Genre: Slice of Life
“Afshin, bagaimana kuliahmu, Nak?”
“Alhamdulillah, Afshin bisa mengikuti perkuliahan dengan baik, Bu. Afshin bersyukur bisa kuliah di universitas ternama di Kota Metropolitan ini. Di semester kedua ini Afshin memperoleh beasiswa prestasi karena IPK Afshin paling tinggi di kelas. Untuk biaya semester satu yang dibayarkan oleh Tuan Besar, Inshaa Allah kita ganti saja Bu meskipun beliau tidak meminta kita untuk menggantinya.Tuan Besar sangat baik kepada kita. Kita bisa berada di sini hingga Afshin bisa kuliah, semuanya dikarenakan kebaikan Tuan Besar. Memang itu rezeki kita, Bu. Tapi, alangkah lebih baiknya jika kita bisa mandiri. Afshin janji pada diri Afshin jika tabungan Afshin sudah cukup, Afshin akan segera mengembalikan uang semester satu kepada Tuan Besar. Dari uang gaji mengajar di bimbel, setengahnya bisa Afshin gunakan untuk biaya pulang-pergi ke kampus, setengahnya lagi bisa Afshin tabung. Mohon do’anya ya, Bu!” Afshin memeluk sang Ibu yang begitu dicintainya dengan erat.
“Iya, Nak. Semoga Allah senantiasa melindungimu dan memberikan segala kemudahan atas berbagai urusanmu.”
“Aamiin, Allaahumma Aamiin. Semoga Allah mengijabah do’a Ibu. Aku sayang Ibu.”
Sang Ibu tersenyum mendengar penuturan putrinya. Dalam hatinya bersyukur karena dikaruniai Allah seorang putri yang sholihah.
“Nak,ayo kita hidangkan makanan ini di meja makan! Sebentar lagi Tuan dan Nyonya Besar serta Tuan dan Nona Muda akan sarapan pagi.”
**
“Pa, jawab dulu! Kenapa ada bekas lipstik menempel di baju Papa? Papa selingkuh, ya?” Tuan Besar keluar kamar diikuti oleh sang istri yang sedang marah-marah.
“Sudahlah, Ma. Mama ini bicara apa. Papa baru pulang kerja dini hari tadi. Badan Papa masih capek semua. Mama ini tidak memiliki rasa kasihan sama Papa.”
Tuan dan Nyonya pemilik rumah sedang bertengkar di depan pintu kamar. Dua pasang mata melihat keduanya dari lantai atas dan menunjukkan wajah kesal mereka terhadap apa yang barusan dilihatnya.
“Kak Rangga, lihat itu! Mama dan Papa bertengkar lagi. Apa mereka nggak bosan bertengkar terus? Lidya capek melihatnya.”
Rangga tidak merespon kalimat yang diucapkan oleh adiknya. Sorot matanya yang tajam menunjukkan api kemarahan. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Lidya.
“Kakak!” batin Lidya terasa sesak. Pada akhirnya, dirinya tak kuasa menahan tangis. Kenapa tidak ada ketenangan di rumah ini? Papa, Mama, kenapa kalian selalu bertengkar? Lidya terduduk di lantai dan meratapi nasibnya.
“Kak, mau ke mana?” Lidya mendongakkan kepalanya.
“Bukan urusanmu. Aku tidak akan pulang malam ini. Jadi, tidak perlu mencariku.” Rangga menuruni tangga menuju pintu samping rumah. Dia sengaja mengambil jalan lain supaya tidak bertemu dengan kedua orang tuanya yang pagi-pagi sudah membuat suasana rumah memanas. Sementara, Afshin dan sang Ibu diam membeku di tempatnya. Keduanya juga tidak berani menyapa sang Tuan Muda saat Tuan Mudanya melewati dapur menuju pintu samping.
“Nak, kamu temani Non Lidya, ya. Dia sedang butuh teman bicara.”
“Baik, Bu.” Afshin bergegas menuju lantai atas untuk menemui Nona Mudanya.
“Non Lidya, ayo masuk ke kamar! Mari saya bantu Nona untuk berdiri.”
“Tidak perlu. Menjauhlah dariku. Aku benci sama kamu. Kamu sudah merebut semua orang yang ku sayangi. Mama-Papa lebih sayang sama kamu dari pada aku. Orang yang aku cintai jatuh ke pelukanmu. Kakakku juga jatuh hati padamu. Selamat! Kamu sudah mengambil hati semua orang yang kusayangi.” Lidya berbicara dengan ketus kepada Afshin.
“Tapi, Non. Demi Allah saya tidak pernah melakukannya. Saya tidak mengambil kekasih Non Lidya. Saya tidak pernah mendekati Arga, Non. Tidak ada hubungan spesial di antara kami. Kemudian, saya juga tidak pernah mendekati Den Rangga. Saya berani bersumpah atas nama Allah.” Afshin berupaya memberikan penjelasan kepada nona mudanya. Namun, upayanya itu nampak sia-sia karena lawan bicaranya justru menutup kedua telinganya. Orang yang ada di hadapannya itu tidak mempercayai kata-katanya sama sekali.
