Opini

Demokrasi Sistem “Tipu-tipu”

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ninis Ummu Qonita (Aktivis Muslimah Balikpapan)

Wacana-edukasi.com  — Politisasi agama atau memanfaatkan agama untuk meraih kekuasaan kerap terjadi dalam praktik demokrasi. Tampilan “Mendadak shalih ” dengan menggunakan peci ke mana-mana, rajin mengunjungi tempat ibadah, pengajian, tak lupa mengabadikan momen tersebut dan mengunggahnya di jagat sosmed. Hal tersebut lazim kita jumpai menjelang pemilu ataupun pilkada demi meraih simpati umat Islam. Namun, setelah diraih kekuasaan itu, agama dicampakkan jauh-jauh tidak dijadikan standar dalam menentukan arah kebijakan. Astagfirullah.

Selain itu, Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi, mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya. “Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati,” katanya, saat webinar Moya Institute bertema “Gaduh Politisasi Agama”, Kamis (19/11) (Republika.co.id).

Tidak hanya politisasi agama, politik uang juga digunakan untuk meraih simpati publik. Pasalnya menjelang Pilkada, politisasi agama dan money politic (politik uang) sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Bahkan hampir di setiap pemilihan (Bupati/Wali Kota/Gubernur dan Presiden/Legislatif) selalu tercium dan terkabar praktek politisasi agama dan uang serta sejenisnya seperti sembako. Tujuannya tentu saja untuk mempengaruhi para pemilik suara.l (Hariansib.com).

Alhasil, ini menunjukkan bahwa politisasi agama dan politik uang biasa ditemui dalam pilkada atau pemilu dan tak bisa dihindari dalam sistem demokrasi. Pemilu tanpa instrumen itu seolah-olah kurang lengkap. Rakyat hanya diberi janji-janji palsu minim realisasi. Nyatanya ketika sudah berada dalam tampuk kekuasaan lupa dengan rakyat, kekuasaannya tersandera oleh oligarki.

Demokrasi Mendorong Manipulasi Politik

Demi mendapatkan simpati publik, berbagai cara pun dilakukan oleh para kontestan pemilu. Seperti yang terjadi pada pilpres di AS, Biden dalam kampanyenya menggunakan “sentimen agama” untuk mendapatkan suara dari komunitas muslim AS. Joe Biden yang notabene non muslim pun mengutip hadist Rasulullah saw. “Nabi Muhammad memerintahkan siapa pun di antara kamu melihat kesalahan biarkan dia mengubahnya dengan tangannya jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya,” kata Joe Biden. Joe Biden juga menegaskan, suara umat muslim Amerika juga akan menjadi bagian dari pemerintahan jika ia sudah resmi menjabat jadi Presiden AS.

Selain itu, menurut Laporan Yayasan Kofi Anan berfokus pada belahan bumi bagian selatan, utamanya karena perselisihan tentang legitimasi hasil pemilu sering menyebabkan kerusuhan, bahkan pertumpahan darah. Laporan hasil pemilu juga bisa dimanipulasi dengan cara yang nyaris tidak terdeteksi. Selain itu, sering ada kekurangan tim pemantau dan kehadiran lembaga independen.
“Di masa depan, pemilihan umum di negara-negara belahan bumi selatan akan tetap menjadi titik fokus beredarnya ujaran kebencian di internet, disinformasi, campur tangan asing dan manipulasi domestik,” demikian kesimpulan suram laporan tersebut (Tempo.com).

Di negara pengusung demokrasi saja tak luput dari berbagai masalah, padahal mengklaim negara yang paling demokratis. Dalam demokrasi “sah-sah” saja mengumbar janji-janji dan melakukan manipulasi politik atau kebohongan untuk merebut kekuasaan.

Agama Dijadikan Asas Bukan Dipolitisasi

Di dalam Islam agama bukan sekadar “gula-gula” yaitu untuk menarik perhatian dan cari dukungan. Namun, agama menjadi asas sebuah negara, yaitu dijadikan pijakan untuk mengatur negara dan rakyat. Aturan yang diambil dari Al-Qur’an dan sunah, karena kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah.

Sebagaimana firman Allah: ” Hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” Q.S. Al-Maa’idah:50)

Dalam sistem Islam (Khilafah) haram mempolitisasi agama, karena “kesalihan” bukan untuk pencitraan semata. Namun, wajib bagi seorang pemimpin memiliki ketakwaan yang tinggi. Mereka sadar betul bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Sehingga pemimpin yang terpilih adalah orang yang terbaik di antara yang baik.

Tidak cukup orangnya saja yang saleh, namun sistemnya juga saleh yaitu menerapkan Islam kaffah. Sistem ini tidak memberikan celah sedikit pun untuk melakukan manipulasi demi meraih kekuasan.

Cukuplah hadis Rasulullah saw. mengingatkan kita, “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim)

Wallahua’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 30

Comment here