Opini

Benarkah Islam Itu Intoleransi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sri Ramadhani (Aktivis Dakwah dan Member AMK)

Wacana-edukasi.com — Aturan penggunaan kerudung di SMKN 2 Padang menuai pro-kontra. Kasus yang sedang viral ini menimbulkan banyak reaksi dari warganet hingga pihak pemerintah. Tak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya kasus ini umat pada akhirnya bisa melihat kemana sebenarnya rezim di negeri ini berpihak.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan, pihaknya sangat prihatin dan menyayangkan adanya intoleransi di beberapa sekolah negeri. Bahkan menurutnya jelas melanggar HAM.
(kompas.com, 24/1/2021).

Rusmadi (Kepala Sekolah SMK 2 Negeri Padang) menekankan aturan berpakaian sudah ada sejak lama, jauh sebelum SMA-SMK di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Provinsi. Prinsipnya itu adalah proses menjelaskan aturan berpakaian. Kami tidak mewajibkan siswi nonmuslim menggunakan kerudung seperti informasi yang viral di media sosial. Tidak ada paksaan,” katanya.
Meski begitu, Rusmadi menyampaikan permohonan maaf atas keteledoran dan kesalahan jajarannya di Bidang Kesiswaan dan Bimbingan Konseling karena adanya ancaman dari Menteri Pendidikan Nadiem Makarim yang menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memaklumi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam hal intoleransi. Menurutnya, peristiwa yang terjadi di SMKN 2 Padang beberapa waktu lalu adalah bentuk tindakan intoleransi. Nadiem pun meminta pemerintah daerah untuk memberikan sanksi tegas kepada sekolah tersebut. Dan Kemendikbud dalam waktu dekat akan mengeluarkan Surat Edaran dan membuka hotline khusus pengaduan terkait toleransi. Hal demikian dilakukan untuk menghindari terulangnya pelanggaran serupa. (Republika.co.id, 25/1/2021)

Di sisi lain, siswi nonmuslim (EAZ) mengaku bahwa ia menggunakan kerudung bukan karena paksaan tetapi karena keinginannya sendiri. Menurut EAZ, memakai pakaian rok panjang, baju kurung, dan memakai kerudung sama sekali tidak memengaruhi imannya sebagai seorang pemeluk Protestan. (kompas.com, 25/1/2021).

Viralnya pemberitaan protes orang tua murid di SMKN 2 Padang yang merasa anaknya dipaksa untuk memakai kerudung telah menegaskan adanya pihak tertentu yang sengaja menggiring opini ini pada satu hal, yaitu intoleransi. Sungguh cepat respons Pak Menteri untuk masalah ini. Berbeda dengan keluhan siswa mengenai buruknya pengelolaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dari sarana dan prasarananya yang tak memadai hingga kebijakannya yang dianggap tak menyentuh esensi persoalan pendidikan bangsa. Semua ini lambat ditangani, terus menumpuk hingga membusuk.
Padahal pada realitasnya, di SMKN 2 Padang sendiri banyak siswi nonmuslim yang tidak pernah mempermasalahkan aturan berseragam di sekolah tersebut. Peristiwa ini seolah menjadi momen tepat bagi para pembela HAM yang selalu lantang meneriakkan kebebasan. Bentuknya adalah kebebasan dari aturan syariat Islam. Sikap mereka berbeda ketika ada siswi muslimah di daerah minoritas muslim yang dipaksa melepaskan jilbab, atau karyawati muslimah yang dipaksa mengenakan baju Santa Claus di hari Natal. Inikah yang dinamakan keadilan?

Terlebih, jika berbicara intoleransi dan pelanggaran HAM, mengapa selalu saja syariat Islam yang diserang? Seakan-akan Islam itu agama intoleransi, agama pemaksaan.
Padahal, Di Bali sendiri, terdapat sekolah-sekolah yang melarang siswa muslimahnya memakai hijab, mengapa tidak direspon oleh pemerintah? Dari sini kita melihat bahwasanya pemerintah dan sebagian besar rakyat di negeri yang memperjuangkan kebebasan (Liberalisme) atas nama HAM sama sekali tidak berpihak pada syariat Islam. Ketika ada non muslim yang dipaksa memakai hijab respon mereka marah dan memberi ancaman kepada pelakunya. Sedangkan bila ada muslim yang dipaksa melepas hijab respon mereka biasa saja bahkan diam seribu bahasa. Sungguh mengherankan.