“Berhentilah bicara omong kosong kepadaku! Aku lebih percaya pada apa yang aku lihat. Kamu hanyalah anak seorang pembantu di rumah ini. Ku harap kamu ingat siapa jari dirimu baik-baik. Kamu harus ingat posisi kamu. Apa kamu mengerti?” Lidya berbicara dengan penuh amarah kepada Afshin. Sementara, Afshin hanya diam seribu bahasa. Kata-kata nona mudanya itu bak palu besar yang menghantam rongga dadanya. Namun, sekali lagi dia akan mencoba bersabar menghadapi sikap sang nona.
“Papa, tunggu! Apa kamu hendak pergi ke rumah wanita simpananmu itu?” Nyonya Besar memegang lengan kanan suaminya.
“Apa pedulimu bertanya itu padaku? Bukankah mama lebih peduli dengan kelompok sosialita mama? Bukankah mama selama ini lebih suka menghabiskan waktu mama untuk belanja barang-barang kebutuhan mama? Bukankah mama lebih peduli pada penampilan mama? Mana pernah mama peduli sama Papa? Harusnya mama sadar diri. Kenapa seorang suami mencari kehangatan di luar? Semua itu tiada lebih karena pasangannya mengabaikannya. Selama ini Papa bekerja keras mencukupi kebutuhan keluarga ini agar Mama dan anak-anak hidup berkecukupan. Papa tidak ingin melihat kalian kekurangan. Tapi, semua kemewahan ini hanya membuat kalian pongah dan salah arah. Kalian sibuk dengan urusan masing-masing. Mama sibuk dengan dunia mama. Anak-anak tidak tahu tanggung jawabnya.”
“Papa hanya mencari-cari alasan saja. Bukankah selama ini Papa jarang pulang ke rumah? Mama kesepian. Mama tidak mendapat perhatian dari Papa. Maka dari itu, Mama biasa shopping dan berkumpul dengan kawan-kawan Mama untuk melepaskan kebosanan.”
“Omong-kosong. Banyak hal yang dapat Mama lakukan sebagai seorang Ibu. Mendidik anak-anak dengan baik. Lihat anak-anak kita! Mereka tiada lebih seperti sampah yang tiada berguna. Mereka tidak bisa apa-apa. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang manja dan tak paham dengan tanggung jawab mereka. Apa gunanya semua kekayaan ini kalau ternyata kalian justru menjadi orang-orang yang tak paham akan tanggung jawab. Kebiasaan kalian hanyalah menghambur-hamburkan harta saja.”
“Sudahlah, Pa. Papa tidak perlu menjelek-jelekkan mama seperti itu. Kenyataannya, Papa adalah seorang lelaki hidung belang.”
“Apa katamu?” Tuan Besar semakin menunjukkan kemarahannya kepada istrinya. Berharap sang istri meresapi kata-kata yang diucapkannya, justru sebaliknya sang istri semakin menyulut sumbu kemarahan.
“Dengar, kamu mau terima atau tidak, Safina adalah istri muda Papa. Kami sudah sah sebagai suami-istri. Jadi, kami bukanlah pasangan mesum sebagaimana yang kamu biasa tuduhkan.”
“Papa, Mama, hentikan pertengkaran kalian! Lidya sudah tidak tahan lagi mendengarnya.” Lidya berteriak dengan lantang dari tempat dia berdiri. Air matanya menganak sungai. Gadis berusia 18 tahun itu menutup kedua telinganya dengan tangannya dan berlari masuk ke dalam kamarnya.
Air mata Afshin pun bercucuran keluar. Dirinya merasa iba terhadap keempat majikannya. “Memang benar rumah mewah tempat ayah dan Ibu bekerja ini laksana istana, namun dalamnya gersang kasih sayang. Tak ada kepedulian satu sama lain dari Tuan Besar,Nyonya Besar, Tuan Muda, dan Nona Muda. Semuanya terasa hampa. Pada awalnya kemewahan tersebut memberikan kenyamanan pada mereka karena apapun keinginan mereka bisa terwujud. Dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka bisa membeli apa saja yang mereka inginkan. Mobil mewah, baju-baju serba mahal, tas impor yang harganya milyaran, hingga berlian yang harganya sangat fantastik. Tapi, di balik itu hanya nestapa yang mereka rasa.”
Euforia Berujung Nestapa
Banyak manusia berburu kenikmatan dunia
Banyak manusia memenuhi hasrat dan keinginannya
Tapi, semua kenikmatan yang dirasa akhirnya berujung nestapa
Dunia … oh dunia….
Kau begitu mempesona
Banyak orang yang mengerahkan segala daya
Hanya untuk mendapatkanmu karena kau tlah berhasil memikat hati manusia
Tamat
Views: 7
Comment here