Oleh: Novita Fauziyah
Wacana-edukasi.com — Isu toleransi agaknya terus mengemuka. Saat perayaan hari besar agama maupun yang berkaitan dengan simbol-simbol agama. Bersamaan dengan itu, muncul pula gema kebebasan beragama juga hak asasi manusia. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa darurat toleransi masih terjadi di negeri kita.
Terbaru adalah kasus jilbab di SMKN 2 Padang. Bermula dari unggahan video di Faceboook oleh salah seorang wali murid yang tak terima anaknya dipanggil pihak sekolah lantaran tak mengenakan jilbab, kasusnya terus berlanjut hingga mengundang respons berbagai pihak. Sekolah pun sudah menyampaikan bahwa tak ada paksaan dalam menggunakan jilbab dan sudah meminta maaf terkati hal ini.
Namun, rupanya kasus ini berbuntut pada dikeluarkannya Surat Keputuasan Bersama (SKB) 3 Menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, serta Menteri Dalam Negeri tentang seragam sekolah. SKB 3 Menteri tersebut mengatur penggunaan seragam dan atribut di lingkungan sekolah. Bahkan ada pihak yang menilai bahwa SKB tersebut tidak cukup untuk menghentikan praktik intoleran di sekolah. Padahal diketahui bahwa aturan penggunaan seragam di Padang adalah aturan lama, sudah 15 tahun berjalan. Bahkan siswa nonmuslim lain tidak merasa keberataan dan tidak merasa dipaksa untuk mengenakan seragam tersebut.
Kejadian ini kembali mengingatkan kita pada peristiwa larangan siswi muslimah memakai jilbab di Bali tahun 2104 silam. Siswi tersebut dilarang menggunakan jilbab saat kegiatan belajar mengajar. Ketika siswi yang berjilbab menolak larangan tersebut dan bersikeras untuk tetap menggunakannya, justru ia harus dihadapkan pada dua pilihan pahit, yakni melepasnya atau pindah dari sekolah.
Kasus jilbab SMKN 2 Padang makin menguatkan tendensi intoleransi hanya dialamatkan kepada umat Islam. Ketika pelakunya nonmuslim justru harus menjunjung tinggi toleransi. Islam selalu menjadi korban dan dituduh intoleran. Kita juga tentu ingat berbagai peristiwa penyerangan terhadap ulama maupun masjid-masjid. Selalu berakhir begitu saja dan pelakunya dicap mengalami ganggun jiwa, bahkan ada yang diundang ke istana. Inikah negeri yang katanya mayoritas Islam?
Sistem demokrasi yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan kebebasan beragama hanyalah ilusi. Dikeluarkannya aturan berbusana yang sebenarnya ditujukkan kepada Islam sungguh menyayat hati. Kebebasan untuk menjalankan aturan agama (Islam) justru dikekang dan dituduh intoleran. Negara yang mestinya menjadi penyeimbang justru bersikap berat sebelah. Penegakkan hukum yang cenderung memihak serta berbagai aturan yang dikeluarkan makin menambah runyam masalah.
Islam sejatinya adalah agama yang mengajarkan toleransi. Toleransi yang dimaksud adalah menghormati dan tetap membiarkan pemeluk agama lain untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan. Toleransi juga bermakna tidak memaksa umat lain memeluk Islam. Toleransi bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama atau menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam.
Praktik toleransi sudah diterapkan sejak 13 abad yang lalu. Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat di Madinah dengan institusi daulah Islam yang menunjukkan praktik kerukunan antar umat beragama yang indah. Di sana umat Islam, Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik dapat hidup berdampingan. Mereka yang bukan Islam memiliki sikap ketundukan kepada daulah dan dapat beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Perlindungan daulah pun begitu besar terhadap mereka, diperlakukan sama dengan umat Islam dan tanpa ada paksaan sedikit pun untuk masuk Islam. Mereka disebut sebagai kafir zimmi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kedudukan kafir dzimmi melalui sabda berikut. “Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang hak, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR Ahmad)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa menyakiti zimmi maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat.” (al-Jâmi’ al-Shaghîr, hadis hasan)
Sungguh, kerukunan antar umat beragama akan benar-benar tercipta manakala negara menerapkan sistem Islam dalam kehidupan sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika syariat Islam diterakan akan ada kemaslahatan, insyaallah.
Views: 29
Comment here