Opini

Bencana Alam akibat Pembangunan Eksploitatif

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Esa Nurlaela (Santri SMA Khoiru Ummah Sumedang)

Wacana-edukasi.com — Waktu terus berjalan, peristiwa demi peristiwa telah banyak terlewati. Begitupun dengan negeri ini. Negeri zamrud khatulistiwa dengan seribu satu pulau berjajar, kekayaan alam yang melimpah, dan susana gemah ripah loh jinawi. Tanah air kita, indonesia tercinta.

Namun sayangnya, berbagai peristiwa bencana telah melanda beberapa daerah di Indonesia. Sejak awal tahun 2020 kemarin hingga awal tahun 2021 ini kita senantiasa masih terus disambut dengan berita duka. Mulai dari pandemi covid yang belum usai juga bencana bencana lainnya. Longsor di Sumedang pada Sabtu (9/1) mengakibatkan 38 meninggal, 29 rumah rusak, dan ribuan orang mengungsi. Di Mamuju terjadi gempa bumi dengan 6.2 magnetudo pada Kamis (14/1). Gunung Semeru di Jawa Timur mengeluarkan Awan Panas Guguran (APG) dengan jarak luncur kurang lebih 4.5 kilometer pada Sabtu (16/1)(CNNindonesia.com, 2021).

Seperti yang diberitakan juga, telah terjadi banjir yang merendam sejumlah daerah di Kalimantan Selatan. Banjir setinggi 2-3 meter itu menenggelamkan beberapa rumah warga, setidaknya sebanyak 1.500 rumah. Hujan deras yang merata diduga menjadi penyebab langsung terjadinya bencana banjir. Akan tetapi, benarkah demikian?

Hujan deras bukanlah satu satunya faktor penyebab terjadinya banjir, tapi masifnya pembukaan lahan hutan secara terus menerus yang diubah menjadi lahan perkebunan sawit ataupun tambang perusahaan swasta.

“Bencana semacam ini terjadi akibat akumulasi dari bukaan lahan tersebut. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit,” ujar M. Jefri Raharja selaku staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel (Kompas.com, 2021). Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit (Kompas.com, 2021).

Berbeda halnya dengan Islam. Perhutanan, pertambangan, perkebunan, bahkan perairan semuanya diatur dengan sempurna. Islam sangat mementingkan kesejahteraan rakyatnya. Serta mengatur bagaimana mengelola hutan dan menjaganya. Rasulullah saw. bersabda,” Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Kekayaan alam yang ada adalah milik seluruh rakyat. Tidak boleh dimiliki individu-individu yang memiliki kepentingan pribadi. Bahkan, negara pun hanya berhak mengelolanya untuk kemaslahatan rakyat. Islam berlaku tegas terhadap para pelanggar aturan. Seperti membuka lahan tanpa izin, mencuri hasil hutan, merusak lingkungan dan semacamnya. Maka akan dikenakan sanksi.

Islam dengan peraturannya, bersumber dari pencipta manusia yaitu Allah Swt. yang sudah pasti bisa menyelesaikan seluruh problematika umat secara sempurna. Karena hanya Sang Pembuat Peraturan sajalah yang mengetahui betul kebutuhan ciptaannya, yaitu manusia dan alam semesta. Dengan demikian, Allah telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang orang yang beriman. Dan menjadikan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 26

Comment here