Oleh: Anita S
“Terima kasih Ustadz Sholihin.”
Malu-malu aku mencuri pandang kepada ustaz ganteng nan salih yang mengantarku pulang. Berdebar hatiku melihat wajahnya yang bercahaya dan senyumannya yang secerah bulan purnama. Bisakah aku menjadi pendampingnya? Who know?
Diam-diam menyusup rasa khawatir tak bisa mendapatkan cintanya. Rasa itu berpacu dengan ketakutan untuk kecewa karena ketidakp layakan diri untuk bersanding dengannya. Akankah diriku seperti punguk merindukan rembulan?
“Rindu, saya pulang dulu.” Aku tersadar dari lamunan.
“Eh, iya Ustaz, silahkan.” Kupukul kepalaku karena telah melamun di hadapannya.
“Assalamualaikum,” ucap beliau.
Seulas senyuman tersungging dari bibirnya yang merah. Pasti ia tak pernah mengincip rasa nikotin di dalam rokok. Jantungku, rasanya seperti hilang kendali. Debarannya naik berlipat-lipat. Ya Allah, ya Tuhanku, inikah namanya cinta?
“Ehem, Assalamualaikum.” Mataku membulat sempurna saat tersadar kembali dari lamunan. Allah, ya, Rabbi, aku malu.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabku malu-malu.
Kupandang sosok Ustaz Sholihin hingga menghilang ditelan malam. Aku mengambil napas dalam-dalam kemudian masuk ke rumah kontrakan.
Jam dinding telah menunjuk angka satu, tapi mataku tak kunjung mau menutup. Mungkin ada korsleting antara otak dan hatiku. Apalagi bayangan sosok Ustaz Sholihin masih melekat di mataku.
Karena tak kunjung mengantuk kuputuskan untuk mengambil air wudu dan salat sunah. Malam ini aku ingin salat Taubat dua rakaat dan salat Hajat. Aku ingin mengadu dan memohon ampun kepada Tuhanku.
Sejak di rumah sakit tadi pikiranku sudah amburadul. Ada kekhawatiran suatu saat aku mengalami apa yang dialami Hasan. Tak sanggup membayangkan jika mataku menutup untuk selamanya padahal diri masih bergelimang dosa.
Bagaimana jika aku mati dan Allah tak mau melihatku karena sedikitnya amal baikku? Bagaimana jika surga menolakku karena aku tak pernah menutup aurat selama hidupku? Bagaimana jika malaikat Malik mengincarku?
Aku takut …. Jujur aku sangat takut. Goresan pisau dapur di tanganku saja telah membuat tubuhku demam beberapa hari apalagi cambukan dan siksaan malaikat penjaga neraka yang keras dan kasar?
Aku belum siap, untuk dihisap berapa banyak amal baik dan amal burukku. Aku belum siap Allah mengarantinaku di neraka untuk membersihkan dosa-dosaku. Biarlah aku mengarantina kebebasanku di dunia daripada Allah yang melakukanya di akhirat.
Ya Rabb, aku takut…. Sungguh aku takut. Bagaimana jika prasangkaku untuk bersikap moderat di dalam beragama itu lebih baik ternyata salah? Bagaimana jika mereka yang kusangka terlalu fanatik dalam beragama itu benar?
Air mataku sudah tak mampu lagi kubendung. Kubiarkan ia mengalir sebagai bukti masih adanya iman dan Islam di hati.
Aku tak sanggup lagi mengingat upayaku menipu diri dan orang lain dengan memasukkan lain di beberapa bagian tubuhku agar terlihat berisi. Aku tak sanggup membayangkan sang nabi yang mulia enggan menolehku dan enggan memberiku syafaat karena aku telah melakukan apa-apa yang beliau benci.
Ya, Rabb, berilah aku petunjukmu dalam mengimanimu dan taat kepadamu, serta berilah aku kesabaran dan kekuatan dalam menjalani kehidupan ini. Khususnya dalam menunggu jodoh terbaik yang Engkau pilihkan untukku. Ya Allah, sejak saat ini aku berjanji untuk melayakkan diri menjadi salihah. Ya Allah, berilah aku kesempatan dan kemudahan. Amin. Kututup mukaku yang basah dengan kedua telapak tangan.
Kurebahkan tubuhku di atas sajadah. Dalam sujud ini kurasa meskipun aku berbisik di bumi, aku yakin pasti Allah juga mendengarnya.
*
Aku menekan 12 angka yang sudah kuhapal di luar kepala. Setelah menjawab salam dari wanita yang ada di seberang aku langsung membicarakan pokok permasalahan yang mengganjal. Aku tidak ingin bertele-tele dan menutupi kondisi perkerjaan Rahmah yang terbengkalai.
“Rahmah, kapan kamu masuk kerja? Pekerjaanmu sudah menumpuk. Aku tidak mampu membantu menyelesaikannya, beberapa hari ini keluar masuk barang sangat cepat. Pekerjaanku membludak, bahkan aku sering lembur sampai malam.”
“Insyaallah besok aku masuk, Kak. Kondisi Mas Hasan sudah mulai membaik. Insyaallah aku bisa bergantian dengan Ibu dan Mas Sholihin untuk menunggunya.”
