Cerpen

Ketika Baitullah Memanggil

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Lia Herawati

Di ruangan ber-AC yang seharusnya dingin, tidak untuk malam ini udara terasa panas dan sesak. Semua orang menangis sesegukan. Bahkan ada yang meronta melampiaskan emosi yang tak terkendali. Semua calon jemaah haji beserta para pengurus trevel merasa sangat marah dan kecewa tiket keberangkatan yang telah dipesan jauh hari ternyata hanya fiktif belaka.
Besok yang seharusnya menjadi hari bersejarah, kini tinggal kenangan.

Saat ini seperti malam muhasabah adik-adik pramuka pada acara api unggun, penuh dengan derai air mata. Para lelaki yang seharusnya tegar, kini bulir bening itu tak kuasa lagi disembunyikan. Terlihat para pengurus berdiskusi mencari solusi yang sesekali mengusap air mata yang jatuh tanpa permisi. Ingin rasanya aku teriak pada mereka. Mengapa bisa terjadi kelalaian seperti ini?

Apakah mereka tidak membeli pada agen resmi? Apa belinya dari seorang calo? Tapi aku tahan, berusaha berpikir positif.
Menyalahkan hanya akan memperkeruh suasana.
Sebagai wanita sosialita, hari-hariku tak terlepas dari kumpul-kumpul, acara arisan, pengajian ibu-ibu, sampai hanya sekadar nongkrong memperlihatkan status.

Pengajian yang seharusnya tempat menuntut ilmu agama, selalu disertai niat lain. Gamis yang harus selalu senada dengan kerudung, tas yang bermerk, dan perhiasan yang tak boleh tertinggal. Astaghfirullah, pantas nasihat-nasihat ustadz dan ustadzah tak pernah mampir dalam kepalaku apalagi mampu merubah hidupku.

“Waaah, Bu Tuti keren banget bajunya. Tampak cantik sekali istri Pak Reno ini.” Dengan bangga hati ini mendengarnya, senyum yang penuh kesombongan dan delik mata yang penuh dengan rasa riya.

**

Minggu lalu menjelang keberangkatan, kami sengaja mengadakan hajatan besar. Di samping meminta doa, terselip dalam hati mengumumkan pada khalayak, bahwa kami bisa berangkat haji dengan ONH (Ongkos Naik Haji) plus. Tak terbayangkan, anggapan orang terhadap keluarga Reno Raharjo, mereka yang menyaksikan pasti akan merasa iri.

“Mah, sebenarnya ga usah lah mengadakan hajatan besar seperti itu, cukup doa bersama dengan keluarga dan kerabat dekat” kata Ratu putri sulungku yang selalu tak suka saat aku terkesan memamerkan status sosial.

“Ya ga apa-apa atuh teh, kan niat Mamah untuk bersedekah juga berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang kurang beruntung” kilahku.
“Tapi ga harus besar-besaran juga kali mah, ngalah-ngalahin pesta pernikahan saja” jawab si sulung

“Entar Teteh kalau nikah Mamah bikinin pesta yang lebih meriah, Teteh mau pesta seperti apa? Nanti pestanya di gedung aja biar mewah.” Dengan mata berbinar, membayangkan waktu itu tiba. Sudah terbayang kemegahan pesta dan gaun indah.

“Ga usah, makasih Mah” jawabnya jutek sambil berlalu.
“Ih, jutek amat, Teh”

**

Pada acara walimatus safar, para undangan terlihat terpukau dengan gamis yang kukenakan dan aku semakin percaya diri dikala mereka membicarakan kemegahan acara ini. Aku menyapa para undangan dan meminta doa semoga senantiasa Allah lancarkan dan mudahkan dalam menunaikan ibadah haji. Tapi, sebenarnya jauh di dalam hatiku merasakan kehampaan. Merasakan sesuatu yang menganggap semua ini tak perlu. Hati kecil ini sepakat dengan apa yang disampaikan Ratu. Namun, ego ini selalu mencari pembenaran. Ini kan islami, ada ceramah agama, santunan, dan membagikan makanan pada tetangga sekitar. Bukankah itu semua bernilai ibadah?

Sengaja memperlihatkan dunia dengan kedok akhirat, mengkambinghitamkan ibadah haji hanya untuk mendapat penghormatan manusia. Betapa hinanya diri ini di hadapan Allah, sehingga pantaslah hamba mendapat kabar tidak baik ini. Namun selain aku, semua calon jemaah haji ini orang baik. Mempunyai niat suci untuk menyempurnakan Rukun Islam, tolong hamba ya Allah biarkan mereka berangkat ke tanah haram-Mu, cukup hamba sajalah yang tertinggal. Mohon pertolonganmu ya Allah.

