Oleh: Luthfia Syifa Agnia
Wacana-edukasi.com — Selama masa pandemi covid-19 ini, peserta didik di Indonesia melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan telah terhitung 10 bulan lamanya. PJJ dilakukan dengan alasan untuk mencegah penyebaran virus corona di lingkungan sekolah. Untuk kelancaran pelaksanaan PJJ, Kemendikbud mengeluarkan kurikulum darurat yang harus diterapkan oleh sekolah begitupun dengan Kemenag yang menaungi jenjang pendidikan madrasah dari RA sampai MA.
Kurikulum darurat yang dikeluarkan Kemendikbud dan Kemenag memiliki ciri khasnya masing-masing. Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 719/P/2020 dijelaskan bahwa kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional sehingga terjadi pengurangan kompetensi dasar yang harus dicapai peserta didik. Guru hanya berfokus untuk mengajarkan kompetensi yang esensial dan kompetensi prasarat untuk melanjutkan kejenjang selanjutnya (07/08).
Dari sini terlihat bahwa kurikulum darurat Kemendikbud hanya berfokus pada penuntasan kompetensi belaka sehingga bagi peserta didik sekolah hanya sekadar belajar untuk naik kelas, lulus, dan dapat bekerja. Atau dengan kata lain hanya untuk menciptakan manusia kapitalis yang notabenenya hanya mencari keuntungan materi, maka sekolah akan menciptakan lulusan yang siap kerja.
Kurikulum darurat yang diterapkan Kemenag didasarkan pada dampak ganguan psikososial dari PJJ. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2791 tahun 2020 dijelaskan bahwa PJJ ditekankan pada pengembangan karakter, akhlak mulia, ubudiyah, kemandirian, dan kesalehan sosial lainnya. Kompetensi dasar bukanlah tuntutan utama dalam mengajar. Hal ini menunjukan seakan-akan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hal yang penting untuk dipelajari peserta didik.
Pada faktanya kedua kurikulum ini tidak berjalan dengan baik, terbukti dengan dampak learning loss atau berkurangnya pengetahuan dan keterampilan akademis yang terjadi saat ini. Tercatat 20% sekolah secara nasional menyatakan peserta didiknya mengalami learning loss (medcom.id, 21/01).
Dampak ini telah disadari sendiri oleh Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat keputusan PJJ dan kurikulum darurat ini ditetapkan. Sekertasis jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, menyatakan bahwa learning loss terjadi karena penerapan kurikulum darurat, seperti yang seharusnya tiga kurikulum menjadi dua kurikulum (detiknews, 03/02).
Dari sini, dapat terlihat bahwa baik kurikulum darurat Kemendikbud ataupun Kemenag telah gagal mengantisipasi learning loss yang terjadi karena kedua kurikulum ini merupakan kurikulum kapitalisme-sekularisme yang berasaskan pemisahan agama dari kehidupan. Dengan kata lain, saat kita ingin mengejar ilmu pengetahuan dan teknologi cukuplah dengan bersekolah yang menerapkan kurikulum Kemendikbud dan saat kita ingin mengejar ilmu agama cukuplah kita bersekolah yang menerapkan kurikulum Kemenag. Maka tidak aneh apabila banyak generasi yang lahir saat ini merupakan generasi yang hanya memikirkan dunia semata dan berlomba mengejar materi sebanyak-banyaknya.
Sejatinya kurikulum digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan tujuan pendidikan dalam Islam bukan hanya membentuk generasi yang siap bersaing di dunia kerja saja, tetapi menciptakan genarasi yang memiliki kepribadian dan pola pikir Islam serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga kurikulum dalam Islam tidak akan mengotak-ngotakan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama karena semua ilmu yang dipelajari didasarkan pada akidah Islam. Adapun kurikulum Islam terdiri dari tiga komponen, yakni 1) Pembentukan Kepribadian Islam, 2) penguasaan tsaqofah, dan 3) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka akan terciptalah genarasi yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Sudah saatnya kita berpaling dari kurikulum kapitalisme-sekularisme menuju kurikulum Islam sebagai solusi dari berbagai permasalahan.
Views: 19
Comment here