Oleh: Endang Seruni (Ibu Peduli Generasi)
Di tengah penyebaran Covid-19 yang semakin meluas dan mengganas, penguasa negeri ini sedang disibukkan untuk menggelar Pilkada serentak Tahun 2020.
Pesta Demokrasi lima tahunan ini akan dilaksanakan saat rakyat berjuang menghadapi wabah.
Di situasi pandemi yang kian mengkhawatirkan, Presiden Joko Widodo tetap menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar serentak di Tahun 2020, tepatnya pada 9 Desember 2020.
Menurutnya tak ada satupun negara termasuk Indonesia yang mengetahui kapan pandemi akan berakhir.
Pilkada akan di selenggarakan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan juga jaga jarak.
Untuk keberlangsungan Pilkada, Menteri Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar 5 triliun untuk membiayai perlengkapan dan persiapan pelaksanaan Pilkada 2020 sesuai protokol kesehatan (CNN Indonesia,8/9/2020).
Sementara menurut Yusuf Kalla menyarankan agar Pilkada serentak 2020 ditunda apabila sulit mencegah masyarakat berkerumun sesuai protokol kesehatan juga hingga di temukan vaksin Covid-19. Karena Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang menggelar Pilkada di tengah pandemi (Wartakota,19/9/2020).
Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhani menilai, pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi virus Corona dinilai sulit meningkatkan partisipasi masyarakat. Menurutnya pada Pemilu 2019, KPU menyatakan tingkat partisipasi mencapai 81,97%. Pada Tahun 2018 sebanyak 73.24% . Dan target KPU di Pilkada 2020 sebanyak 77,5% atau lebih tinggi dari Pilkada 2018.
Namun Fadli berharap untuk pelaksanaan Pilkada serentak perlu dipertimbangkan berkenaan dengan kesehatan masyarakat, karena kondisi daerah yang terdampak covid itu berbeda-beda(CNN Indonesia,10/7/2020).
Keputusan Pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak di tengah pandemi jelas bisa mengancam keselamatan rakyat.
Inilah aturan yang terlahir dari rahim demokrasi, politik yang diemban bukanlah bagaimana mengurusi berbagai urusan rakyat juga demi kepentingan rakyat namun justru sebagai lahan bisnis.
Tujuannya untuk menghasilkan uang juga untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok yang menghalalkan berbagai cara. Sekalipun nyawa rakyat sebagai taruhannya demi langgengnya kekuasaan.
Berbeda dengan paradigma politik Islam yang adil dan manusiawi yang bersumber dari Allah SWT.
Politik dalam pandangan Islam adalah pemeliharaan urusan rakyat yang berdasarkan hukum syara.
Sistem Politik Islam terikat dengan ketentuan hukum-hukum sang Khaliq yaitu yang menciptakan manusia.
Seseorang yang dipilih untuk menjadi pengusaha adalah sebagai penanggung jawab atas kepengurusan rakyat berdasar syariat Islam bukan dalam rangka meraih kepentingan pribadi atau kelompok yang bersifat materi.
Pemilu di dalam Islam dilaksanakan untuk mengetahui calon yang dikehendaki oleh rakyat untuk memimpin mereka yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Rakyat dapat memilih kepala negara (Khalifah) dan wakil rakyat di Majelis umat melalui pemilu.
Sementara tugas dari Majelis Umat adalah menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Khalifah.
Wali (setingkat gubernur) dan Amil (setingkat bupati) dalam sistem Islam dipilih atau di tunjuk langsung oleh Khalifah. Dilihat dari sisi biaya tidak memerlukan biaya yang besar juga lebih efisien waktu.
Jabatan Khalifah adalah seumur hidup, selama dalam menjalani kepemimpinannya tidak terjadi pelanggaran yang mengharuskan Khalifah dicopot dari jabatannya.
Sehingga tidak perlu mengadakan pemilihan Khalifah berulang ulang.
Dalam pengangkatan Khalifah dengan metode Baiat (Aqod/kontrak politik) antara umat Islam dan wakil umat (Majelis Umat) dan kandidat Khalifah.
Baiat ini adalah komitmen dari rakyat untuk mentaati Khalifah yang dibaiat. Begitu juga dengan Khalifah yang berkomitmen untuk memimpin umat dengan mengamalkan Kitabullah dan As Sunnah.
Waktu Pemilu dalam Daulah Islam adalah tiga hari, tidak butuh waktu yang lama dan tidak membutuhkan biaya yang besar untuk kampanye dan penyelenggaraan Pilkada. Terlebih pada kondisi pandemi seperti saat ini. Dana yang dialokasikan untuk dana kampanye bisa digunakan untuk penanganan pandemi.
Sistem Pemilu dalam Islam tidaklah membahayakan dan mengkhawatirkan kesehatan rakyat karena efisien waktu. Demikianlah sistem yang diatur dalam Islam, semua semata-mata hanya untuk kemaslahatan umat. Yang berbeda dengan sistem Demokrasi yang terkesan menghambur-hamburkan uang untuk terselenggaranya Pilkada.
Seharusnya keselamatan rakyat di utamakan daripada menggelar Pilkada yang belum tentu rakyat bisa terhindar dari Covid-19 saat pelaksanaannya.
Kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah slogan belaka. Pada kenyataannya semua dilakukan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Rakyatlah yang menjadi korbannya.
Waallahua’lam Bishawab.
Views: 0
Comment here