Opini

Investasi Asing Menyerbu, Penjajahan Gaya Baru?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dwi Indah Lestari (Pemerhati Persoalan Publik)

wacana-edukasi.com, “Condong yang akan menimpa”. Peribahasa ini tepat rasanya untuk menggambarkan membiarkan investasi asing menyerbu masuk ke dalam negeri ini. Sebab, hal ini akan menghantarkan bahaya yang sangat besar yaitu membuka pintu penjajahan gaya baru.

Presiden Joko Widodo telah secara resmi menunjuk Ridha Wirakusumah sebagai CEO Lembaga Pengelola Investasi atau dikenal dengan nama Indonesia Investment Authority (INA). Ridha telah menetapkan tiga rencana tata kelola Sovereign Wealth Fund yang secara resmi telah beroperasi di Indonesia ini, yang salah satunya adalah menciptakan iklim investasi sehingga para investor dapat masuk ke Indonesia dengan lebih nyaman dan yakin (ekonomi.bisnis.com, 16 Februari 2021).

Dana yang diperoleh dari modal asing yang masuk, nantinya akan digunakan untuk membiayai pembangunan negara termasuk untuk infrastruktur. Menurut Ridha, pada periode awal berjalan, proyek jalan tol akan menjadi sektor yang diutamakan untuk mendapatkan suntikan dana dari investor. Sektor ini dinilai memiliki multiplier effect dan membutuhkan pembiayaan yang tinggi (investasi.kontan.co.id, 6 Maret 2021).

SWF juga menargetkan dana yang masuk nantinya melimpah sehingga bisa menjadi dana abadi yang dapat terus dimanfaatkan hingga generasi mendatang. Dana tersebut akan dikelola secara professional sehingga nilainya akan semakin tinggi. Untuk itu akan dibangun komunikasi dengan stakeholder dan kementerian terkait, agar bisa dilihat asset-asset mana yang bisa dishare dengan investor untuk segera menanamkan modalnya dan bersama-sama mengerjakan proyek infrastruktur yang ada.

Sekilas hal ini memang terlihat menggiurkan. Namun di balik itu semua, ada bahaya besar yang mengancam. Ekonom senior, Faisal Basri mengatakan, SWF Indonesia memiliki resiko yang sangat besar karena mengajak investor asing. Kondisi ini berbeda dengan SWF umum global seperti di Singapura yang menggunakan pendapatan negara untuk investasi memutar perekonomian negaranya. Selain itu proses audit oleh lembaga independen dinilai akan bermasalah mengingat uangnya adalah uang negara (cnbcindonesia, 12 Oktober 2020).

Pembukaan pintu investasi selebar mungkin sebenarnya merupakan kebijakan turunan dari UU Cipta Kerja Omnibus Law. Kondisi ini memang merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam pengaturan sistem ini, kebebasan kepemilikan menjadi hal yang mutlak adanya. Siapapun yang memiliki modal, dapat menguasai apapun tanpa batasan.

Ditambah dengan jeratan utang dan pasar bebas, negara-negara ekonomi lemah kemudian dengan mudah masuk dalam jebakan berbagai perjanjian yang merugikan. Termasuk dengan memberikan kemudahan bagi pihak asing untuk menguasai berbagai asset strategis dan sumber daya alam yang dimilikinya dengan kedok investasi. Kekayaan mereka dikeruk habis-habisan untuk kepentingan para pemilik kapital yang mayoritas berasal dari negara besar.

Jadi alih-alih bisa menyejahterakan rakyatnya, sebenarnya investasi asing telah membuat praktek privatisasi semakin marak terjadi. Sementara rakyat tak lagi bisa menikmati “harta” miliknya sendiri. Bahkan harus membayar mahal untuk bisa merasakannya, seperti listrik, air, BBM dan lain-lain. Begitupun untuk mendapatkan pelayanan publik, mereka harus merogoh kantong dengan jumlah yang tak sedikit, seperti untuk bersekolah atau mendapatkan perawatan kesehatan.
Beban utang ribawi yang tinggi juga membuat negara harus bersusah payah untuk mencicilnya, bahkan hanya untuk bunganya saja. Sementara pasar bebas, telah membuat pasar dalam negeri diserbu barang-barang yang biasanya lebih murah. Padahal produk serupa bisa dihasilkan dalam negeri, namun karena persaingan harga, seringkali barang lokal kalah bersaing dengan barang impor.

