Oleh:Saddiyah (Member Akademi Menulis)
Baru-baru ini tepatnya pada 2 September 2020, untuk kesekian kalinya kemuliaan Nabi kembali dihina dan dinista. Tindakan laknat yang dilakukan oleh mereka para pengusung kebebasan. Yah. Majalah Charlie Hebdo asal Prancis kembali menerbitkan karikatur penghinaan kepada Nabi Muhammad ﷺ setelah sebelumnya juga pernah dilakukan ditahun 2015 silam.
Kecaman pun datang dari berbagai negara. Tapi nyatanya Pemerintah Prancis justru mendukung ulah majalah tersebut. Pemerintah Prancis di bawah pimpinan Emmanuel Macron bahkan dengan sengaja memajang kartun penghinaan Nabi Muhammad ﷺ tersebut di dinding gedung pemerintah daerah juga di tempat-tempat umum lainnya.
Aksi protes turut menggelora, namun lagi-lagi Charlie Hebdo dan penggiat demokrasi membela diri menganggap hal itu adalah wajar dalam demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi dijadikan dalih sebagai salah satu dari empat kebebasan demokrasi. Yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, kebebasan beragama dan kebebasan kepemilikan. Jadi siapa saja bebas untuk berpendapat dan berekspresi.
Sebulan kemudian pada 5 Oktober 2020, tindakan yang sama dilakukan oleh Samuel Paty seorang guru Sejarah dan Geografi di sekolah menengah Bois-d’Aulne dengan menunjukkan pada murid-muridnya dua kartun karikatur Nabi yang pernah diterbitkan oleh majalah Charlie Hebdo tersebut di tahun 2015 juga sejumlah kartun lainnya.
Dunia kembali bereaksi. Ada yang marah, menentang hingga melakukan protes, ada juga yang justru mengapresiasi karena dianggap sebagai bentuk ekspresi yang dijamin dalam sistem demokrasi.
Bagi kaum muslim marah, sebab kemuliaan Nabi adalah kehormatan kaum muslim. Menghina kemulian Nabi, berarti menginjak-nginjak kehormatan kaum muslim.
Nabi Muhammad ﷺ adalah kecintaan kaum muslim melebihi siapapun dan apapun itu bahkan diri sendiri. Beliaulah (Muhammad ﷺ) yang telah membawa cahaya Islam ke tengah ummat. Hingga saat ini mampu tersinari dengan cahaya Islam. Beliaulah tauladan, cinta yang sebenar-benarnya cinta, dan menjadi sebuah kehormatan bagi kaum muslim.
Sudah selayaknya, keimanan pada diri kaum muslim mengharuskan untuk hanya mengagungkan dan memuliakan Rasulullah saw. dan menepiskan segala bentuk penghinaan dan penistaan terhadap Rasulullah ﷺ. Terhadap siapa saja yang melakukan penghinaan terhadap Beliau maka kaum muslim wajib atasnya untuk marah sebagai bukti kecintaan terhadap Rasulullah ﷺ.
Ulama besar Buya Hamka rahimahulLâh mempertanyakan orang yang tidak muncul ghirah-nya ketika agamanya dihina. Beliau tegas menyatakan, “Jika ghirah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan 3 lapis, sebab kehilangan ghirah sama dengan mati.”
Menghina Rasulullah ﷺ adalah sama artinya menghina Islam. Maka seseorang yang tidak marah ketika Rasulullah ﷺ. dihina patut dipertanyakan.
Menghina Rasulullas ﷺ adalah dosa besar
Rasulullah saw sebagai manusia yang sangat mulia di sisi Allah SWT, maka tindakan menghina beliau adalah suatu keharaman dan juga termasuk dosa besar. Dan Allah SWT melaknat pelakunya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknati mereka di dunia dan di akhirat serta menyediakan bagi mereka siksaan yang menghinakan” (TQS al-Ahzab [33]: 57).
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata, “Seseorang pernah berbuat kasar kepada Abu Bakar, lalu aku berkata kepadanya, “apakah boleh aku membunuhnya?” lalu ia menghardikku dan berkata, “Tidak boleh bagi seorang pun untuk dibunuh- hanya karena berbuat kasar kepada orang lain- selain Nabi ﷺ.” (HR. An-Nasaa’iy no. 4072: shahih)
Ibn Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi ﷺ adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafii (Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, hlm. 428).
Al-Qadhi Iyadh menegaskan, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim tentang halalnya darah orang yang menghina Nabi saw.
Dalam Islam, hukuman mati atas penghina Baginda Nabi ﷺ dilakukan oleh Imam/Khalifah atau yang mewakilinya (Lihat: Al-Kasani, Bada’i as-Shana’i’, 9/249). Khalifah tentu tidak akan tinggal diam jika ada yang menghina dan menista Rasulullah Muhammad ﷺ. Khalifah wajib menjaga kemuliaan Allah SWT, Rasulullah ﷺ serta ajaran Islam dan simbol-simbolnya.
Khalifah adalah junnah atau perisai bagi kaum muslimin yang dengan itu kemuliaan Rasulullah ﷺ, sekaligus kehormatan kaum muslim dan agamanya (Islam) akan senantiasa terjaga.
Rasulullah ﷺ bersabda “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya.”(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dll)
Secara empiris pembelaan terhadap Nabi oleh Khalifah pernah dilakukan dimulai dari Khalifah Abu Bakar hingga Khalifah terakhir di Turki yakni Khalifah Abdul Hamid II.
Pada masa kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II, Prancis juga pernah merencanakan pementasan drama untuk melecehkan Nabi. Mendengar kabar itu, spontan membuat beliau marah dan memanggil duta Prancis. Mengultimatum dan mengancam pemerintahan Prancis dengan seruan jihad. Dengan itu, pementasan drama yang direncanakan Prancis dibatalkan.
Oleh karena itu untuk membela kehormatan dan kemuliaan Rasulullah ﷺ, kita butuh seorang Khalifah (Khilafah) sebagai junnah/perisai sehingga tidak akan ada lagi penghinaan-penghinaan serupa terhadap kemuliaan Nabi, dan dengan itu kehormatan Islam akan senantiasa terjaga.
Wallahu a’lam.
Views: 63
Comment here