beliau kembali dengan membawa obat yang kuminta dan segelas air.
“Zul, kalau sakit gak usah masuk sekolah. Ijin saja!”
Aku memandangnya, ingin aku mengiyakan apa yang disampaikannya tetapi minggu depan anak-anak kelas XII menghadapi ujian sekolah. Ini adalah saat-saat penting bagi mereka.
Kuminum obat yang dibawa bibi kemudian kurebahkan kembali kepalaku di tempat tidur, tetapi aku tak berani memejamkan mata. Aku belum sholat subuh. Ku harap 15 menit lagi obat yang kuminum segera bereaksi.
15 menit berlalu, sakit dikepalaku seikit berkurang. Leherku yang kaku juga mulai terasa lebih baik, tetapi sayangnya nyeri di punggung tak segera hilang. Meski kepala dan punggungku masih terasa sakit, aku berusaha berdiri untuk mengambil air wudhu di belakang.
Selesai subuh, aku menyandarkan diri di dinding kamar. Kepala masih sakit, rasanya seperti diremas-remas. Ketika kupakai tidur rasa sakitnya berubah seperti dipukul berkali-kali.
“Astaghfirullah hal adzim,” kuucapkan istighfar berkali-kali. Kubaca Al-fatihah, an-Falaq, an-Nas, ayat kursi, dan ayat kursi masing-masing 3 kali. Setelah itu hatiku lebih tenang meskipun kepalaku tetap terasa berat.
“Ya Allah inilah kami, hambamu yang lemah. Dengan sakit kepala yang tak nampak wujudnya saja kami sudah tak berdaya. Belum lagi jika yang datang adalah virus yang berbahaya. Gitu kami kok sombong sekali saat sehat. Ya Allah ampuni dosa-dosa kami.”
Tak ada pilihan bagiku kecuali bersabar. Lama kelamaan aku tertidur kembali.
Saat sinar mentari memasuki jendela kamarku dan punggungku terasa hangat, aku baru terbangun. Perlahan kulirik jam yang menempel di dinding. “Allahu Akbar,” sudah pukul 09.00. Ingin rasanya aku menangis, tetapi tak bisa. Pagi tadi jam 07.00 aku ada kelas, saat ini pun sebenarnya aku juga ada kelas.
Dengan tergopoh-gopoh aku keluar kamar untuk mandi. Aku harus tetap masuk untuk memberikan latihan ujian terakhir.
“Zul, paman sudah bilang ke pak Nyoto kepala sekolahmu untuk mengijinkan kamu istirahat di rumah dulu.”
“Lo?”
“Kata bibimu kamu sakit, paman dan gak tega membangunkanmu. Oleh karena itu paman mintakan ijin saja sekalian agar kamu bisa istirahat.”
“Alhamdulillah kalau begitu, terima kasih paman.”
Tiga hari berturut-turut sakitku berulang, gejalanya sama. Aku tak tahu apakah sakitku ini karena penyakit medis atau non medis. Yang jelas aku sangat sedih karena tak bisa mempersiapkan anak-anak menghadapi ujian akhir sekolah.
Di atas sajadah hijau aku menangis sejadi-jadinya. Kuadukan semua keluhanku dan rasa sakitku kepada Allah. Aku benar-benar tak kuat dan tak berdaya.
Kuambil mushaf Al-Qur’an, kupaksa diriku tadarus meskipun kepala terasa sangat sakit. Aku yakin Al-Qur’an adalah syifa’ul lin Nas ‘obat bagi manusia’.
Setelah membaca Al-Qur’an pikiran dan badanku terasa lebih ringan. Perlahan aku mulai berpikir ulang pada setiap kejadian yang menimpaku. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh paman atau Ridho, kehadiranku terlalu fenomenal dan ternyata aku tak kuat menanggung resiko ketenaranku.
Kupikir kini saatnya aku berpikir jernih, mengambil keputusan kulanjutkan atau tidak mengajar di SMA “R” ini. Aku sangat menyukai anak-anak didikku, tapi aku tak suka suasananya. Lahir batinku sakit.
“Paman…” Kulangkahkan kaki menemui paman yang duduk di depan televisi. Paman memintaku duduk di sebelahnya, diantara paman dan bibi. Dipangkuan paman aku menangis kembali.
“Paman, Zul mau kembali ke kota Bunga.” ucapku lirih.
“Lo? Bibi senang kamu ada disini.” Bibi mengelus-elus rambutku.
“Zul juga senang berada disini. Tapi bi, Zul tidak kuat merasakan gangguan nonmedis pada tubuh Zul.” Paman mengambil napas pelan.