Semua itu semakin membuat kondisi perekonomian dalam negeri semakin carut marut. Sementara penguasa seperti tak memiliki jalan keluar yang lain untuk menggerakkan perekonomian, selain meningkatkan pajak, mengendalikan asset yang ada dan membuka kran investasi besar-besaran. Mereka terjebak dengan iming-iming yang dicekokkan para kapitalis bahwa investasi asing akan memberi banyak keuntungan, seperti membuka lapangan kerja, memberikan modal pembangunan, meningkatkan pendapatan dan menjanjikan kesejahteraan.

Padahal membiarkan modal asing masuk ke dalam suatu negeri sebenarnya adalah perangkap yang membuat negeri itu tergantung pada asing dan rakyatnya semakin miskin. Eksistensi negeri itu pun bisa dengan mudah dikendalikan oleh negara asal investor dan memberi jalan terjadinya penjajahan baru. Maka mustahil kesejahteraan rakyat akan mampu diraih dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme.

Hal ini jelas berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang memberikan jaminan kemandirian, bebas dari jeratan utang, investasi asing maupun perjanjian-perjanjian internasional yang berpotensi mengundang dharar. Dalam sistem ekonomi Islam terdapat konsep kepemilikan yang khas yang menjadi hal mendasar yang membedakan investasi dalam Islam dan kapitalisme.

Dalam Islam tidak dikenal kebebasan kepemilikan sebagaimana dalam kapitalisme. Hak suatu pihak menguasai harta harus disandarkan pada hukum syara’ yang memberikan ijin padanya untuk memilikinya. Kepemilikan harta menurut syariat terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Terkait dengan kepemilikan umum, maka Islam menetapkan bahwa masyarakat memiliki hak yang sama untuk dapat memanfaatkannya. Oleh karena itu negara dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk menyerahkan pengelolaannya pada perseorangan atau kelompok. Pengelolaan harta tersebut harus dilakukan oleh negara. Kemudian hasilnya dikembalikan untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Yang termasuk harta milik negara adalah berbagai kekayaan alam yang melimpah seperti air, barang tambang, hutan, padang rumput dan lain-lain. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut:

Dari Ibnu Abbas RA berkata sesungguhnya Nabi saw bersabda; orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir (HR Ibnu Majah).

Begitupun dengan barang-barang yang terkait dengan kepentingan umum, seperti jalan, tol, jembatan, pembangkit listrik dan lain-lain, maka negara pun dilarang untuk menguasakannya pada pihak tertentu baik perseorangan maupun kelompok. Karena hal itu akan menyebabkan masyarakat tidak bisa menggunakannya secara leluasa bahkan harus membayar saat hendak memanfaatkannya.

Negara lah yang wajib untuk mengatur dan mengelolanya secara profesional untuk kemakmuran rakyat. Hal ini dilakukan untuk melindungi berbagai kepentingan masyarakat. Rakyat bisa merasakan berbagai manfaat darinya secara gratis. Dari pengelolaan berbagai asset kekayaan secara mandiri, negara tidak memerlukan investasi asing untuk pembiayaan pembangunan.

Selain memang syariat mengharamkannya, karena Islam tidak membolehkan untuk memberi jalan orang-orang kafir menguasai kaum muslimin. Sebagaimana dalam ayat berikut:

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)

Inilah kehebatan sistem ekonomi Islam, yang akan mewujudkan kemandirian ekonomi negara secara kokoh. Sistem ekonomi semacam ini hanya akan bisa ditegakkan dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah, yaitu khilafah Islamiyah. Di tangan khilafah lah, kemakmuran yang hakiki akan benar-benar terwujud. Wallahu’alam bisshowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 119

Comment here