Oleh: Armelia, S.Psi. MHM
Perlindungan anak telah menjadi isu penting dalam dunia modern. Untuk menjamin masa depan generasi penerus, anak harus memperoleh perlindungan dari segala macam bentuk gangguan, ancaman dan kekerasan ( Al-‘adalah, Vol.14, Nomor 2, 2017).
Menurut dokumen Convention on the Rights of the Child (1989), kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan, pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. Kekerasan terhadap anak tak cuma mencakup kekerasan fisik dan seksual, tetapi juga kekerasan emosional, pengabaian, dan eksploitasi (tirto.id, 21/11/2017).
Namun demkian, tingginya angka kekerasan anak menjelang akhir tahun 2020 ini sangat mengkhawatirkan. Jika data Laporan Kekerasan Anak yang didapat dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada Januari – Juni 2020 menyatakan terdapat 3.928 kasus kekerasan anak (news.detik.com, 22/07/2020). Maka dalam waktu 1 bulan yaitu sampai akhir Juli 2020 angka kekerasan anak sudah berada pada angka 4.116 kasus, bahkan per tanggal 18 Agustus 2020 angkanya naik lagi menjadi 4.833 kasus (suara.com, 24/08/2020).
Adapun hingga 11 November 2020, Simfoni PPA, mencatat terdapat 13.840 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan jumlah kasus anak sebanyak 56,8% atau 7.861 kasus (kekerasan.kemenpppa.go.id, di akses 11 November 2020).
Kecenderungan tingginya kasus kekerasan anak ditemui di banyak daerah Indonesia. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur Andriyanto mengungkapkan masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2020 (republika.co.id, 03/11/2020).
Tren ini bukan hanya dirasakan oleh Provinsi/Kota Besar, bahkan tingkat Kabupaten seperti Bantul, Jogya, juga merasakannya. Menurut Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bantul Muhamad Zainul Zain menyebut, “kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bantul masih sangat tinggi.” Bahkan dibandingkan dengan 2019, jumlah kasus di Bumi Projotamansari tahun ini berdasarkan catatan sampai dengan Oktober lalu sudah menunjukkan peningkatan (jogja.suara.com, 8/11/2020).
Adanya peraturan yang berupaya untuk menurunkan angka kekerasan terhadap anak belum berhasil sebagaimana pernyataan Zainul. Zainul mengatakan bahwa implementasi Perda terkait kekerasan terhadap anak yang telah diketok sekitar dua tahun lebih ternyata belum efektif. Bukan lantas kasus kekerasan anak menjadi lebih menurun, melainkan malah makin meningkat (jogja.suara.com, 8/11/2020).
Oleh karena itu, Zainul menyatakan, permasalahan ini perlu penyelesaian secara lebih terintegrasi (jogja.suara.com, 8/11/2020). Karena memang jika kita jeli melihat, tingginya angka kekerasan terhadap anak bukan hanya semata-mata berkenaan dengan ada atau tidaknya undang-undang atau peraturan yang mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Banyaknya kasus kekerasan anak berkaitan erat dengan sistem lain yang diterapkan oleh pemerintah selama ini.
Sejak awal, bahkan jauh sebelum adanya indikasi tentang munculnya Undang-Undang/Peraturan Perlindungan terhadap Anak, Islam telah terlebih dulu membahas ketentuan-ketentuan syariat yang akan memberikan perlindungan dan hak-hak anak. Penerapan syariat mekanisme perlindungan anak ini harus dilakukan secara sistemik, melalui penerapan berbagai aturan seperti penerapan sistem ekonomi islam, penerapan sistem pendidikan islam, penerapan sistem pergaulan dan penerapan sistem sanksi.
Kita pernah membaca atau melihat beberapa kasus kekerasan anak terjadi karena fungsi ibu sebagai pendidik dan penjaga anak kurang berjalan. Tekanan ekonomi memaksa ibu untuk bekerja meninggalkan anaknya dengan orang lain ataupun membawa anak-anaknya turun ke jalan untuk mencari uang. Bahkan ada beberapa kasus seorang ibu tega memutilasi darah dagingnya sendiri karena tidak kuat menghadapi kesulitan hidup.
Terpenuhinya kebutuhan dasar merupakan masalah asasi manusia. Karenanya, Islam mewajibkan Negara menyediakan lapangan pekerjaan agar para kepala keluarga dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya dengan layak. Dengan terpenuhi dan terjaminnya kebutuhan keluarga, maka para Ibu bisa fokus pada fungsi keibuannya (mengasuh, menjaga, dan mendidik anak) karena tidak dibebani tanggung jawab nafkah. Tidak akan ada anak yang terlantar dan krisis ekonomi yang memicu stress orang tua hingga memunculkan tingkah laku agresi bisa dihindari.
Negara juga wajib menerapkan pendidikan Islam, menetapkan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang akan melahirkan individu bertakwa. Dengan pendidikan yang benar, maka para calon orang tua akan memiliki kesiapan untuk menjalankan salah satu amanahnya yaitu merawat dan mendidik anak-anak, serta mengantarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang shalih. Karena mereka paham bahwa Orang tua wajib memelihara dirinya dan keluarganya dari api neraka (QS. At-Tahrim:6).
Selain itu, negara harus menerapkan sistem pergaulan yang sesuai dengan Islam, dan melarang hal-hal yang dapat merangsang seksualitas di kehidupan umum. Dengan terpisahnya kehidupan laki-laki dan perempuan serta tidak adanya informasi yang memancing syahwat, maka tidak akan muncul gejolak seksual yang liar memicu kasus pencabulan, perkosaan, serta kekerasan pada anak.Negara juga harus menjatuhkan hukuman yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap para pelaku kekerasan anak, sehingga membuat jera para pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang serupa.
Dengan penerapan sistem Islam secara sempurna dalam seluruh aspek, maka Islam akan menjadi rahmat bagi semesta alam dan anak-anak mampu hidup dan menjalani kehidupan yang jauh dari kekerasan baik secara fisik, emosional, seksual, pengabaian, dan eksploitasi.
Wallahu’alam bisshowab.
*Alumnus University of New South Wales, Sydney, Australia jurusan Master of Health Managemnt
Views: 12
Comment here