“Syukurlah, kalau begitu. Aku khawatir Bos akan memotong gajimu karena terlalu lama absen, padahal dalam kondisi seperti ini kau sangat membutuhkan.”
“Ya, Kak, aku tahu. Terima kasih sudah mengingatkan. Oh, iya, jangan lupa nanti sore ada kajian seperti biasanya. Kak, meskipun aku tak ada kuharap Kakak tetap bisa hadir.”
“Insyaallah, aku hadir Ra, semoga suamimu cepet sembuh, ya. Agar kita bisa ngaji bareng-bareng lagi.”
“Amin.” Kumatikan panggilanku setelah Rahmah mengucapkan salam.
“Rindu!” Suara Pak Bos lantang memanggilku dari kantornya. Aku segera berlari ke ruangan beliau.
“Ada apa, Pak?”
Pak Vincent memandangku dengan tatapan penuh tanya dari ujung kaki sampai kepala. Ia pasti terkejut dengan perubahanku. Aku yang biasa berpenampilan seksi dan menarik, hari ini memakai busana muslimah syar’i. Tetap rapi dan modis, tetapi tidak lagi terlihat seksi.
“Rindu?”
“Iya, Pak,” jawabku sambil tersenyum. “Saya taubat, Pak, saya ingin lebih baik, Pak. Semoga kinerja saya juga semakin lebih baik dengan hijrah saya.” Tanpa beliau tanya, aku berusaha menjelaskan terlebih dahulu agar beliau tidak salah paham.
“O ….” Beliau hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan singkatku.
“Tapi kamu nggak ikut-ikut pengajian yang ekstrim itu, kan?”
“Saya juga gak ngerti pengajian ektrim itu seperti apa, Pak. Ngaji saya biasa saja, mengajarkan kita untuk menjadi individu terbaik di hadapan Allah, bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, agama, dan bangsa. Bapak lihat saja, deh, nanti! Kalau kinerja saya tambah eror silahkan saya dimarahi atau bolehlah diberhentikan kalau keterlaluan erornya.”
Pak Vincent mengambil napas panjang. Bukan Rindu namanya kalau tidak bisa meyakinkannya.
“Rindu, kapan Rahmah masuk? Dia mau tetap kerja atau tidak?”
“Besok masuk, Pak, tenang saya sudah menghubunginya. Alhamdulillah keadaan suaminya sudah lebih baik. Jadi dia sudah bisa meninggalkan suaminya untuk bekerja.”
“Untung kamu mengingatkannya, kalau tidak aku sudah membuka lowongan pekerjaan untuk mengantikannya.”
Heh, dasar benar-benar tak pakai hati jika berbisnis. Izin untuk menjaga suami saja mau diberhentikan. Apakah dalam otak mereka yang ada hanya profit, profit, dan profit? Ampun, deh.
“Jangan tergesa-gesa, Pak, team kita ini sudah solid. Kalau diganti kami harus beradaptasi dari awal lagi.” Pak Vincent menghela napas, aku tahu beliau sering kewalahan menghadapiku.
“Ok, terimakasih kamu boleh keluar.”
“Baik Bos, permisi.” Aku segera menghilang di balik pintu. Untung saja tadi sempat telepon Rahmah. Jika tidak aku akan kehilangan makhluk langka yang menyenangkan itu. Walaupun dari penampilannya ia terkesan fanatik dan radikal dalam beragama, tetapi sesungguhnya ia teman yang sangat baik, pengertian, suka berbagi, tidak sombong, dan menyenangkan.
Aku tak ingin lagu yang dinyanyikan oleh bang Syaiful Jamil menjadi kenyataan. “Bila sudah kehilangan baru terasa ….”
*
Sore harinya dengan semangat 45 aku menghadiri kajian Ustaz Azam. Aku sudah tak sabar mendengarkan tausiyahnya yang selalu memuaskan akal, sesuai dengan fitrah manusia, dan menentramkan hati. Apalagi bonusnya mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibaca dengan merdu oleh Ustaz ganteng, Ustaz sholihin.
“Assalamualaikum….”
Suara Ustaz Sholihin yang empuk dan merdu membelah kesunyian. Surat Al-Hujurat ayat 13 yang dibacanya sangat menyentuh hati. Membuatku tersadar tentang makna kemuliaan. Lagi-lagi hatiku seperti dicabik-cabik ketika Ustaz Azam mengatakan bahwa kemuliaan manusia ada pada derajat ketakwaannya bukan pada kecantikan fisiknya, kekayaan harta bendanya, atau pangkat dan derajatnya.
Kutundukkan kepala sambil berhitung betapa banyak aku berbuat dosa sejak akal balig. Berapa jumlah kebaikan yang kulakukan dengan ikhlas dan berapa yang tidak ikhlas. Untuk menyandang predikat mulia di hadapan Allah, diriku nampaknya seperti peribahasa ‘jauh panggang dari api’.
Namun, biarlah terlambat daripada tidak sama sekali. Semoga masih ada kesempatan bagiku untuk berbuat baik.
*
Views: 55
Comment here