“Zul, kamu masih muda. Jangan menyerah begitu! Sebentar lagi kamu akan memenangkan ujian ini.” Paman menghiburku, tapi sayang aku terlalu lemah menghadapi berbagai macam ujian yang berbau magic ini. Aku yakin Allah pasti akan menolongku, tapi tak salah juga jika aku berlari dari takdir buruk menuju takdir baik. Selama masih bisa memilih aku akan memilih yang mudah untuk kulalui.
“Bukannya Zul menyerah paman, tapi bolehkan Zul memilih jalan yang lebih mudah jika ada?”
Paman dan bibiku saling memandang. Aku tahu mereka sangat senang dengan kehadiranku. Rumah ini menjadi ramai, apalagi ketika anak-anak datang untuk belajar.
“Sebenarnya keberadaan orang yang menyukai kita atau benci kepada kita adalah hal yang biasa. Tetapi mungkin kamu terlalu baik Zul, kamu juga terlalu muda untuk menghadapi cobaan ini. Apapun keputusan yang kamu ambil kami akan mendukungmu. Hanya saja paman berpesan, dimanapun kamu berada kamu pasti akan bertemu dengan orang yang membencimu.” Nasehat paman sangat bijak.
“Bersikaplah yang wajar! Bersabar dan mintalah pertolongan kepada Allah agar selalu melindungimu dari kedzaliman orang-orang yang dzalim dan dari kejahatan orang-orang yang berbuat jahat!” Aku menganggukkan kepala.
Keesokan harinya unlogic, alhamdulillah aku bangun seperti biasa tanpa sakit kepala. Akhirnya aku bisa masuk sekolah membayar utang pelajaran kepada anak-anak kelas XII.
*
“Assalamualaikum,” Kuucapkan salam kepada teman-teman guru.
“Waalaikumsalam.” Wajah teman guru terlihat sumringah menyambutku, kecuali satu orang. Yaitu bu Emma, aku ta mau berburuk sangka kepadanya. Aku juga tak mau terlalu memperdulikannya. Sebentar lagi aku akan angkat kaki dari sekolah ini.
“Sudah sehat Bu?” Pak Rio menghampiriku.
“Alhamdulillah pak, sudah sehat. Anak-anak bagaimana ya, selama saya sakit?”
“Alhamdulillah, Bu Emma mau menggantikan ibu.” Deg, ada sesuatu di hatiku mendengar namanya. Tapi aku harus berusaha bersikap biasa.
“Terimakasih Bu Erma.” Aku membalikkan tubuh menghadap ke belakang untuk mengucapkan terimakasih. Apapun ekspresinya aku harus bisa bersikap biasa.
Setelah menyapa teman-teman, aku segera pergi ke kelas menyapa siswaku. Aldo, Tasya, Nindia, dan Rendi menyambutku dengan suka cita. Beberapa bulan saja bersama mereka, kurasakan mereka seperti anak-anakku sendiri. Demi mereka aku akan bertahan seminggu lagi disini untuk mengantarkan mereka menjadi yang terbaik.
“Anak-anak yang belum paham materi-materi fisika, silahkan ke rumah paman Bu Zul. Kita bisa menuntaskan materi sampai kalian bisa.” Mata mereka berbinar mendengar ucapanku.
“Siap Bu Zul. Kami akan datang habis maghrib.”
Selesai mengajar aku kembali ke kantor. Di perjalanan, Ridho mengerjarku.
“Bu Zul, tunggu!” Kuhentikan langkahku, aku hapal siapa pemilik suara itu. Aku menghadapkan wajahku ke arah sumber suara.
“Ada apa nak?”
“Bu Zul, bolehkah saya ikut belajar di rumah ibu bersama Aldo dan yang lainnya?”
Aku mengangkat alisku dan membulatkan mataku. “Kalian sudah berdamai?”
“Memang kami pernah berperang Bu?” Jawabnya pendek. Melihat wajahnya aku tak tega menolak permintaannya. Ia sudah banyak menolongku.
“Baiklah, hanya kamu saja dari kelas XII IPA-1. Aku tak mau berurusan dengan Bu Emma lagi.” ucapku sambil mengarahkan telunjuk ke dadanya.
“Siap Bu Zulaikha yang cantik.” Senyumnya itu mungkin akan sangat kurindukan. Ups, aku harus berpikir logis.
