Oleh: Nita Kurnia (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com — Bantuan sosial (bansos) tahap IV telah usai dilaksanakan oleh Pemprov Jabar diakhir tahun 2020 lalu. Bentuk bantuan kali ini berbeda dengan sebelumnya pada tahap I-III yang berupa sembako dan sejumlah uang, pada tahap IV bantuan diberikan berupa uang tunai dan nilainya pun lebih kecil yakni sebesar Rp100.000,- per KRTS (Keluarga Rumah Tangga Sasaran). Dana ini dimaksudkan untuk menjaga konsumsi rumah tangga bagi keluarga terdampak pandemi Covid-19.
Pada tahap ini pun, pola penyaluran bansos dirubah di mana Pemprov melibatkan perbankan untuk mempercepat penyaluran bantuan kepada warga. Namun, kendati proses pendistribusian bansos telah usai, nyatanya masih banyak warga yang belum menerima bantuan. Disebutkan, sebanyak 96.106 KTRS gagal serah (Jabar.inews.id, 01/01/21).
Hal ini terjadi karena beberapa kendala, terutama terkait kevalidan data yang dipegang aparat. Selain itu, teknis penerimaan juga ternyata menemui masalah. Warga nekat abaikan protkes dan berdesak-desakan saat pengambilan dana bantuan.
Berbagai problem yang terjadi dalam penyaluran bantuan ini tidak hanya terkait masalah teknis yang mengakibatkan kacaunya proses penerimaan bantuan serta tidak meratanya penyaluran bantuan, tetapi juga besaran nilai bantuan yang sangat jauh dari kata layak.
Namun di tengah kondisi yang sulit dan mendesak memaksa masyarakat berlaku nekat demi terpenuhinya kebutuhan. Meski harus dihadapkan pada proses birokrasi pengambilan yang sulit dan besaran nilai bantuan yang tidak seberapa, namun banyak warga yang meminta Pemprov Jabar untuk melanjutkan bansos uang di tahun 2021.
Permintaan warga ini tidaklah berlebihan jika pemerintah yang harusnya sejak awal wabah memperhatikan nasib rakyat. Selama pandemi masih berlangsung, sudah semestinya negara berkewajiban memberikan bantuan kepada setiap warganya dengan besaran nilai bantuan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan warga.
Bagi negara besar dan kaya akan sumber daya seperti Indonesia ini, tentu bukan suatu hal yang sulit untuk memberikan bantuan/menyediakan fasilitas kebutuhan yang layak bagi warganya jika seluruh potensi yang dimiliki dikelola dengan baik dan benar. Namun faktanya, seluruh kekayaan dan potensi yang dimiliki diprivatisasi dan hasilnya dijadikan barang komoditi.
Sementara, untuk memenuhi kewajiban negara dalam memberikan bantuan ketika terjadi bencana seperti ini, dana didapat dari pinjaman. Mirisnya, dana untuk bansos yang diperoleh dari hutang ini justru menjadi sasaran keserakahan pejabat publik dana bansos yang seharusnya menjadi hak sepenuhnya warga tak luput dari aktivitas korupsi pejabat negara. Alhasil rakyat hanya bisa gigit jari menerima sisa bantuan yang ada, ditambah bantuan tidak tersalurkan secara merata.
Ketidakmerataan penerimaan bantuan merupakan cerita lama. Wajar, sebab dalam sistem kapitalis, negara tidak sungguh-sungguh memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keselamatan dan kemaslahatan bukanlah prioritas bagi pemerintah. Seringkali mereka berdalih dan lempar tangan soal kevalidan data, termasuk mekanisme yang berbelit-belit dan terkesan menyulitkan tersebut lantas mereka klaim sebagai upaya untuk memastikan agar bantuan tepat sasaran. Padahal, nyatanya hal ini menjadi celah bagi para penguasa memangkas hak rakyat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya jelas karena di sistem demokrasi kapitalis, proses pengangkatan penguasa memerlukan biaya kampanye yang tidak sedikit. Hal ini yang kemudian mendorong para penguasa terpilih untuk mengembalikan modal dengan mencari celah keuntungan dari setiap kebijakan yang ada, termasuk mengambil keuntungan dari kebijakan bansos ini dengan cara korupsi.
Berbeda dengan sistem Islam. Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, tidak hanya pangan tapi seluruh kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Hal tersebut merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi negara dengan sebaik mungkin.
Terlebih kebutuhan dasar saat terjadi bencana pandemi. Mekanisme yang diberlakukan pun tidak boleh berbelit-belit yang menyebabkan penyaluran tertunda. Tidak ada syarat administrasi yang rumit, seperti menunjukkan surat tanda miskin dari desa, KTP dan sebagainya, asalkan dipastikan ia adalah warga negara yang membutuhkan, maka bantuan diberikan secara langsung.
Operasi pasar dilakukan oleh pemimpin untuk memastikan bantuan tersalurkan secara merata dan tepat sasaran. Sebab, bagi pemimpin Islam adalah sebuah kelalaian apabila ada warganya terabaikan haknya dan ini akan dipertanggungjawabkan kelak di pengadilan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta karena ia memelihara dirinya dari perbuatan itu.” (QS Adz Dzariyat:19).
Dengan sistem politik pemerintahan Islam, riayah su’unil ummah–yakni memikirkan dan mengelola semua urusan rakyat dengan azas ketakwaan kepada Allah SWT, maka wajar jika seluruh warga sejahtera dan terpenuhi haknya. Sejarah telah mencatat kegemilangan riayah su’unil ummah dengan kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, Khalifah dari Dinasti Umayyah di mana tidak ditemui warga miskin.
Demikianlah keunggulan sistem Islam yang terbukti bersungguh-sungguh dan mampu menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan masyarakat. Maka tidak ada pilihan bagi kita selain mengganti sistem saat ini dengan sistem Islam.
Wallahu a’lam bii ash-shawwab.
Views: 0
Comment here