Oleh: Ummu Haneem
Wacana-edukasi.com — Sherly bolak-balik bercermin di sebuah kamar hotel. Gaya berbusananya hari ini sungguh tak lazim dari biasanya. Kali ini dia harus menggunakan busana pengantin dengan style hijab syar’i. Permintaan dari calon suaminya. Sebenarnya tidak ada masalah dengan baju pengantin itu, hanya saja si empunya yang tidak PD mengenakannya.
Gadis yang berprofesi sebagai jurnalistik itu pun terus merutuki dirinya karena tidak menyangka saat karirnya di dunia jurnalistik tengah bersinar, justru kini dia dihadapkan dengan sebuah pernikahan. Perjodohan yang terpaksa dia setujui karena hal tersebut merupakan permintaan dari sang kakek yang begitu ia sayangi. Sejak papa-mamanya tiada karena mengalami kecelakaan pesawat saat pulang lawatan bisnis dari Tokyo-Jepang, saat itu pula sang kakek yang merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ingin membalas kebaikan sang kakek, dirinya tak kuasa menolak pernikahan yang akan dilangsungkan 30 menit lagi.
“Hufftt … kenapa aku bisa terjebak dalam pernikahan ini? Menikah dengan seorang pebisnis muda keturunan Indo-Jerman. Aduh … duh … Gimana nasibku nanti? Aku saja selama ini antipati terhadap para pebisnis karena mereka suka bermain kotor untuk memuluskan usahanya, banyak di antara mereka yang main mata dengan para pejabat negara. Aroma perselingkuhan begitu kentara. Apalagi saat pesta demokrasi tiba. Nah, pada kumat tuch.” Sherly berbicara seorang diri sambil tangan kanan menepuk-nepuk jidatnya, sedangkan tangan kiri berkacak pinggang.
“Sherly, ayo! Kita segera ke lokasi pernikahan.” Sebuah suara memanggil, yang tiada lain adalah suara sang kakek tercinta.
“I … Iya, Kek,” jawab Sherly.
“Gimana ini ya? Apa aku melarikan diri saja dari pernikahan ini? So what gitu lho!” Sherly membuka jendela kamar hotel. Dia mengangkat gamis yang dikenakannya dan bersiap-siap naik ke jendela.
“Sherly, what are you doing? Where are you going to go? Are you crazy?” Sang kakek berteriak mendapati tingkah polah cucunya yang ternyata hendak melarikan diri dari pernikahan.
“Jika kamu tidak setuju dengan pernikahan ini kenapa kamu tidak sampaikan dari kemarin? Ijab kabul sebentar lagi. Mau ditaruh di mana muka Kakek kalau kamu pergi?” Kakek Sherly mengelus dada pertanda kecewa terhadap apa yang dilakukan oleh cucu kesayangan satu-satunya itu.
Sherly menghentikan rencananya, kemudian berbalik memeluk sang kakek. “Maafkan Sherly, kek.”
“Promise me that you will get marry with him! Don’t go anywhere, please!” Kata sang kakek.
“Okay, I promise.”
*
“Alhamdulillah kita sudah sampai. Ayo, turun! Sherly, ingat! Don’t go anywhere dan bersikaplah yang baik!” perintah sang kakek.
“Iya, Kek.”
Sherly dan rombongannya tiba di lokasi pernikahan 15 menit sebelum ijab kabul dimulai. Pernikahan tersebut sengaja di- setting outdoor atas permintaan calon mempelai perempuan. Meski tak mewah, namun terkesan elegan. Tak banyak tamu yang diundang. Hanya berkisar 100 orang saja.
“Lihatlah, Alex sudah mengatur semuanya. Tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisah. Tempat pelaminannya juga dipisah supaya tamu laki-laki tidak melihat riasan wajahmu. Ta … ta … ruj. Entahlah Alex menyebutnya apa. Kakek lupa.”
“Apa yang harus kulakukan? Sebelum ijab kabul dimulai aku harus bicara dengannya. Aku harus membuat kesepakatan dengannya. Tapi, gimana caranya, ya? Jangan sampai kakek tahu hal ini.” Batin Sherly. Dia terus berupaya mencari ide supaya dirinya bisa ketemu Alex sebelum ijab kabul dimulai.
“Kek, bolehkah aku ketemu Alex sebelum ijab kabul? Kakek, kan, tahu waktu Alex ke rumah bersama orang tuanya dua minggu yang lalu, Sherly masih di kantor karena banyak pekerjaan. Masak iya mau nikah, tapi Sherly belum tahu wajah calon imamnya Sherly seperti apa?”
Tentu saja gelak tawa sang kakek tidak tertahankan mendengar pengakuan cucunya.
“Apa kamu juga belum melihat foto Alex yang pernah kakek berikan padamu? Kamu ini lucu. Mau menikah, tapi sampai detik-detik menjelang pernikahan kamu belum tahu mana calon suamimu. Hmmm … Lihat laki-laki jangkung yang mengenakan setelan jas berwarna hitam dan bergaris-garis putih di sana! Nah, dialah orangnya. Gagah dan tampan bukan?”
