Oleh: Imroatus Sholeha (Pemerhati Umat)
Wacana-edukasi.com — Kasus korupsi yang melibatkan para pejabat pemerintah bukanlah perkara baru, bahkan sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Itu terbukti ketika KPK melakukan OTT pada rabu (25/11) hingga sabtu (5/12) dan terdapat empat kasus yang mencengangkan. Dalam sepuluh hari terakhir ada empat nama yang viral melakukan tindak korupsi.
Pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo ditangkap dalam kasus ekspor benih lobster. Kedua, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara ditangkap dalam kasus dugaan korupsi bansos Covid-19. KPK menduga Juliari menerima jatah Rp 10 ribu dari setiap paket bantuan sosial penanganan Covid-19. Ketiga, Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan jalan di daerahnya. Keempat, Wali Kota Cimahi Ajay Priatna Ia menjadi tersangka lantaran diduga meminta komitmen fee sebesar Rp 3,2 miliar terkait izin pengembangan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda Cimahi (tempo.co, 6/12/2020).
Sebuah pertanyaan dalam benak, Bagaimana membasmi sarang tikus berdasi ini hingga ke akarnya? Layakkah para koruptor itu diganjar hukuman mati?
Ada yang mengatakan, penegakan hukum tidak cukup, perlu perbaikan sistem dan pengawasan kinerja. Bagaimana mau memperbaiki sistem sementara sistem demokrasilah yang membuat para “tikus berdasi” itu tetap hidup? Bagaimana mau melakukan pengawasan sementara hampir semua lembaga pemerintahan demokrasi memang berpotensi menjadi lahan korupsi? Dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif hampir semuanya pernah terjerat kasus korupsi. Bagaimana sistem demokrasi memberi pengawasan di lembaga sumber korup? Melakukan hal ini ibarat memasukan unta ke dalam jarum. Sulit dan mustahil.
Dalam UU Tipikor pasal 2 ayat 2 terdapat aturan tentang pidana mati bagi pelaku korupsi. Sayangnya, aturan itu sebatas narasi formalitas belaka. Belum pernah ada realisasinya.
Proyek-proyek nasional, pembangunan infrastruktur, pendanaan penanggulangan bencana adalah peluang bagi mereka mencicipi uang negara. Potensi korupsi dari proyek dan pendanaan itu pasti ada. Korupnya demokrasi berpangkal pada paham kebebasan (liberalisme) yang menjadi asasnya. Politik dipisahkan dari agama (sekularisme), sehingga pemerintahan dijalankan sesuai nafsu manusia (penguasa).
Fakta demokrasi yang menjadi sarang tikus berdasi harusnya membuat kita merasa muak dan meninggalkan sistem ini. Nyatanya, demokrasi terus saja dipakai. Perkawinan antara demokrasi dan kapitalisme menghasilkan individu kapitalistik. Sistem sekuler yang menopang keduanya tidak membentuk pemimpin dan pejabat bertakwa. Justru melahirkan pemimpin khianat dan zalim. Korupsi menjadi satu bukti betapa rusaknya sistem pemerintahan demokrasi.
Tidak seperti demokrasi yang cacat di segala sisi, sistem pemerintahan Islam terbingkai dalam daulah khilafah memiliki cara ampuh menangkal dan membasmi korupsi. Khilafah menyiapkan langkah pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya yang terindikasi melakukan korupsi. Di antara pencegahan tersebut, khilafah akan memberlakukan:
Pertama, pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Khilafah memiliki kewajiban mendidik rakyatnya agar memiliki rasa takut kepada Allah dan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah). Sistem pendidikan berbasis akidah Islam akan menghasilkan manusia bersyaksiyah Islam. Didorong lingkungan keluarga yang memahami syariat, terciptalah kerharmonisan visi mendidik generasi.
Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, dengan demikian akan memininalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud)
Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad)
Keempat, penghitungan kekayaan. Hal ini pernah berlaku di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir masa jabatan. Jika ditemukan gelembung harta yang tidak wajar, maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang diterimanya didapatkan dengan cara halal. Cara ini efektif untuk mencegah korupsi.
Jika pejabat negara masih saja melakukan korupsi, maka penindakan hukum Islam akan diberlakukan. Yaitu, hukuman setimpal yang akan memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat.
Pelaku korupsi dikenai hukuman ta’zir. Bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keadilan ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu. Karena hukum yang diterapkan adalah syariat Islam. Bukan hukum demokrasi buatan manusia yang lemah dan sarat kepentingan.
Itulah cara ampuh negara khilafah memberantas korupsi. Masih percaya demokrasi yang menjadi sarang korupsi atau mencoba cara islam dalam membasmi korupsi sampai akarnya? Ganti dulu sistem demokrasi dengan sistem Islam kaffah. Agar cara ampuh ini bisa dilaksanakan.Maka harapan kita sebagai kaum muslim hanya pada sistem islam yang menerapkan hukum Allah Swt. Sebagai hukum yang terbaik dan dapat melahirkan pemimpin yang amanah.
Wallahua’lam bishshawab.
Views: 20
Comment here