Inilah sikap berlaku lembut kepada yang bukan muslim, tetapi keras dan cuek terhadap sesama muslim. Sejatinya, sekularisme-paham pemisahan agama dari kehidupan-ini telah membuat banyak korban ghozwul fikr dari kaum muslim. Kita bisa melihat bagaimana sistem buatan manusia mengendalikan manusia dan negara. Walhasil, syariat Islam dicampakkan.
Padahal, siapapun tidak boleh memaksa seorang muslimah untuk melepas hijabnya, apalagi membuat aturan dengan memberi kebebasan kepada para muslimah agar mau berhijab atau tidak itu pilihan anda. Sebab di tengah badai arus liberalisasi remaja, baik dalam cara berpakaian dan cara hidup, remaja membutuhkan suasana yang kondusif agar bisa terhindar dari kerusakan moral dan kehancuran generasi. Ketentuan menutup aurat di kehidupan umum, termasuk di sekolah, menjadi sarana efektif untuk mengarahkan remaja muslimah agar terikat dengan hukum syara di mana pun ia berada, juga untuk mewujudkan generasi yang baik bagi masyarakat secara umum.

Namun sangat disayangkan, upaya penyelamatan generasi ini terbentur dengan cara pandang liberal yang mengatasnamakan toleransi dan HAM. Inilah konsekuensi hidup dalam masyarakat yang tidak bersandar pada Ideologi Islam.
Dalam sistem Islam, hukum syariat yang umum (termasuk pakaian) memang berlaku untuk semua warga. Dipraktikkan karena kerelaan maupun dorongan sistem. Sedangkan pakaian khusus agamawan dibolehkan.

Islam adalah agama yang sangat toleran. Makna toleransi dalam Islam tentu bukan dengan mencampuradukkan ajarannya. Tapi dengan saling menghormati dan tidak saling memaksakan atas akidahnya.

Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 256 yang artinya:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.” 

Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, maka penerapannya secara kafah akan memberi maslahat bagi seluruh umat manusia dan juga seisi bumi.

Maka dari itu, negara Islam khilafah memberlakukan syariat Islam bagi seluruh warga, baik muslim ataupun nonmuslim. Nonmuslim (ahli dzimmah) akan dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah perlindungan negara. Pun terkait makanan, pakaian, dan minuman, diperbolehkan sesuai agama mereka, sebatas yang dibolehkan syariat. Misalnya, pakaian agamawan mereka seperti yang dipakai rahib dan pendeta, boleh dipakai. Selain itu, dalam kehidupan umum, seluruh wanita baik muslimah ataupun bukan, wajib menutup auratnya.

Pada masa khilafah, setiap warga negara mendapatkan hak yang sama, tanpa membedakan ras, warna kulit, agama, dan lainnya. Baik dalam perkara hukum, peradilan, jaminan kebutuhan hidup, dll. Perlakuan Islam yang adil ini menjadikan seluruh warganya menaati peraturan dengan sukarela. Fakta sejarah membuktikan, sepanjang masa kekhilafahan, para wanita, baik muslim maupun nonmuslim, mereka menggunakan pakaian muslimah, yakni jilbab dan kerudung. Sungguh indah kehidupan beragama dalam naungan khilafah. Hidup berdampingan tanpa harus mencampuradukkan kepercayaan.

Maka, jika kita menginginkan generasi memahami Islam secara kafah dan terhindar dari budaya liberal yang lahir dari sistem negara yang sekuler, urgen bagi kita untuk segera menerapkan syariat Islam secara kaffah agar kehidupan umat manusia menjadi berkah.

Wallahu a’lam bisshhawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 33

Comment here