Wacana-edukasi.com — Sungguh miris nasib rakyat yang hidup dalam cengkraman negara neoliberal. Awal tahun 2021, rakyat dihadiahi kado pahit dengan meroketnya bahan baku tahu tempe.
Tahu tempe sangat sulit ditemukan di pasar tradisional atau penjual keliling. Naiknya harga bahan baku (kedelai) impor membuat para pengrajin tahu di Bogor hingga se-Jabotabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021 (Republika.co.id, Bogor).
Secara terpisah, Sekretaris Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta, Handoko Mulyo, menyatakan ketiadaan tahu tempe di pasaran merupakan imbas dari bentuk protes terhadap kenaikan harga kedelai dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram.
“Terhitung mulai 1 hingga 3 Januari 2021, kita stop produksi. Ada sekitar 5.000 pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memproduksi tahu dan tempe, sepakat untuk mogok produksi,” katanya (Merdeka.com. Januari 2021).
Rakyat Tercekik Ilusi Negara Neoliberal
Sungguh ironis dan miris, demokrasi sukses membuat rakyat sengsara di masa pandemi. Ketahanan pangan tak mampu terjaga dengan baik. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah negara tak mampu mengelola dalam mengembangkan kedelai dengan kemandirian yang ada? Apakah rakyatnya yang memang tak memiliki potensi dalam mengelola? Padahal, ketahanan pangan dalam negara harus segera tertangani. Bila tidak segera tertangani akan berdampak luas bagi seluruh rakyat. Sebab, kenaikan harga pangan jelas akan berdampak pada keluarga, kesehatan anak, tumbuh kembangnya baik fisik maupun mental.
Meroketnya harga kedelai bila dicermati karena dampak kebijakan pasar bebas. Sehingga, ketahanan pangan negara meroket tak terarah karena ketergantungan negara dalam liberalisasi perdagangan tersebut. Kondisi ini membuat negara selalu impor. Indonesia sendiri mengharuskan untuk mengurangi subsidi. Sehingga, pengaruh impor bahan pangan pada harga, pada kemandirian bangsa.
Naik turunnya harga pangan karena besarnya jumlah impor. Ditambah lagi pemerintah dalam sistem demokrasi neoliberal abai dalam meriayah rakyat.
Inilah topeng demokrasi sebenarnya, menyampingkan peran agama dalam sebuah institusi, sehingga tidak memotivasi untuk mengelola ketahanan pangan secara mandiri dan kepentingan para kapitalis global untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan mustahil mampu diwujudkan dalam sistem demokrasi. Maka, hanya cara Islam yang mampu menghentikan ketergantungan impor dan mewujudkan kemandirian pangan.
Konsep Kemandirian Pangan dalam Islam
Ketika kita menghadapi problem kehidupan, terutama dalam penanganan ketahanan pangan dalam negara, maka harus kembali pada bagaimana Islam menyelesaikannya. Islam memiliki konsep sistem politik ekonomi yang salah satu di dalamnya adalah pengelolaan dalam pertanian, juga jaminan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat. Begitupun negara hadir sebagai penanggungjawab hajat hidup rakyat dalam menjalankan politik ekonomi baik dalam maupun luar negeri.
Seperti sabda Rasulullah saw. “Setiap kalian adalah pemimpin yang bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang penguasa yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin dan dia bertanggungjawab terhadap mereka.” (HR. Bukhari)
Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin sebagai pemimpin telah banyak memberikan teladan dalam menyejahterakan rakyatnya. Di masa paceklik dan kelaparan tahun 18 H, bulan Dzulhijah, Umar bin Khattab hanya memakan roti dan minyak hingga beliau berkata, “Akulah sejelek-jeleknya kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku dalam keadaan kelaparan.” Maka, Islam dalam aktivitasnya di dalam negeri berkewajiban mendukung para petani dengan menyediakan berbagai infrastruktur pertanian juga menerapkan hukum pertanahan dalam Islam. Sehingga, mampu menjamin sistem pertanian di kalangan yang mampu dan ahli di bidangnya. Tidak ada lahan nganggur dan tidak ada penguasaan lahan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab begitu pula dalam muamalah dalam pasar.
Tidak ketinggalan negara juga akan menghilangkan korporasi dan akan menegakkan syariat Islam secara mandiri. Tentunya semua itu hanya mampu diwujudkan dalam institusi Islam bukan institusi negara neoliberal demokrasi.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 11
Comment here