Oleh: Atika Rahmah (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com — Duka mendalam menyelimuti kaum muslim. Seorang ulama pewaris nabi, kembali dipanggil menghadap Allah Swt. Padahal umat masih sangat membutuhkan beliau. Apalagi di tengah kondisi Islam dan kaum muslim sering dijadikan “bulan-bulanan” akhir-akhir ini, kembali kehilangan ulama tentu sangat menyakitkan.
Belum hilang dari ingatan, bagaimana narasi demi narasi menyudutkan Islam terus saja dikumandangkan. Mulai dari wacana good looking dan hafiz Qur’an sebagai agen radikalisme, cadar dan celana cingkrang dipermasalahkan, jihad dan khilafah hanya dianggap sebagai sejarah, arahan konstitusi di atas kitab suci, hingga kalimat kontroversi Menag yang baru, agama hanya dibatasi sebagai inspirasi tak boleh sebagai aspirasi.
Mengelus dada dan menarik napas panjang. Di saat kaum muslim harus benar-benar dijaga dari gempuran ghazwul fikr dan arus moderasi Islam, seorang pejuang agama Allah kembali pada pemiliknya.
Menangislah wahai kaum muslim, sungguh Allah sedang mencabut ilmu dari tengah-tengah kita dengan wafatnya ulama. Sebagaimana sabda Nabi saw.
“Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu akan berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari)
Sungguh berat dan menakutkan kondisi hidup tanpa ulama. Kita akan kehilangan petunjuk jalan. Jalan ketakwaan akan tertutup semak belukar, sementara jalan kesesatan terlihat jelas dan bebas hambatan. Ya Rabbi … kami berlindung kepada-Mu dari kondisi yang demikian.
Namun, ada kondisi lain yang tak boleh luput dari pandangan kita. Kondisi saat kita meninggalkan para ulama, jauh sebelum para ulama meninggal (wafat). Saat dimana ulama masih hidup bersama kita, tetapi kita abai menjadikannya sebagai rujukan.
Dalam sebuah riwayat disebutkan: Pada saat haji Wada‘, Rasulullah saw. berada di depan orang-orang dengan membonceng Al-Fadhl bin Abbas di atas satu unta yang berwarna putih agak gelap. Beliau bersabda, “Wahai manusia, tuntutlah ilmu sebelum ilmu tersebut dicabut dan diangkat!”
Maka, ada seorang badui Arab menyela sabda beliau, “Wahai Nabi Allah, bagaimana mungkin ilmu itu diangkat, sedangkan di sisi kami terdapat lembar-lembar catatan dan kami pun telah mengajarkan kepada istri-istri kami, anak-anak kami, dan bahkan para pembantu kami?”
Maka Rasulullah saw. menengadahkan mukanya ke atas dan terlihat dari rona mukanya yang memerah, pertanda beliau sedang marah. Kemudian beliau bersabda,
“Duh, celaka kamu ini. Lihatlah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, bukankah di sisi mereka juga terdapat lembar-lembar catatan, namun demikian tak ada satu huruf pun di antara catatan tersebut yang hinggap di hati mereka dari apa yang telah diajarkan oleh nabi-nabi mereka. Ingatlah, sungguh, hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya orang yang memilikinya (beliau mengatakan hal ini sebanyak 3 kali).” (HR. Ahmad)
Mahabenar Allah yang telah mengutus rasul-Nya yang mulia. Bisa kita saksikan apa yang Rasulullah saw. gambarkan dalam hadis di atas terjadi saat ini. Dalam ranah individu, terdapat segelintir kaum Muslim yang mulai menggantikan peran ulama dengan smartphone yang ada di dalam genggaman tangannya.
Telah merasa berpuas diri dan mencukupkan diri dengan lembaran-lembaran catatan (di masa lalu) dan situs-situs religi (di masa sekarang). Kakinya enggan melangkah untuk mendatangi para ulama, bertemu langsung, dan menyelami setiap tetesan ilmu darinya.
Akibatnya, semakin menjamur orang-orang yang sok pintar, tetapi hakikatnya bodoh. Sering mengajak debat kusir dan men-judge orang lain sesat dengan bersandar pada keminiman ilmu yang dimiliki. Diperparah lagi jika belajarnya hanya dengan membaca artikel yang tak utuh dan menonton video yang dipotong-potong.
Padahal para ulama telah mencontohkan, untuk menuntut ilmu mensyaratkan talaqqi dan mulazamah. Talaqqi artinya terjadi pertemuan antara guru dan murid, serta terjadi proses memahamkan. Sementara mulazamah bermakna menyertai sang guru.
Sementara dalam ranah umum yakni kehidupan bermasyarakat dan bernegara, telah nyata bahwa “lembaran-lembaran” Al-Qur’an serta catatan para ulama sama sekali tak membekas. Tak pernah dijadikan rujukan saat menentukan aturan di tengah-tengah masyarakat. Para penguasa lebih memilih merujuk pada hukum-hukum kufur buatan kafir penjajah yang sudah jelas kebatilannya. Sistem pemerintahan demokrasi lebih dipilih dibanding sistem pemerintahan Islam, khilafah.
Semoga dengan kepergian seorang ulama ini, membuat kita semakin merapatkan diri di setiap taman-taman surga (majelis-majelis ilmu). Memburu ilmu di mana pun dan kapanpun. Terus bersabar, bersemangat dan istiqomah mengarungi samudra ilmu Allah yang tak bertepi.
Tidak lupa, mengambil bagian dalam perjuangan penyadaran umat. Tak pernah bosan untuk mengingatkan dan mengarahkan mereka agar tak “meninggalkan” ulama.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 32
Comment here