Oleh: Sherly Agustina, M. Ag. (Kontributor media dan pemerhati kebijakan publik)
Wacana-edukasi.com — Pergelaran pemiliu dan pilkada yang diadakan di negeri ini seolah-olah membawa angin segar, nyatanya masalah demi masalah tidak kunjung usai malah semakin bertambah. Benarlah firman-Nya, bahwa segala kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia (QS. Ar Ruum: 41). Disaat manusia menerapkan demokrasi bukan aturan Allah maka hanya masalah yang terjadi.
Lagi, terjadi seorang ibu tega membunuh anaknya karena faktor ekonomi. Di Nias Sumatera Utara, seorang ibu membunuh tiga anaknya saat sang suami pergi ke TPS untuk mengikuti pilkada. Sang ibu pun menyusul ketiga anaknya walau sempat dirawat di rumah sakit (Viva.co.id, 13/12/20). Ironi, ketika sang suami sedang mencoba memilih pemimpin dan harapan baru, namun sang istri kehilangan harapan hidup.
Belum lama, seorang ibu di Lebak-Banten, tega menghilangkan nyawa anaknya yang berusia 8 tahun, hanya karena kesal saat belajar daring tidak bisa memahami pelajaran (Kompas.com, 15/9/20).
Fenomena ini menambah potret buruk kehidupan di alam demokrasi. Rakyat yang masih percaya dengan demokrasi, mengikuti pilkada dan pemilu dengan harapan besar. Bahwa ke depan hidup mereka akan lebih terang, terjamin dan bahagia. Nyatanya, sudah berapa kali pilkada dan pemilu dilakukan di negeri ini rakyat hanya bisa gigit jari.
Mengapa fenomena ibu membunuh anak seperti hal biasa? Padahal, apa pun yang terjadi, naluri seorang ibu begitu kuat. Rasanya tak mungkin jika ibu membunuh anaknya dengan sangat kejam. Seorang ibu terbukti tangguh, karena banyak peristiwa yang dialami dan dilewati. Sejak mengandung, melahirkan, mengurus, mendidik, dan membesarkan anak. Tidak diragukan sama sekali begitu kuat dalam berjuang dan berkorban demi anaknya.
Namun, dalam demokrasi seakan pupus ketangguhan seorang ibu, ketika beredar luas di dunia maya dan nyata berita pembunuhan ibu pada anaknya. Jika di setiap pilkada, demokrasi menjanjikan kesejahteraan dan kenyamanan maka seharusnya fenomena ini tidak terjadi. Namun, faktanya hal ini terjadi dan sangat berbahaya jika tidak segera ditangani atau dicarikan solusi. Faktor apa yang membuat seorang ibu tega membunuh anaknya di alam demokrasi ini?
Kiranya tidak berlebihan jika menilai ada yang salah dari aturan yang selama ini dibuat oleh manusia dan diterapkan di negeri ini. Sebut saja kapitalisme-demokrasi yang telah lama diadopsi oleh negeri zamrud katulistiwa ini. Jargon dari, oleh, dan untuk rakyat dipertanyakan, rakyat yang mana yang dimaksud karena kebijakan yang ada bukan untuk kebaikan rakyat. Begitupun dengan wakil rakyat, mewakili rakyat yang mana dari setiap kebijakan yang dihasilkan.
UU Cilaka (omnibus law) salah satu produk demokrasi yang disahkan para wakil rakyat di DPR, nyatanya tak memihak rakyat tapi asing. Dilihat dari suburnya investasi asing di negeri ini, satu sisi menurut pemerintah untuk kepentingan negara karena mendapat suntikan dana. Namun, benarkah demikian sebab no frre lunch (tidak ada makan siang gratis). Ketika asing banyak membantu, maka ada maksud dari semua itu dan menunjukkan bahwa negeri ini tak punya harga diri.
Bunuh diri politik, karena akan semakin membuat negara ini bergantung pada mereka dan mau melakukan apa saja yang mereka inginkan. Sebelum UU Cilaka disahkan sudah banyak PHK, apalagi setelah disahkan. Ini berefek besar pada rakyat kecil, kesulitan ekonomi tak bisa dihindari akhirnya di antara mereka ada yang mencuri bahkan bunuh diri. Di mana tanggung jawab negara pada rakyatnya jika rakyat dijadikan tumbal demokrasi?
Sementara Islam memiliki aturan yang sempurna, di bidang ekonomi negara bertanggung jawab memastikan agar kebutuhan primer rakyat terpenuhi dengan baik. Kepala keluarga bertanggung jawab mencari nafkah, jika kesulitan dibantu keluarga terdekat. Lalu, negara membantu dan memfasilitasi lapangan pekerjaan. Kesejahteraan dihitung per kepala dalam setiap rumah, semua dijamin oleh negara.
Kebutuhan kolektif pun menjadi tanggung jawab negara, di antaranya pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semua proses dipermudah agar rakyat tidak merasa kesulitan. Jika kebutuhan primer dan kolektif sudah dijamin, tak ada celah bagi rakyat untuk stres. Rakyat fokus beribadah kepada Allah, bagi suami fokus mencari nafkah, bagi istri fokus menjalankan kewajibannya sebagai ummun wa rabbatul bait dan mendidik anak. Anak-anak pun fokus belajar dengan tenang dan nyaman, dengan suasana yang kondusif dan harmonis.
Penjaminan ini ditopang oleh sistem keuangan dalam Islam yang begitu luar biasa. Sumber pemasukan dalam Islam di antaranya harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara seperti barang tambang (emas, perak, minyak, gas, dll), kekayaan laut, kekayaan hutan, dll. Selain itu, fai’, kharaj, ghanimah, dan jizyah serta harta milik negara lainnya. Juga harta zakat dan sumber pemasukan temporal, di antaranya: infak, wakaf, sedekah, hadiah, harta penguasa yang ilegal (ghulul/haram/hasil korupsi), harta orang-orang murtad dan lain-lain (Kitab Amwal, Abdul Qadir Zallum).
Sejarah telah mencatat keemasan peradaban Islam yang gemilang. Bahkan tokoh Barat pun menilai dengan begitu objektif, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi” (Jacques C. Reister). Juga Montgomerry Watt mengatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamo”-nya, Barat bukanlah apa-apa”. Jika Barat saja mengakuinya, maka sebagai muslim harus lebih mengakuinya agar tak patah hati berkali-kali.
Allahua’lam bishshawab.
Views: 0
Comment here