Oleh : Yani Srisusanti
“Aa, ayo cepat berkemas! Kita harus segera berangkat ke pondok hari ini”, kata Abi. “Iya Bi, bentar, Aa lagi beres-beres dulu buku buat di pondok. Aa kalo sedang ada waktu senggang suka baca buku di asrama”, sahutku. “Iya cepat, nanti khawatir keburu macet”, kata Abi. “Oke Bi, udah”, jawabku cepat, mencegah beliau marah.
Akhirnya aku harus berangkat lagi ke Pondok hari setelah sebulan lalu terpaksa pulang karena kakiku terkena dermatitis. Kata Umiku, dermatitis termasuk salah satu penyakitnya anak Pondok. Sebenarnya ketika sakit kaki itu, aku merasa bersyukur juga. Kegiatan santri yang padat, kemudian rindu rumah dan keluarga yang tak tertahan, akhirnya tersalurkan karena harus berobat pulang akibat kakiku yang berdarah-darah. Kakiku yang berdarah dan bau amis mungkin menjadi makanan yang enak untuk para semut, pernah ketika bangun tidur aku kaget karena sudah banyak semut di kasurku. Waktu itu rasanya ingin menangis sejadi-jadinya, tapi aku anak laki-laki, gengsi menangis di depan ustadz dan teman-temanku.
Empat jam perjalanan Sukabumi-Bogor tak terasa karena selama di perjalanan aku sibuk dengan pikiranku. Ada sedikit rasa malas, kembali ke pondok. Duh, terbayang rutinitas pondok harus bangun jam 3, salat tahajud 11 rakaat dan menghapal Alquran. Siapa sih yang tidak enak tinggal di rumah, bisa berleha-leha, bangun pas azan subuh, muroja’ah, lalu bersantai menunggu belajar daring. “Umi dan Abi, kenapa suruh aku mondok sih!” gumamku. “A, ayo turun, sudah sampai nih! Kok masih bengong”, Umi membuyarkan lamunanku.
Jujur, waktu itu aku belum bisa menerima keputusan Umi Abi untuk mondok. Awalnya aku pun bersemangat pergi ke pondok, tapi pondok tak seperti bayanganku. Ternyata sedih sekali meninggalkan rumah, jauh dari orang tua. Biasanya, aku jauh dari orang tua untuk mabit saja, hanya semalam. Kini aku berbulan-bulan jauh dari Umi Abi, terutama jauh dari Umiku. Kalau di depan Umi aku gengsi, jarang memeluknya, apalagi memberinya kecupan sayang di pipinya. Padahal sebenarnya dalam hati aku sangat menyayanginya. Bahkan, aku menguatkan diri di pondok demi Umi dan Abiku, agar mereka bahagia dan bisa memberi mereka mahkota di surga kelak dengan kerja kerasku menghapal Alquran.
Salawat dan bacaan Alquran sudah menggema di masjid pondok. “Daffa, ayo bangun!” ustaz pembimbing kamar Mesir membangunkanku. Tapi aku merasa lambungku sakit, rasanya mual dan kembung. Aku sampaikan kalau aku sakit lambung. Walaupun sebenarnya aku masih kuat bila memaksakan ke sekolah, tapi aku ingin sedikit memanfaatkan momen agar bisa tetap tinggal di asrama dan tidak usah tahajud, sahur untuk puasa sunnah hari kamis. Ustaz pun percaya, beliau tak mau kejadian sakit kakiku yang parah terulang lagi.
Satu minggu berlalu, aku masih sedikit sakit lambung dan diare. Ketika sedang tiduran di kamar, tak disangka walikelas menghubungi Umi dan Abiku, menanyakan apakah dahulu aku sering sakit-sakitan ketika SMP. Esoknya Abi meneleponku. Beliau marah ketika mengetahui satu minggu aku tidak masuk sekolah karena sakit. Tidak juga mengikuti kegiatan pondok. Beliau mengatakan bahwa aku mengecewakannya. “Aa itu laki-laki, masa sakit diare sedikit saja tidak sekolah? Memangnya sekolahnya jauh?!” Dari nada suaranya aku tahu Abi sangat marah. Beliau tak pernah marah seperti itu.
Setelah puas memarahiku, telepon diserahkan kepada Umi, Umi menanyakan kabarku. Ketika tahu aku tidak ikut belajar di kelas dan kajian-kajian tiba-tiba Umi menangis, ia pun merasa kecewa dan menanyakan apakah aku terpaksa mondok, apakah mondok bukan keinginanku sendiri? Tanpa sadar aku ikut menangis ketika melihat Umi menangis. Pantang bagiku melihat Umi menangis, apalagi menangis olehku. “Umi maafin Aa Mi, Umi maafin Aa”, ucapku sambil menangis. Di ujung telepon umi tak menjawab, ia hanya diam dan terdengar suara tangisannya. Akhirnya telepon ditutup, menyisakan sesal.