“Mah … Mamah kenapa? bangun, kita harus ridho dengan segala Qadha Allah”. Suami berusaha menenangkan dan membangunkanku dari sujud. Lalu aku memeluk lelakiku yang selama ini mendapingiku dengan sabar, menerima dengan tulus segala kekuranganku, kadang aku selalu memaksakan kehendakku padanya. Berlaku mendominasi dalam besikap hingga ia selalu mengalah daripada berdebat.
“Maafkan Mamah Pah, Mamah banyak salah. Mungkin ini balasan dari segala kesalahan Mamah selama ini, Mamah ridho Pah kalau memang ga jadi berangkat. Tapi, mereka orang baik ga seharusnya mengalami ini” ucapku dengan air mata yang telah menganak sungai. Suamiku mengelus punggungku menenangkan.

“Yang sudah berlalu biarlah berlalu, Papah sudah memaafkan Mamah sebelum minta maaf. Papah juga banyak salah.”
Salah satu pengurus trevel terlihat berlari keluar hotel, entahlah hendak kemana. Aku berusaha menenangkan salah satu jamaah yang terlihat sangat syok dengan keadaan ini. Seorang Ibu paruh baya yang mungkin seumuran denganku.
“Saya ini orang ga punya bu, boro-boro bermimpi bisa berangkat haji dengan ONH plus pula. Ini adalah rejeki yang tak disangka-sangka dari Allah. Dan tak disangka pula semua ini ternyata hanya mimpi.” Kupeluk erat wanita itu, aku yang penyebab semua bencana ini.

“Ibu-ibu dan bapak-bapak, mari kita bersama bermunajat kepada Allah Swt. Bertawakal kepada-Nya. Semua ini tak lepas dari campur tangan Allah, semua yang telah Dia takdirkan untuk kita adalah bentuk dari kasih sayang Allah. Kadang Allah memberikan kita rasa takut, resah, kesal, bahkan memberikan kita hal yang tidak kita harapkan sama sekali seperti saat ini. Tapi kita harus yakin bahwa semua ini adalah bentuk pertolongan Allah untuk memindahkan takdir satu ke takdir yang lainnya yang lebih baik menurut Allah.” Nasihat Ustadz Budi yang selama dua hari ini mendampingi kami.

Tangis para jamaah pecah, semua meneriakkan keagungan Allah dan kefakiran ilmu kami. Segala kesombongan diri luruh sudah. Tidak ada wanita sosialita, tidak ada direktur, tidak ada pejabat, tidak ada orang kaya dan miskin. Semuanya sama di hadapan Allah tidak ada yang bisa dibanggakan, hanya iman dan takwa yang mampu menghilangkan hijab antaraTuhan dan hamba-Nya.

Malam ini tak ada seorang pun yang bisa memicingkan mata. Kami bersama melaksanakan Qiyamullail, mencoba mengetuk pintu langit agar Allah berkenan memberikan keajaiban. Atau sekadar memberikan rasa tenang pada hati kami. Esok adalah kloter terakhir keberangkatan jamaah haji, rasanya tak ada lagi harapan.
Salah satu pengurus yang sejak malam tidak terlihat keberadaannya, kini dia datang dengan terengah-engah sambil mengangkat amplop berwarna coklat.
“Kenapa? Apa itu?” tanya Mas Dwi pengurus trevel.
“Ada kejutan dari Allah.” Segera diambil amplop tersebut dan dibuka. Matanya membulat dan terlihat berkaca-kaca. Dan tak lama ia langsung sujud syukur.

Mba Sari yang sama-sama pengurus trevel penasaran, lalu ia langsung mengambil amplop yang dipegang Mas Dwi.
“Masya Allah, Allah benar-benar sayang sama kita semua.” Mba Sari menangis memelukku yang sedari tadi aku memang ada di dekatnya.
Kami diminta untuk duduk melingkar, lalu Mas Dwi mengabarkan bahwa baru saja kita mendapatkan tiket untuk ke Mekkah. Ternyata semalaman salah satu pengurus trevel berusaha mengetuk beberapa loket penjualan tiket berharap ada sisa tiket, hampir putus asa dan berniat kembali ke hotel. Namun, tiba-tiba ada kabar dari salah satu agen tiket bahwa ada pembatalan keberangkatan sebanyak 20 pax. Jumlah yang sama dengan jamaah yang kini sedang terombang-ambing.

“Masya Allah, Allahu Akbar.” Tanpa dikomando kami berteriak dengan deraian air mata, tapi kali ini air mata kebahagiaan.

Sesampainya di tanah haram, tak henti-hentinya aku menangis. Menyesali segala dosa dan bersyukur masih diberikan kesempatan menginjakkan kaki di tempat yang suci ini. Dan diberikan kesempatan untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima. Bertekad untuk memperbaiki diri, melakukan semua kebaikan hanya semata-mata untuk mendapat ridha Allah.

Tamat

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 42

Comment here