Oleh: Armelia, S.Psi. MHM
Wacana-edukasi.com — Pada dasarnya, setiap manusia memiliki hal-hal yang dibutuhkan ataupun diinginkan di dalam hidupnya. Ketika mendapatkannya, mereka akan merasa aman atau percaya diri. Namun ketika gagal, mereka akan merasa resah atau tak berarti.
Menurut Abraham Maslow, dalam teori Hirarki Kebutuhan, kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan untuk tetap dapat bertahan hidup, yaitu Kebutuhan fisiologis (physiological needs). Ciri dari kebutuhan ini adalah, jika tidak dipenuhi maka akan membawa kepada kematian atau terganggunya fungsi tubuh sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal.
Kebutuhan tingkat selanjutnya setelah manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologisnya adalah kebutuhan akan keamanan dan keselamatan (security and safety needs). Pada level ini, manusia mulai menginginkan keamanan dari kondisi yang mengancam kehidupan, rasa takut, cemas, teror, kecelakaan ataupun cedera.
Namun, untuk beberapa manusia atau bahkan suku tertentu, sulit sekali memenuhi kebutuhan fisiologisnya apalagi kebutuhan akan keamanan dan keselamatannya, seperti Rohingya. Kita tahu bahwa pada 2016 – 2017, telah terjadi bentrokan besar antara Rohingya dengan Pemerintah Myanmar yang berujung pada terusirnya warga Rohingya dari negaranya dan memaksa mereka mengungsi ke berbagai negara tetangga, termasuk Bangladesh.
Selain tak diakui di negaranya sendiri dengan ditolaknya kewarganegaraan Suku Rohingya di Myanmar sejak 1982, ternyata mereka juga tidak diharapkan di Bangladesh. Menurut viva.co.id (06/12/2020), Pemerintah Bangladesh telah mengirim lebih dari 1.600 pengungsi Rohingya dari kamp pengungsi Cox’s Bazar ke Pulau Bhasan Char.
Pulau Bhasan Char adalah pulau yang baru muncul 20 tahun yang lalu, terbentuk secara alami oleh lumpur Himalaya di Teluk Benggala, sekitar 60 kilometer dari daratan, rentan terhadap bencana alam dan tidak cocok untuk permukiman manusia.
Menteri Luar Negeri Bangladesh A.K. Abdul Momen, Kamis (3/12), mengatakan bahwa tidak ada pengungsi yang dipaksa pindah ke Bhasan Char. Mohammad Shamsud Douza, wakil pejabat pemerintah Bangladesh yang bertanggung jawab atas pengungsi, juga menguatkan pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa relokasi itu bersifat sukarela.
Namun demikian, fakta dilapangan menunjukkan hal yang berbeda. Pada hari Kamis (03/12), seorang pria berusia 31 tahun mengatakan kepada Reuters sambil menangis melalui telepon saat dia naik bus dari Cox`s Bazar: “Mereka telah membawa kami ke sini dengan paksa. Tiga hari yang lalu, ketika saya mendengar bahwa keluarga saya ada dalam daftar, saya melarikan diri dari blok, tapi kemarin saya ditangkap dan dibawa ke sini.” (okezone.com, 05/12/2020).
Para pengungsi Rohingya yang ditempatkan di Bhasan Char, melaporkan bahwa mereka mengalami tindakan kekerasan oleh petugas setempat. Petugas di tempat tersebut memukuli dan membentak mereka yang melakukan aksi mogok makan. “Kami tidak diberi makanan yang cukup, tidak ada pakaian, telepon,” keluh seorang pengungsi Rohingya yang enggan namanya disebutkan. Dia menggambarkan penyiksaan dan kondisi hidup mereka yang menyedihkan di Bhashan Char, bahkan jauh lebih buruk dari siksaan prajurit Myanmar.
Badan bantuan internasional dan PBB dengan keras menentang relokasi tersebut sejak pertama kali diusulkan, namun nyatanya hal tersebut tidak mampu memberikan pengaruh apa pun terhadap tindakan yang diambil oleh Pemerintah Bangladesh.
Jika kita teliti secara mendalam, akar permasalahan dari pemusnahan ataupun pengusiran suatu suku dari negaranya, bukan hanya pada Rohingya tapi juga pada konflik Bosnia, Sudan, ataupun Rwanda. Begitu juga alasan mengapa negara-negara tetangga sulit sekali menerima pengungsi yang datang dari negara yang berkonflik, maka akar dari itu semua adalah karena adanya ikatan sukuisme/nasionalisme.
Ikatan sukuisme ataupun nasionalisme adalah ikatan yang salah untuk menyatukan manusia karena ikatan tersebut mengkotak-kotakan manusia di bawah bendera kesukuan, negara atau bangsa. Sukuisme membuat suatu suku menolak orang yang tidak satu suku dengannya dan nasionalisme membuat sebuah negara menolak orang yang bukan merupakan warga negaranya.
Padahal kita sadar, bahwa tidak ada seorang manusia pun yang bisa memilih ingin lahir dari orang tua yang mana, suku apa atau berkewarganegaraan apa. Adalah sesuatu yang sangat tidak adil jika kita mengkotak-kotakan manusia berdasarkan sesuatu yang tidak bisa mereka pilih lalu merendahkan mereka karena hal tersebut.
Adapun jika ikatan yang digunakan adalah sebuah ikatan yang benar, yaitu Islam, maka tidak akan ada lagi pemusnahan ataupun pengusiran suatu suku hanya karena perbedaan suku. Juga tidak akan ada penolakan pengungsi hanya karena berbeda kewarganegaraan.
Hal itu pernah terjadi pada masa Islam diterapkan sebagai satu-satunya sistem dan pengikat yang mengikat antar manusianya. Sejarah membuktikan bagaimana Islam berhasil menyatukan suku Aus dan Khazraj di Madinah pada masa Rasulullah sekalipun sebelumnya kedua suku tersebut sangat keras permusuhannya.
Raja Swedia juga pernah memberikan ucapan terima kasih kepada Khilafah Islam atas perlindungan dan surat jaminan yang diberikan setelah Raja Swedia tersebut mencari suaka politik ke khilafah pada 7 Agustus 1709 karena diusir oleh tentara Rusia.
Islam akan melindungi semua suku ataupun warga negara, bahkan musyrik sekalipun karena Allah Swt. berfirman dalam surat At-Taubah:6, “Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya ….”
Oleh karena itu, mari kita kembali kepada Islam dan menjadikannya sebagai satu-satunya pengikat yang shahih dalam kehidupan. Karena hanya dengan Islam, maka manusia akan dihargai sebagai manusia.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 20
Comment here