Oleh: Rayani Umma Aqila
Wacana-edukasi.com — Banyaknya persoalan perempuan pekerja yang menghinggapi saat ini, bagai penomena ‘gunung es’ yang muncul sedikit ke permukaan. Berbagai macam masalah sering kali merugikan hak-hak perempuan itu sendiri. Seperti dilansir dari The Conversation (18/3/20). Sebut saja Elitha Tri Novianty,Perempuan berusia 25 tahun yang bekerja pada perusahaan produsen es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice ini sudah berusaha mengajukan pemindahan divisi kerja karena penyakit endometriosisnya kambuh.
Tapi apa daya, perusahaan justru mengancam akan menghentikannya dari pekerjaan. Keadaan ini membuatnya tak mempunyai pilihan selain tetap bekerja untuk tetap hidup. Kasus-kasus seperti ini hanya sekian dari banyaknya pekerja perempuan yang haknya tak terpenuhi oleh tempat dimana dia bekerja. Tak hanya itu ancaman UU Sapu Jagat Cipta Kerja. Perlindungan terhadap buruh perempuan akan semakin terancam dengan rencana pemerintah untuk mengesahkan Undang Undang Cipta Kerja.
Banyak pihak mengecam aturan pemerintah. Karena investor akan leluasa menanamkan sahamnya di Indonesia dan tidak terpenuhinya hak tenaga kerja, khususnya perempuan. Jika dilihat dalam kasus di atas, masalah buruh perempuan tentu sudah menjadi hal yang seringkali terjadi. Betapa tidak, abainya peran negara dalam memenuhi rakyatnya hingga kasus-kasus serupa tak pernah ada ujungnya.
Para pegiat hak-hak buruh dan gender pun,berasumsi praktik penindasan hak pekerja perempuan merupakan akibat dari dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Posisi wanita hanya dianggap nomor dua dibawah pria dalam bekerja,sebab ada anggapan bahwa perempuan tak seharusnya untuk bekerja karena sudah menjadi tanggung jawab pria dalam mencari nafkah. Perempuan dianggap tak bisa melakukan apa yang
dilakukan oleh pria. Untuk itu ditambah persoalan kemiskinan yang mendera yang pada akhirnya wanita khususnya para Ibu, untuk keluar rumah tanpa ada batasan yang jelas. Para wanita pun lalu didorong untuk beramai-ramai bekerja di sektor publik sebagai bentuk penyetaraan hak asasi, menghapus diskriminasi, memperbaiki kondisi ekonomi dan kesejahteraan keadilan sosial, serta membuka kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan masyarakat.
Namun alih-alih mensejahterakan justru permasalahan yang diharapkan bisa menjembatani dan menyelesaikan permasalahan perempuan justru terabainya kewajiban wanita itu sendiri, kodrat sebagai ibu pun tak berfungsi yang seharusnya adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya maupun mengurus keluarganya. Di tangannyalah seharusnya terbentuk generasi yang handal harapan umat.
Tidak berfungsinya negara dalam mengurusi urusan ekonomi serta kebutuhan hidup rakyatnya baik pria ataupun khususnya bagi perempuan hingga terpaksa bekerja keras memeras keringat bekerja demi kelangsungan hidupnya. Sungguh, penerapan sistem Kapitalisme yang pada akhirnya negara gagal melindungi kaum perempuan.
Berbeda dengan Islam yang membebankan kewajiban mencari nafkah pada suami, negara memfasilitasi dengan menyediakan lapangan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sumber Daya Alam dikelola untuk kesejahteraan masyarakat.
Juga syariat Islam mengatur menetapkan adanya pembebanan hukum (hak dan kewajiban) yang berbeda bagi pria dan wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada pria, dan jika tidak ada yang menafkahi diserahkan kepada walinya untuk menafkahinya. Negara dalam hal ini sebagai peri’ayah diberikan amanah menyejahterakan rakyatnya dengan membuka lapangan kerja agar tiap orang yang mempunyai tanggungan menafkahi mampu menghidupi keluarganya. Dan tentu saja hanya dengan aturan Islam maka niscaya perempuan tak seharusnya wajib bekerja menyelisihi kodratnya.
Wallahu a’lam bishawab
Views: 50
Comment here