Oleh: Nurhikmah (Team Pena Ideologis)
Wacana-edukasi.com — Selasa, 22 Desember lalu presiden Joko Widodo telah melakukan Reshuffle kelima dengan merombak enam orang menterinya, termasuk menteri Agama. Menteri agama yang semula diduduki oleh Fachrul Razi kini telah diganti oleh Yaqut Choli Quomas yang merupakan tokoh muda dari Nahdatul Ulama (NU).
Sehari setelah pelantikan Yaqut Choli Quomas sebagai menteri Agama tepatnya pada tanggal 24 Desember lalu, Yaqut kemudian membuat kebijakan yang cukup menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat khususnya kaum muslim. Kebijakan tersebut adalah pemerintah berencana memberikan perlindungan dan hak kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah untuk memeluk kepercayaannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut memberikan peringatan atas kebijakan tersebut. Dilansir dari CNN Indonesia (26/12/2020) dijelaskan bahwa, MUI mengingatkan agar Yaqut menyadari posisinya saat ini yang bukan hanya pemimpin dari kelompok GP Anshor tetapi juga memiliki tanggung jawab sebagai menteri. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas yang meminta agar Yaqut berperilaku seperti menteri terkait ucapannya soal melindungi Ahmadiyah dan Syiah.
Tidak berselang lama, pada tanggal 25 Desember lalu, atas kontroversi yang ditimbulkan akibat rencana kebijakan tersebut, Yaqut Cholil kemudian melakukan klarifikasi yang menyatakan bahwa ia tidak bermaksud untuk memberikan perlindungan khusus kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Namun, hanya berusaha untuk memberikan hak dan perlindungan yang sama kepada setiap warga negara.
Adanya aliran kelompok Ahmadiyah dan Syiah ini memang sejak dulu sering menuai polemik di tengah masyarakat khususnya kaum muslim, sebab ajaran Ahmadiyah dan Syiah dinilai telah menyimpang dari ajaran agama Islam.
Bahkan Pada tahun 2000-an pernah terjadi konflik yang melibatkan golongan Ahmadiyah dan Syiah. Dikutip dari Ayo Cirebon.com (04/10/2019), kerusuhan tersebut bermula saat golongan Ahmadiyah mengalami banyak sekali tekanan dari kelompok mayoritas di wilayahnya. Mereka dianggap menyimpang hingga akhirnya diusir, rumah ibadah dan warga dibakar hingga aksi kekerasan lainnya. Jemaah dari Ahmadiyah dipaksa kembali ke ajaran asli dan meninggalkan ajaran lamanya.
Kelompok Ahmadiyah dan Syiah Sesat?
Pada tahun 2012 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur sebenarnya telah mengeluarkan surat Keputusan Fatwa dengan No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 bahwa aliran Syiah adalah kelompok sesat dan menyesatkan. Hal ini dijelaskan dalam surat keputusan tersebut dengan mengambil beberapa pertimbangan dan disertai oleh dalil-dalil yang mendukung.
Beberapa pertimbangan tersebut di antaranya bahwa paham Syi’ah meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an yakni disebut sebagai mushaf Fatimah, para sahabat telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah saw. kecuali tiga orang, bahkan orang yang tidak mengimani imam-imam Syi’ah dianggap telah syirik dan kafir, serta pertimbangan lainnya.
Meski kelompok Ahmadiyah dan Syiah telah dari dulu membawa polemik di tengah masyarakat, saat ini pemerintah justru berencana memberikan kesempatan kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah untuk menjalankan kepercayaannya, padahal hal ini bisa menimbulkan risiko akan lebih mudahnya mereka menyebarkan ajaran kelompoknya, yang pada akhirnya lagi-lagi akan semakin menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat khususnya masyarakat muslim.
Dalih hak asasi dan toleransi yang dijadikan alasan atas kebijakan yang diambil Menag tersebut, rasanya tidak pas jika diperuntukkan kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Sebab ajaran Ahmadiyah dan Syiah terbukti telah sesat juga menyimpang dari ajaran Islam. Padahal makna toleransi yang sebenarnya, harusnya ditujukan kepada berbagai suku ataupun agama yang berbeda bukan justru kepada ajaran yang malah menyimpang dari suatu agama tertentu.
Polemik antar golongan agama memang suatu hal yang lazim terjadi di tengah sistem demokrasi. Sebab, demokrasi yang berasakan sekularisme menafikkan adanya peran agama dalam mengatur kehidupan termasuk mengatur urusan negara. Sehingga, tak heran jika lahirnya paham atau aliran-aliran baru yang justru menyimpang sangat mudah muncul di negeri ini, sebab tolak ukur dari kebijakan yang diambil rezim bukan berdasar halal/haram tetapi berdasar kepentingan dan hawa nafsunya semata.
Hal ini berbeda jauh dengan padangan Islam. Islam adalah agama yang sangat toleran. tetapi tak seperti demokrasi, toleransi dalam Islam dimaknai sebagai sikap saling menghargai antar suku, agama, maupun bahasa kaum lain, serta memberikan hak kepada umat lain untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing tanpa mendapat gangguan.
Bahkan, T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarahwan Kristen, juga pernah memuji toleransi beragama dalam negara khilafah yang tercatat dalam bukunya “The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith” (hlm. 134), dimana dia berkata bahwa, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”
Namun, lain halnya dengan ajaran yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran lain. Islam memandang bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang haram, sehingga tak ada toleransi terhadap kelompok yang menganut ajaran sesat tersebut. Sebab, hal itu justru bisa menodai akidah dari kaum muslim.
Sehingga, negara memiliki kewajiban untuk menelaah dengan baik mana kelompok yang ajarannya telah sesat dan mana kelompok yang dalam ajarannya hanya terdapat khilafiah (perbedaan pendapat) yang masih dalam koridor yang wajar. Maka dengan itu, suatu negara yang telah menerapkan syariah Islam secara kafah tentu tak tidak akan salah dalam mengambil keputusan serta memberikan hak juga perlindungan kepada kelompok-kelompok tertentu.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 59
Comment here