Oleh: Nurhikmah (Team Pena Idiologis Maros)
Wacana-edukasi.com — Publik ramai membicarakan tentang dinasti politik. Disebut dinasti politik sebab kekuasaan terjadi secara turun-temurun dalam kelompok keluarga atau dalam satu ikatan darah, guna mendapatkan atau mempertahankan kursi kekuasaan dalam politik.
Dikutip dari Tempo.co (10/12/2020), menerangkan bahwa Nagara Institute mencatat sebanyak 124 calon kepala daerah terpapar dinasti politik pada pilkada tahun ini. Mereka merupakan istri, anak, atau kerabat dekat dari kepala daerah yang sedang atau pernah menjabat. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fenomena serupa dalam pilkada sepanjang tahun 2015 – 2018, yakni hanya 86 calon yang terpapar dinasti politik.
Tidak tanggung-tanggung, keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun turut terjerat dalam deretan dinasti politik tersebut. Dilansir dari katadata.co.id (12/12/2020), tercatat Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa unggul telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta dengan mengantongi 87,15% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika. Begitupun menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang berpasangan dengan Aulia Rachman pun unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan, dengan mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.
Sebelumnya memang telah ada hukum yang mengatur terkait dinasti politik. Hal tersebut tercantum dalam UU No 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r tentang pilkada yang menyebutkan: “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”
Namun, pasal “dinasti politik” tersebut dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015 karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945. “Bukan berarti MK menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan. Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut,” putus MK dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015.
Dikutip dari DetikNews.com (03/1/2017), dampak penghapusan pasal ini kemudian menimbulkan peningkatan praktik dinasti politik pada pilkada, hingga tahun ini memecahakan rekor sepanjang tahun demokrasi. Dengan peningkatan tersebut tentu bisa membawa kecemasan dalam politik, karena praktik dinasti politik sebenarnya berpotensi menimbulkan tindakan korupsi dikalangan para penguasa. Sebab kekuasaan para penguasa semakin besar dalam politik, sehingga hal ini dapat memberi peluang bagi mereka dalam menyalahgunakan kekuasaanya.
Selain berpotensi menimbulkan korupsi, kekuasaan turun-temurun ini juga bisa menutup kesempatan bagi orang lain yang lebih kapabel untuk menduduki kursi kepemimpinan. Sebab, para penguasa akan lebih memproritaskan para kerabatnya untuk turut menduduki kursi kekuasaan.
Demokrasi Menyuburkan Dinasti Politik
Bukan suatu hal yang baru dinasti politik ini terjadi pada pilkada, sebab memang di tengah sistem demokrasi kapitalis yang berasaskan sekularisme membuat para penguasa yang terpilih adalah pemguasa-penguasa yang hanya mengejar keuntungan materi dan nilai manfaat semata. Maka wajar jika kekuaasaan yang telah diraihnya ingin terus dipertahankan, dengan jalan mewariskan kekuasaan kepada sanak saudara ataupun kepada para keturunananya agar ia masih bisa eksis dalam politik dan masih bisa merasakan kenikmatan berada dalam rana kekuasaan.
Dalih bahwa penguasa yang terpilih dalam politik adalah cerminan hati rakyat dan tak ada relasi antara dinasti politik dengan tindakan korupsi, rasanya tak bisa menjadi pembenaran atas pratik pewarisan kekuasaan ini, sebab nyatanya rakyat justru seolah-olah dipaksa memilih calon pemimpin yang telah disediakan oleh partai politik, sehingga rakyat malah tak diberikan kesempatan untuk memberi saran atau memilih calon pemimpin sendiri yang dianggapnya kapabel dalam hal mengurus rakyat.
Selain itu, pengetahuan terhadap masalah pengurusan rakyat ini bukanlah suatu hal yang bisa diwarisi kepada para keturunan, tetapi pengetahuan tersebut diperoleh dari berbagai pengalaman serta wawasannya dalam politik. Maka, dapat diketahui bahwa sebenarnya praktik dinasti politik ini hanya strategi dalam demokrasi agar penguasa dapat mempertahankan kursi kekuasaanya.
Islam dan Dinasti Politik
Jika memahami Islam secara komperensif tentu dapat diketahui bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Tak hanya sebagai agama ritual, tetapi juga sebagai ideologi yang melahirkan aturan kehidupan.
Dalam Islam, proses pemilihan seorang khalifah (pemimpin) adalah suatu hal yang sangat urgen, hingga pengurusan jenazah Rasulullah saw. pun turut tertunda hanya untuk memilih seorang khalifah yang akan mengantikan kedudukan Rasulullah sebagai kepala negara.
Dalam sistem Islam, pencalonan pemimpin dilakukan dengan ketat. Pertama, calon pemimpin yang terpilih diserahkan kepada mahkamah mazalim untuk dilakukan penyeleksian. Setelah dinyatakan layak dan lolos perivikasi dari beberapa syarat yang telah ditentukan seperti muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Calon pemimpin tersebut kemudian diserahkan pada majelis umat untuk dilakukan musyawarah hingga pada akhir akan hanya ada dua calon yang terpilih yang selanjutnya diserahkan pada umat untuk melakukan pemilihan.
Dengan proses yang ketat seperti ini tentu pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang benar-benar telah teruji kecakapan, kemampuannya mengurus rakyat, serta ketaqwaannya kepada Allah swt.
Oleh karenanya, mulai dari muawwin, qadhi, wali, serta pejabat di bawah khalifah yang terlilih pun merupakan orang-orang yang bisa dijamin kemampuannya, sebab dipilih langsung oleh khalifah. Maka praktik dinasti politik tidak berlaku dalam Islam, karena hubungan dengan petahana tidak akan memberi pengaruh apa pun pada kemenangan dalam politik.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 5
Comment here