Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)
Keberadaan ulama perempuan tengah mendapat sorotan. Badan Pengelola Masjid Istiqlal akan mengadakan pendidikan kader ulama perempuan sebagai tindak lanjut nota kesepahaman dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) (antaranews,19/2/2021).
Kerjasama yang dijalin antara pihak Masjid Istiqlal dengan KPPA dilakukan langsung oleh menteri PPPA dan Imam Besar Masjid Istiqlal pada 19 Februari 2021 (kompas.com,19/2/2021). Kedua belah pihak berharap melalui kerjasama ini akan terwujud pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berbasis masjid (ihram.co.id,19/2/2021).
Ulama perempuan diyakini memiliki peran strategis dalam menghilangkan bias gender. Melalui para ulama ini diharapkan tak ada lagi problematika yang muncul terkait perempuan. Nasib perempuan akan menjadi lebih baik, jauh dari diskriminasi dan intimidasi pihak manapun. Adanya pandangan bias gender seringkali menjadi penghambat kemajuan perempuan. Karena itu melalui nota kesepahaman ini para ulama perempuan dapat mengambil bagian sebagai garda terdepan menyuarakan kesetaraan gender. Tentu saja upaya yang akan dilakukan oleh para ulama perempuan ini selaras dengan konsep gender yang dibawa oleh KPPA.
Posisi ulama perempuan menjadi sangat krusial sebab potensi keislaman mereka. Komposisi penduduk negeri ini yang mayoritas Muslim telah memungkinkan para pendakwah Islam memiliki akses dalam memengaruhi pola pikir kaum Muslimin. Jika diibaratkan setiap ulama, terlebih perempuan, menyuarakan penghapusan bias gender, maka akan sangat besar pengaruh yang dihasilkan. Marjinalisasi terhadap perempuan akan minim terjadi dan akhirnya tercipta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Inilah hakikat kesetaraan yang disuarakan oleh para pegiat gender. Kini para pegiat gender mendaulat ulama perempuan untuk menjadi perpanjangan tangan mereka.
Peran perempuan sangat besar dalam pembentukan keluarga ideal. Idealitas yang dimaksud oleh para pengusung kesetaraan gender adalah yang mampu mendudukkan peran perempuan sama seperti halnya laki-laki. Melalui para ulama perempuan diharapkan akan semakin banyak perempuan yang sadar akan kepentingan konsep kesetaraan gender. Alhasil, akan makin bertambah jumlah keluarga yang memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan menolak bias gender. Pada kondisi ini peran ulama perempuan dipandang telah berhasil.
Permasalahan perempuan tidak terkait samasekali dengan adanya bias gender. Pandangan bahwa perempuan adalah kaum yang termarjinalkan adalah hasil dari pandangan sistem yang saat ini sedang diterapkan terkait perempuan. Dalam sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan masyarakat dipenuhi sendiri oleh individu rakyat. Negara berlepas tangan dalam hal menjamin pemenuhan ini. Fungsi negara sebatas sebagai regulator sekaligus fasilitator yang mengakomodir kebutuhan para kapitalis. Sehingga sangat wajar jika setiap individu rakyat harus berjibaku untuk dapat tetap terpenuhi hajatnya, termasuk para perempuan.
Perempuan dianggap berdaya ketika menghasilkan nilai secara ekonomi. Pemberdayaan perempuan semacam ini telah mengalihkan mereka dari fitrahnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Perempuan tak terelakkan ikut menjadi tulang punggung keluarga, di sisi lain negara abai dalam mengurusi kebutuhan keluarga mereka. Di sisi lain pengaturan interaksi di masyarakat cenderung liberal dengan mengedepankan kebebasan berperilaku. Jadilah para perempuan objek eksploitasi kapitalis dan seolah terpinggirkan.
Keberadaan keluarga yang ideal juga bukan penentu tunggal perbaikan kondisi perempuan di masyarakat. Keluarga hanyalah bagian dari penerapan aturan yang dterapkan di tengah masyarakat. Baiknya peraturan akan membentuk masyarakat yang baik. Sebaliknya, buruknya peraturan yang melahirkan masyarakat yang rusak. Tentu standar baik dan buruk dalam hal ini dikembalikan kepada standar Islam. Tidak cukup kita mengandalkan keberadaan keluarga sebagai penentu perbaikan kualitas masyarakat kecuali setelah memastikan baiknya peraturan yang diterapkan.
Eksistensi perempuan dan keluarga merupakan bagian penerapan sistem yang dilakukan oleh negara. Di dalam Islam, terdapat mekanisme yang jelas tentang bagaimana bentuk riayah atau pengurusan negara terhadap rakyat. Dalam pandangan syariat Islam, penguasa adalah raa’in atau penagggungjawab, sebagaimana hadits Nabi Saw, ”Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pegurusan rakyatnya,”(HR Bukhari). Pengurusan yang dilakukan oleh negara mencakup seluruh rakyat, tidak hanya yang laki-laki namun juga perempuan.
Negara Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah akan menjaga keberlangsungan hidup manusia. Sekali lagi bukan hanya bagi para lelaki tetapi juga bagi perempuan. Khilafah akan menerapkan sistem Islam secara integral sehingga mampu menciptakan keluarga yang ideal. Idealisme keluarga muncul semata karena mereka menjadikan asas interaksinya bersumber dari syariat Islam. Maka keluarga yang hadir di tengah masyarakat adalah keluarga yang tidak sebatas baik dalam individu saja namun juga mengaruskan perbaikan di tengah masyarakat.
Syariat Islam mengurai seluruh problematika hidup manusia. Masalah perempuan tentu tidak dapat dipisahkan dari pengaturan hidup yang diadopsi di masyarakat. Sistem kapitalisme terbukti telah mencerabut fitrah manusia dari akarnya sehingga yang muncul hanyalah kerusakan. Saatnya kita kembali pada aturan Pencipta yakni Allah Swt. yang terbukti selaras dengan fitrah manusia, memuaskan akal serta menghadirkan ketentraman jiwa.
Wallahu a’lam bishowab.
Views: 21
Comment here