“Yaa Allah..aku telah mengecewakan Umi dan Abi”, batinku dalam hati. Sejak saat itu aku bertekad untuk tidak lagi bermain-main dalam masa pendidikanku di pondok. Apalagi ustadz dan kiai di pondok memberikan nasihat betapa pondok merupakan tempat yang diberkahi dan dinaungi para malaikat. Di sana laksana taman-taman surga, karena senantiasa membicarakan tentang Islam, Allah, dan kaum muslimin. Diberikan pula gambaran perjuangan dan pengorbanan kedua orang tua kami yang selalu berusaha memenuhi keperluan kami, membayarkan uang bulanan pondok dan semua yang kami perlukan selama di pondok, Maka aku tak pernah lagi melewatkan kajian dan pembelajaran di kelas.
Qodarullah, menjelang tasmi akbar dan ujian kenaikan kelas kakiku sakit lagi, tapi kali ini tak terlalu parah, aku akan tahan. Aku berusaha untuk sembuh, dan alhamdulillah dua minggu kemudian aku sembuh total. Berkat doa dari Umi Abi dan juga ustaz di pondok. Aku pun bersungguh-sungguh berdoa agar Allah menyembuhkanku.
Enam tahun berlalu sejak aku pertama kali ke pondok. Tibalah saat aku harus meninggalkan pondok tempatku selama ini menuntut ilmu, ditempa mental dan keimananku. Rasa sedih meninggalkan pondok ternyata sama sedihnya ketika aku meninggalkan rumah pertama kali menuju tempat ini. Sahabat-sahabat seperjuangan, susah senang bersama, muroja’ah agar hapalan kami mutqin, berolahraga, atau sekedar jajan untuk persiapan buka shaum setiap hari senin kamis. Aku tak akan melupakan kalian semuanya sahabat-sahabatku. Aku pasti merindukan kalian sahabat terbaikku. Kita berpisah demi meraih cita-cita yang kita pahat bersama di pondok ini. Maka hidup harus terus berjalan, ada perjumpaan ada perpisahan. Itulah kehidupan dunia, semua fana. Semoga kelak kita bersama lagi di surga nan kekal abadi sahabat-sahabatku. Aamiin..
Selepas lulus dari pondok, aku meneruskan sekolah ke perguruan tinggi jurusan pendidikan dokter. Sebagaimana cita-citaku sejak kecil, yakni menjadi dokter yang faqqih fiddin. Berbekal hapalan Alquran 30 juz, dan ijazah SMA-ku, aku diterima di perguruan tinggi negeri di Bandung, jurusan Kedokteran Umum. Suka duka menjadi mahasiswa kedokteran pun kujalani. Umi Abi selalu ada untukku. Mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka punya. Maka aku pun demikian. Nilai IPK-ku selalu cumlaude dan akhirnya bisa lulus tepat waktu. Selama menempuh pendidikan dokter, aku menjalani pendidikan akademik yang terdiri dari Pendidikan Dasar Kedokteran selama 2 semester dan Pendidikan Kompetensi Klinik selama 5 semester, total Pendidikan Akademik kuselesaikan 7 semester. Setelah mendapatkan gelar S.Ked di belakang namaku, aku harus menjalani tahap Pendidikan Profesi selama 4 semester. Ini yang sering disebut menjadi co-ass (co-assistant).
Setelah itu, aku harus menghadapi Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Kedokteran (UKMPPK) yang diselenggarakan Kemristekdikti. Dalam tes ini aku harus mampu mengerjakan tes CBT (Computer Based Test) dan OSCE (Objective Structured Clinical Examination), singkatnya CBT adalah ujian tulis, sedangkan OSCE adalah ujian praktik. Alhamdulillah dengan kesungguhan menyempurnakan ikhtiar, memohon kepada Allah, juga tak lupa meminta doa Umi Abi, akhirnya aku bisa mlewati semuanya dengan sangat baik.
Tibalah saat wisuda, adik-adikku Hasna dan Ghaisan ikut hadir. Hasna sedang menempuh pendidikan farmasi untuk kemudian nanti mengambil pendidikan apotekernya, sedangkan Ghaisan masih menempuh pendidikan SMA sekaligus mondok. Aku berhasil mengukirkan image baik belajar di pondok kepada kedua adikku, hingga mereka pun dengan senang hati mengikuti jejakku mondok. Istimewa dan sangat bersyukur, kakek dan nenek yang sudah sepuh pun hadir turut menyaksikan cucu pertama mereka ini disumpah menjadi dokter. Alhamdulillah, kini ada gelar “dr.” di depan namaku. Cita-citaku dapat terwujud, menjadi dokter dan semoga saleh di hadapan Allah. Berharap ilmuku berguna bagi umat dan agama ini. Umumnya bisa mengamalkan ilmu agar berguna bagi sesama. Namun, perjuangan belum selesai, internship selama 1 tahun masih harus kujalani agar bisa formal memberi manfaat kepada masyarakat. Tapi aku yakin aku bisa menjalaninya, karena “man jadda wa jada”, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil.
[]
Views: 15
Comment here