Sherly menatap laki-laki itu dari jarak pandang lima meter dan setelah yakin, maka dia pun berjalan menghampirinya. “Baik Kek, Sherly ke sana dulu.”
Beberapa detik kemudian.
“Alex, aku ingin bicara denganmu. Ini aku, Sherly.”
Lelaki berusia 28 tahun itu kemudian berbalik menghadap sumber suara. Namun, begitu melihat dandanan calon permaisurinya yang tampak menor, dia langsung mengalihkan pandangan. “Ada apa? Kenapa kau mencariku? Bukankah ini adalah area laki-laki? Tidak sepantasnya kamu berada di sini.”
“Aku ingin bicara empat mata denganmu.”
“Silahkan sampaikan di sini saja.”
Tanpa memedulikan omongan Alex, Sherly langsung menarik lengan Alex. Sherly membawanya ke tempat yang sepi dari kerumunan.
“What? Apa yang kamu lakukan barusan? Jauhkan tanganmu! Seorang akhwat menggelandang calon pengantin prianya?”
“Stop for interrupting me. Aku hanya ingin membuat kesepakatan sebentar denganmu.”
Sherly melihat sosok lelaki yang ada di depannya. Gagah, tampan, dan body-nya perfect. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang.
Alex tidak menjawab permintaan Sherly karena dalam benaknya yang terjadi adalah sebuah kesalahan. Berdua-duaan dengan perempuan yang belum menjadi mahramnya jelas dilarang oleh agama.
“A … A … Alex, apakah setelah kita menikah, kamu akan membawaku tinggal di rumahmu?”
“Tentu saja,” jawab Alex singkat.
“Lalu, apakah …” Sherly berupaya menata pikirannya dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya ini benar menurut pandangannya dan untuk kecemerlangan karirnya.
“Sebetulnya apa yang ingin kamu sampaikan? Cepatlah, kita tidak punya banyak waktu!” ujar Alex dengan tegas kepada calon istrinya.
“Dengar Alex. Aku punya karir. Karirku sedang bersinar.”
“Lalu?”
“Aku tidak ingin hamil dulu. Aku ingin membuktikan pada Kakek dan dunia bahwa seorang perempuan pun mampu mencapai kesuksesan dalam karirnya. Jadi, setelah kita menikah kuharap kita tidak berada dalam satu kamar.”
“Perjanjian macam apa yang kau tawarkan? Di mana-mana idealnya pasangan suami-istri itu tinggal satu atap dan satu kamar. Dengar, aku menolak permintaanmu. Kita tetap akan menggunakan satu kamar berdua. Lagi pula, di rumah ada Bi Ijah dan Pak Wingky. Apa kata mereka saat mereka melihat pengantin baru tidak berada dalam satu kamar? Apa kamu juga siap dengan pertanyaan Kakek?”
“Kamu …? Baiklah, kalau kamu tidak menyetujui permintaanku, aku akan pergi sekarang biar kamu malu.” Sherly mencoba mengintimidasi Alex supaya menyetujui keinginannya.
“Oh, ya? Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Belum ada ikatan di antara kita. Jika memang pernikahan hari ini batal berarti kamu bukan jodohku.”
“Susah sekali menaklukkan pria ini. Aku harus bagaimana lagi?” batin Sherly.
“Satu lagi. Setelah kamu menjadi Nyonya Alex Hartono, kamu harus membiasakan diri mengenakan hijab syar’i. Jangan biarkan laki-laki asing melihat auratmu. Ini pakai niqob. Sudah kusiapkan dari tadi untuk jaga-jaga dan ternyata benar, riasanmu terlalu tebal. Banyak orang akan terpanah melihat wajahmu. Itu tabarruj namanya. Well, aku rasa cukup pembicaraan kita. Sudah jam 08.45 WIB. Lima menit lagi ijab kabul dimulai. I’ll go now.” Alex tersenyum puas, lalu meninggalkan Sherly seorang diri.
“Bukannya aku yang memenangkan kesepakatan dan merayakan keberhasilan, eh, kenapa malah aku yang kalah dalam perundingan. Dia pintar sekali memilin kata-kata. Hhhh ….” Sherly nampak kesal karena kalah telak dan memilih kembali untuk mengikuti prosesi pernikahannya. Dirinya sudah berjanji pada sang kakek untuk bersikap baik di acara pernikahannya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sherly Mayya Salsabila binti Atmaja dengan mas kawin berupa uang sebesar dua juta dua ratus dua puluh ribu rupiah dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi, sah?” tanya Pak Penghulu kepada para saksi.
“Sah!” jawab saksi pertama.
“Sah!” jawab saksi lainnya.
“Alhamdulillah, baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.”
Views: 1
Comment here