Selepas maghrib mereka benar-benar datang, empat sekawan ditambah Ridho. Bahagia sekali berada ditengah-tengah mereka. Membantu mereka memahami konsep-konsep fisika dan membantu mereka memecahkan soal-soal ujian akhir sekolah.
Saat ingat aku akan segera meninggalkan sekolah mereka. Air mataku meleleh, dengan cepat kuhapus agar tidak menggangu mood belajar mereka. Tetapi sepertinya sebuah netra telah mengetahui. Kubiarkan saja selama ia tidak bertanya aku tak akan membahasnya.
[Ibu kenapa menangis?]
Sebuah pesan muncul di wattsapku. Aku melihat satu-persatu siswaku. Mereka semua sibuk mengerjakan soal-soal dari buku. Tak nampak seseorang yang sibuk memegang HP.
[Kepo?]
[IyağŸ¤]
[Kerjakan dulu soal-soal latihannya]
[Sudah selesai]
[Kamu siapa?]
….
Tak ada balasan setelah itu. Aku penasaran juga, siapa diantara mereka? Aku tak kehabisan akal, kutelpon saja nomer selulernya. Awalnya tak ada suara, tapi lama-lama getar ponselnya ketahuan juga. Ternyata dia lagi. Cukup, kumatikan panggilan kepadanya. Aku hanya ingin tahu ini nomer siapa, aku tak ingin membahas apapun sampai mereka semua selesai ujian.
*
Saat yang telah kunantikan tiba. Dihari terakhir anak-anak kelas XII ujian Nasional aku menghadap kepala sekolah. Selembar surat pengunduran diri telah kusiapkan.
Bapak kepala sekolah sangat terkejut saat mendengar pengunduran diriku. Baginya aku adalah oase ditengah pasir, aku adalah guru yang selama ini diharapkan untuk bisa merubah kebiasaan belajar di sekolah ini. Tapi aku seorang diri, tak mampu mengubah paradigma berpikir bapak dan ibu guru disini. Terlalu berat beban yang harus dihadapi guru muda sepertiku. Lahir dan batinku sakit.
Karena aku hanya seorang GTT, kepala sekolah tak bisa mencegahku mundur. Setengah jam kemudian beliau memberiku surat pengalaman kerja. Beliau juga memberiku gaji dua kali lipat. Ternyata beliau sangat baik. Tapi tanpa edukasi yang benar dan berkesinambungan terkait dengan paradigma baru pendidikan dari pemerintah, mereka tidak akan pernah berubah.
Aku melangkah dengan gontai. Meskipun ada rasa lega, tetap saja ada rasa sedih meninggalkan sekolah ini.
“Bu Nanda, hari ini hari terakhirku disini.” Kudekatkan mulutku ditelinganya. Betapa terkejutnya beliau mendengar ucapanku.
“Bu Zul, saya baru saja memiliki teman baik di sekolah ini. Mengapa ibu tega meninggalkanku?”
“Saya ndak kuat Bu, saya bisa stress dengan kejadian yang aneh-aneh disini. Saya belum nikah,” ucapku sambil bercanda.
“Bu Zul.” Nampak mata bu Nanda berkaca-kaca.
Kupeluk Bu Nanda erat-erat dan kubisikkan di telinganya, “Kita tetap kan tetap berteman meski jarak memisahkan kita.” Sebenarnya, aku benci perpisahan, disitu pasti banyak air mata berlinang.
“Bu, titip salam untuk guru-guru yang ada disini juga untuk anak-anak kelas XII IPA-3, XII IPA-4, dan XI.” Kuhentikan kalimatku, sepertinya ada yang menyangkut ditenggorokanku saat mengingat mereka.
“Bu, saya harus segera pulang. Saya khawatir anak-anak mencari saya dan mereka menangis bombay jika tahu saya pindah. Jujur saya tidak suka melihat adegan seperti itu.” Kuberikan sebuah tanda mata untuknya.
Secepatnya, sebelum bel akhir pelajaran berbunyi kulakukan motorku keluar gerbang sekolah. Saat melewati kelas yang dekat dengan pintu gerbang sekolah netraku menangkap tubuh tegapnya. Entah mengapa manik mata ini tak bisa kutahan untuk tidak melihatnya.
“Zul, kedepankan logika.” Aku mencoba menguasai diriku. Sepeda kulajukan dengan cepat agar tidak berubah niatku.
Sampai di depan rumah paman, kumasukkan sepeda di garasi. Langkahku serasa hampa. Bagaimanapun aku harus tegar, keputusan sudah kubuat. Aku harus menjalaninya.
(Bersambung)
Views: 4
Comment here