Opini

Jerat Penjajahan dalam Kerja Sama Asing

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sari Hermalina Fitri (Penulis Lepas, Pemerhati Sosial Politik)

Wacana-edukasi.com — Di tengah gempuran pandemi hubungan Indonesia-China semakin lama semakin mesra, seperti dilansir pada laman kompas.com 10 Oktober 2020 lalu, Menteri Bidang Koordiantor Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan baru baru ini bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi di Provinsi Yunan, China Barat Daya, Jumat 9 Oktober 2020.

Dalam pertemuan ini Menko Luhut bertindak sebagai utusan khusus Presiden Indonesia, sekaligus berperan sebagai koordinator Kerjasama Indonesia dengan China, kunjungan Menko Luhut kali ini menandai peringatan 70 tahun terbentuknya hubungan diplomatik China-Indonesia dan Wang Yi berharap antara China dengan Indonesia dapat memperkuat kerja sama di berbagai bidang seperti dalam bidang vaksin, e-commerce, intelegensi artifial (kecerdasan buatan) pertukaran budaya dan masyarakat.

Tak hanya dengan China saja, Luhut memastikan, Indonesia juga menjalin kerja sama serupa dengan negara lain seperti Amerika Serikat dan negara di kawasan Timur Tengah. Contohnya dengan kerja sama yang dilakukan Indonesia dengan Abu Dhabi, yang menghasilkan investasi untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, senilai hampir US$25 miliar. Menko Luhut juga mengatakan dengan adanya kerja sama internasional ini, diharapkan Indonesia mampu memelihara balance of power antara Timur Tengah, Tiongkok dan Amerika Serikat. Dan saat ini pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki hubungan yang baik dengan ketiga negara ini (Detik Finance, 27/06/2020).

Ke manakah arah sebenarnya kerja sama asing yang dibangun oleh pemerintah? yang selalu digadang-gadang demi kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat, namun kenyataannya jauh panggang daripada api, alih-alih menyelesaikan permasalahan rakyat, tetapi yang terjadi justru menambah beban baru bagi rakyat, kehidupan rakyat makin tertindas, makin susah dan terbelakang, dan kondisinya tak urung ubahnya seperti pada masa penjajahan di masa lalu, hanya kini berganti wajah dan kemasan saja. Pasalnya, skema pola kerja sama asing yang saat ini diterapkan pada dasarnya hanya digunakan sebagai kedok penjajahan gaya baru semata, dengan kemasan yang terkesan apik yakni kerja sama.

Pada awalnya mereka terkesan seolah-olah menawarkan solusi segar bagi permasalahan yang dihadapi pemerintah dan terkesan berempati dengan apa yang dirasakan pemerintah, tetapi setelah kerja sama tercipta berbagai persyaratan pun menjerat pemerintah, seperti persyaratan wajib menggunakan tenaga kerja asing, adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke China, hingga pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari China dalam setiap investasi atau bantuan yang digulirkan dalam proyek-proyek infrastruktur yang ada di Indonesia, dan berbagai syarat lainnya yang semakin menjerat pemerintah seperti mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari China belum termasuk bunga pijaman yang dibayarkan (Dokumen Rand Corporation), persyaratan-persyaratan seperti inilah yang membahayakan eksistensi negara dan memberikan peluang besar dalam intervensi kebijakan publik pemerintah yang berujung pada terbukanya jalan bagi upaya penjajahan secara halus.

Sistem Islam Memandang Kerja Sama Asing.

Setidaknya ada empat faktor utama mengapa cengkeraman asing menguasai bidang ekonomi suatu negara, faktor pertama, perjanjian bilateral dan multilateral yang mengikat didalam suatu badan dunia yang sifatnya memaksa seperti WTO (World Trade Organization), di mana negara yang tergabung di dalamnya menandatangani perjanjian bukan karena pertimbangan kemaslahatan tetapi karena adanya unsur paksaan. Ketika khilafah (Sistem Pemerintahan Islam) berdiri maka organisasi seperti WTO dan sejenisnya akan dibekukan dan tidak diberlakukan karena membahayakan kedaulatan negara. Dalam sistem Islam, khilafah berhak menentukan dengan siapa negara akan melakukan kerja sama bilateral maupun multilateral secara mandiri tanpa ada tekanan dan paksaan pihak manapun dengan memperhatikan aspek manfaat dan mudarat bagi perekonomian negara.

Faktor kedua, investasi asing dalam pembangunan dapat menyebabkan penguasaan asing terhadap aspek-aspek vital perekonomian negara, oleh karenanya khilafah akan memperhatikan jenis dan karakter dari proyek pembangunan ini, yakni apakah proyek ini perlu dilakukan, apakah sumber dananya cukup dari Baitul Maal saja, atau apakah proyek ini masih dapat ditangguhkan atau tidak. Dengan cara seperti ini, sebenarnya negara tidak membutuhkan investasi asing. Ketika khilafah berdiri seluruh proyek yang melibatkan inventasi asing tersebut akan dibekukan, dikaji, dan dievaluasi. Terlebih karena inventasi tersebut dilakukan melalui perdagangan saham di bursa saham yang notebene haram, dan melibatkan perseroan terbatas yang juga haram.

Faktor ketiga, adalah kesalahan dalam menerapkan politik ekonomi, kesalahan menerapkan politik ekonomi biasanya terjadi di bidang pertanian, industri, perdagangan maupun jasa, misalnya kesalahan pengelolaan di bidang industri pertambangan yang menyebabkan pengelolaannya dikelola atau diprivatisasi oleh swasta dan segelintir kelompok, bukannya oleh negara. Dalam Islam, penguasaan kekayaan milik umum harus dikelola oleh negara bukan diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Maka, khilafah berkewajiban untuk menghentikan kesalahan politik ekonomi ini dan menerapkan politik ekonomi yang benar sesuai dengan aturan syariat Islam.

Faktor keempat, adalah dengan adanya utang negara. Utang negara dapat membahayakan perekonomian negara baik yang dinyatakan secara nyata atas nama utang, hibah, maupun yang lain. Oleh karenanya, utang harus dihentikan dan tidak dilakukan kembali. Ada pun utang yang menjadi utang pemerintahan sebelumnya atau sebelum khilafah berdiri, harus diliat dan dievaluasi ulang, jika pokok utang telah terbayar maka khilafah tidak perlu lagi membayar sisanya yang merupakan bagian dari bunga (interest).

Begitulah Islam mengatur perjanjian asing baik bilateral maupun multilateral, kerja sama dan investasi asing yang masuk ke dalam pemerintahan khilafah, semua disandarkan pada aturan hukum syara dan juga atas kesejahteraan rakyat bukan hanya kesejahteraan segelintir kelompok, atau bahkan demi kepentingan penguasa itu sendiri.

Dengan cara seperti ini, khilafah akan benar-benar memiliki sistem perekonomian yang mandiri dan kuat, terlebih dalam menghadapi masa pandemi seperti saat ini. Negara tidak bergantung apalagi didikte oleh negara-negara penjajah. Khilafah akan mampu menyejahterakan rakyatnya dengan adil dan merata, Islam Rahmatan lil Aalamiin.

Wallahu’alam bi showwabýťýh

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 20

Comment here