Oleh : Siti Muslikhah (Aktivis Muslimah Musi Banyuasin)
Wacana-edukasi.com — Di tengah kasus Covid-19 yang masih tinggi pemerintah nekat menggelar perhelatan Pilkada 2020 pada Rabu (9/12/2020) mendatang. Padahal menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dibagikan oleh tim BNPB pada Kamis (3/12/2020) dilaporkan ada penambahan 8.369 kasus baru Covid-19. Sehingga sejak Maret, sudah ada 557.877 kasus dan jumlah pasien yang meninggal ada 17.355 orang (new.detik.com, 3/12/2020).
Para calon kepala daerah tahun 2020 saat ini pun banyak yang terpapar Covid-19. Ada 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19 dan 4 orang diantaranya meninggal dunia. Tak hanya itu, 100 penyelenggara termasuk Ketua KPU RI juga telah terinfeksi Covid-19 (Bisnis.com, 28/11/2020).
Sebenarnya banyak kalangan telah mengusulkan agar penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 ini ditunda karena khawatir akan menjadi cluster baru penyebaran Covid-19. Hal senada juga disampaikan oleh Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo. Dia menyarankan agar Pilkada ditunda hingga wabah Covid-19 di Indonesia dapat terkendali dan kondisi sudah memungkinkan. Menurut Windhu pertimbangan kesehatan dan keselamatan masyarakat haruslah menjadi prioritas utama di atas kepentingan ekonomi dan politik (KOMPAS.com, 28/9/2020).
Akan tetapi sangat disayangkan, meskipun korban sudah banyak berjatuhan pemerintah tetap bersikeras menyelenggarakan pilkada serentak. Alasannya, Pilkada harus tetap digelar untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konstitusi rakyat, mencegah terjadinya kekosongan kepemimpinan, juga mencegah banyaknya biaya politik yang harus dikeluarkan jika pilkada terus ditunda.
Tentu saja alasan tersebut cenderung mengesampingkan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat. Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 dapat menimbulkan kerumunan massa dan pasti sulit menjaga masyarakat agar patuh dalam menerapkan protokol kesehatan. Hal ini dapat menyebabkan penularan virus Covid-19 menjadi makin tak terkendali. Padahal pemerintah sendiri sudah berkomitmen untuk melakukan pencegahaan agar virus ini tidak semakin menyebar luas. Haruskah nyawa rakyat dipertaruhkan demi pesta demokrasi ini?
Selain itu kondisi ekonomi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini sangat lemah. Untuk memenuhi kebutuhan pokoknya pastilah rakyat sangat membutuhkan bantuan dana dari pemerintah.Tapi mengapa pemerintah malah menyelenggarakan pesta demokrasi yang menghabiskan dana sebesar Rp20,46 triliun. Tidakkah pemerintah memiliki sense of crisis?
Keinginan keras pemerintah untuk melaksanakan Pilkada di tengah pandemi ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi tidak manusiawi. Dalam demokrasi kekuasaan selalu dinomorsatukan. Penanggulangan terhadap pandemi yang menyebabkan ribuan nyawa melayang cenderung diabaikan. Sebab asas yang membangun sistem demokrasi adalah sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan. Inilah yang menyebabkan hubungan peguasa dan rakyat hanya didasarkan atas manfaat semata. Sekadar untuk meraih jabatan dan kekuasaan. Sistem demokrasi melahirkan penguasa yang tak cinta kepada rakyatnya.
Penguasa yang mencintai rakyatnya, seharusnya melindungi dan menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 32 yang artinya : “… Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seoalah-olah dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya…”
Alangkah baiknya jika pemerintah meneladani apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab dalam menangani wabah. Beliau melaksanakan sabda Rasulullah SAW :
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sendang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khalifah Umar Bin Khaththab juga memberikan teladan terbaik dalam kondisi krisis di tengah wabah. Caranya dengan berhemat dan bergaya hidup sederhana, bahkan lebih kekurangan dari masyarakatnya. Beliau pun membangun posko-posko bantuan untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Orang-orang yang mendatangi Khalifah Umar bin Khaththab senantiasa diberi makanan, sedangkan yang tidak datang dikirimi bahan makanan kerumahnya. Ini terjadi berbulan-bulan sepanjang masa musibah. Selain itu Khalifah pun melakukan mobilisasi dengan daerah-daerah wilayah Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu untuk membantu menyelesaikan krisis. Inilah sekelumit kisah kehidupan dan kepemimpinan Umar bin Khaththab yang diceritakan dalam buku The Great Leader of Umar bin Khathab. Andaikan ini dijalankan oleh pemerintah tentu rakyat akan tercukupi kebutuhan pokoknya, merasa aman, dan terlindungi dari wabah.
Wallohualam bishowab
Views: 2
Comment here