Oleh: Emmy Emmalya (Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com — Akhir-akhir ini di kota Bogor sedang digandrungi kegemaran untuk menanam tanaman hias. Diantaranya janda bolong, Monstera Marmorata, Philodendron dan kabel busi Bilitae.
Semua tanaman hias itu bernilai fantastis dan tak realistis. Harga dari tanaman itu bisa mencapai ratusan juta rupiah. Orang yang mengincar tanaman ini tidak sekadar hobi tapi juga prestise.
Popularitas tanaman hias memang tak main-main. Salah seorang warga Bogor, Deni sampai rela menukar satu unit mobil pribadinya dengan tanaman hias di Pasar Tanaman Hias, Jungle Fest.
Mobil jenis Honda Brio keluaran tahun 2019 itu dibarter dengan delapan jenis tanaman hias yang dimiliki Sutisna. Empat diantaranya merupakan Janda bolong varigata (Monstera adansonii varigata). Jika ditotal, nilai barter tanaman hias itu mencapai angka Rp150 juta. (Radar bogor, 20/01/21).
Kejadian ini persis seperti tanaman Anthurium (gelombang cinta) yang pernah jadi tren pada kurun waktu 2006 hingga 2008 lalu, orang berburu tanaman ini menjadi koleksi.
Begitu juga dengan tren batu akik pada 2014-2015. Kedua tren ini kemudian langsung anjlok dan tidak laku lagi di pasaran. Setelah itu masyarakat mengalami kerugian besar-besaran.
Ketenaran tanaman hias tersebut sebenarnya berawal dari rekayasa pasar oleh pihak tertentu yang didukung tren viral media sosial, seakan-akan tanaman tersebut banyak dibanjiri permintaan, sehingga harga tanaman ini menjadi melambung tinggi. Efeknya, masyarakat berlomba-lomba untuk menjadi produsen tanaman tersebut dengan harapan mendapatkan keuntungan yang fantastis bahkan di luar kewajaran. Yang terjadi selanjutnya adalah banyaknya penawaran di masyarakat disaat barang tersebut tidak lagi dianggap istimewa, akibatnya ekonomi masyarakat terpuruk karena ulah para spekulan yang bermain di awal.
Memiliki hobi tidak dilarang. Akan tetapi, jangan sampai karena hobi, kita mau dipermainkan oleh para spekulan nakal yang memanfaatkan situasi karena ingin meraup keuntungan yang besar. Inilah bukti bahwa sistem kapitalis sudah mengakar pada pemikiran masyarakat. Sistem kapitalis telah merubah cara berfikir masyarakat yaitu berpikir ingin cepat kaya dengan cara instan. Dalam sistem kapitalis nilai suatu barang itu tergantung pada kegunaannya dalam memenuhi kebutuhan. Kebutuhan menurut kacamata ekonomi kapitalis itu identik dengan keinginan.
Dengan demikian, barang yang memiliki kegunaan (utility), menurut kapitalis adalah segala sesuatu yang diinginkan baik yang bersifat primer atau non primer, maupun yang dianggap oleh sebagian orang memberi kepuasan sedangkan menurut sebagian yang lain tidak bahkan membahayakan.(Nidzom Iqthishody, Taqiyuddin An-Nabhani, hal. 17).
Artinya, sesuatu itu menurut kacamata ekonomi Kapitalis tetap dianggap memiliki nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Dengan kata lain, mereka memandang kebutuhan dan kegunaan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana mestinya.
Sementara itu, sistem ekonomi kapitalis menganggap nilai suatu yang nisbi (relatif) bukan hakiki (riil). Oleh karena itu, para pakar ekonomi kapitalis tidak pernah memperhatikan apa yang semestinya harus dijadikan pijakan oleh masyarakat. Sebaliknya, mereka hanya memperhatikan benda-benda ekonomi dari segi apakah bisa memuaskan kebutuhan atau tidak. Sehingga keinginan ini bisa direkayasa oleh para spekulan nakal seakan-akan suatu barang itu dibutuhkan oleh masyarakat karena bernilai tinggi, padahal pada hakekatnya barang yang di viralkan itu tidak memiliki kegunaan hakiki bagi masyarakat.
Berbeda dengan Islam, praktek spekulan jelas tidak dibenarkan. Karena Islam memandang bahwa nilai barang itu didasarkan pada nilai guna hakikinya bukan karena nilai prestis alias menilai sesuatu diluar nilai kewajaran. Artinya, ketika suatu barang itu bernilai guna maka akan dihargai sesuai dengan kegunaan hakikinya bukan karena rekayasa pasar. Sehingga, dengan mendudukkan nilai suatu barang sesuai dengan manfaat hakiki barang tersebut maka perekonomian masyarakat akan berjalan secara alami menyesuaikan dengan keberadaan barang tersebut di pasaran.
Selain itu perilaku untuk membeli tanaman hias dengan tujuan untuk kebanggaan karena telah memiliki tanaman yang sedang tren saat itu juga dilarang dalam Islam, sebagaimana dalam buku fikih ekonomi Umar Radhiyallahu ‘Anhu ( karya DR. Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, hal.175), yang membahas tentang larangan konsumsi lahiriah.
Konsumsi lahiriah adalah konsumsi barang-barang yang memenuhi hasrat kebanggaan pribadi. Artinya, bahwa pemenuhan yang didapatkan konsumen dari barang-barang tersebut tidak berdasarkan sisi kemanfaatannya, namun dari kemampuannya menarik perhatian orang lain kepadanya. Hal ini juga berlaku untuk prilaku masyarakat hari ini yang mengoleksi tanaman janda bolong hanya untuk mendapatkan prestise saja, sehingga menyebabkan semakin meluasnya jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin.
Dengan uraian tersebut maka seorang muslim tidak diperkenankan untuk berprilaku konsumtif dan memandang pada barang berdasarkan hawa nafsu semata tanpa memandang manfaat hakiki barang yang dikonsumsinya. Jangan sampai hanya karena ingin mendapatkan pujian karena telah memiliki barang yang sedang menjadi tren saat ini hingga tidak memperhatikan maanfaat dari barang tersebut.
Maka lebih baik dalam kondisi pandemi saat ini dimana banyak masyarakat yang kesusahan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harta yang kita miliki bisa kita infakkan untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan. Wallahu’alam bishowab
Views: 21
Comment here