Oleh Mulyaningsih (Pemerhati Anak dan Keluarga)
wacana-edukasi.com, Cintailah produk dalam negeri. Itulah slogan yang kerap kali selalu terdengar oleh telinga kita. Karena terus saja diiklankan, baik di media televisi ataupun media cetak. Nampak manis terdengar namun fakta yang tersaji amatkah sungguh berbeda.
Bagaikan air dan minyak yang tak akan pernah bersatu. Itulah peribahasa yang pas menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini. Di satu sisi rakyat dianjurkan untuk selalu membeli dan mencintai produk dalam negeri. Namun, di sisi lain ternyata kebijakan yang ada justru memperbesar kran impor. Hampir sebagian produk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari sisi impor ini. Dari kacang kedelai hingga beras semua dipenuhi produk impor. Padahal sejatinya negeri ini lekat dengan julukan zamrud katulistiwa. Gemah ripah loh jinawi, menjadi sebutan yang selalu terngiang-ngiang dalam telinga kita. Namun, sayang seribu sayang kini semua itu hanyalah sebuah sematan belaka tanpa ada arti yang sesungguhnya.
Berdasarkan berita dari salah satu media online menyebutkan bahwa pemerintah akan mengimpor 1-1,5 juta ton beras dalam waktu dekat ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan itu dilakukan demi menjaga ketersediaannya di dalam negeri supaya harganya tetap terkendali. Selain beras, Airlangga mengatakan pemerintah juga akan menjaga ketersediaan daging dan gula.
Di sisi lain, hal senada juga disampaikan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Impor beras tersebut digunakan untuk iron stock alias cadangan. Ia menuturkan impor beras tersebut sudah disepakati, bahkan Kementerian Perdagangan telah mengantongi jadwal impor beras tersebut. (cnn.com, 04/03/2021)
Namun, pada sisi yang lain justru berkebalikan. Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Kementerian Perdagangan serius membantu pengembangan produk-produk lokal. Sehingga, masyarakat menjadi konsumen loyal produk-produk Indonesia. Kalau perlu, gaungkan semboyan benci produk luar negeri. Branding harus melekat agar masyarakat lebih mencintai produk lokal Indonesia dibanding produk luar negeri. Untuk itu, strategi tepat agar mampu mengembangkan pasar menjadi suatu yang penting. Pusat perbelanjaan harus didorong untuk memberikan
ruang bagi produk-produk Indonesia, khususnya UMKM.
“Saat ini 90 persen pelaku ekspor adalah UMKM, namun kontribusinya hanya 13 persen. Artinya kapasitasnya perlu ditambah, perlu diperbesar,” tuturnya.(tempo.co, 04/03/2021)
Melihat dua berita yang tersaji di atas membuat kita bingung. Kebingungan tersebut dipicu karena perbedaan pernyataan yang terucap. Disatu sisi kita diajak untuk mencintai produk dalam negeri namun ternyata kebijakan yang lain justru tidak mendukung hal tersebut.
Dengan kondisi seperti di atas maka amat wajar bila nuansa mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar menjadi sebuah hal yang sia-sia saja. Tak ada artinya apa-apa, bagaikan pemanis di mulut saja. Semua itu seolah makin menguatkan cakar kapitalis di negeri ini. Situasi seperti sekarang ini tentunya patut diduga bahwa kapitalisme liberal menjadi biang atas semuanya. Dengan pemahaman kebebasan tadi maka semua boleh melakukan hal apapun termasuk pada sektor perdagangan ini. Ditambah dengan posisi negara yang absen dari tanggung jawabnya untuk meriayah rakyat. Negara hanya menjadi fasilitator semata yang nantinya memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk para kapital melancarkan misinya. Serta tak lupa mengiupyakan jalan perjanjian-perjanjian yang mendukung.
Amat berbeda dengan pandangan Islam. Bahwa Islam mempuyai konsep yang menyeluruh terkait dengan sekor ekonomi ini. Negara berkewajiban penuh untuk mengayomi dan melindungi rakyat dengan sebaik-baiknya.
Dalam urusan perdagangan, Islam mengatur secara sistemis tanpa memisahkan dengan aspek dakwah dan politik luar negeri. Kontrol khilafah sebagai sistem kenegaraan pada perdagangan luar negeri mutlak diperlukan. Fokus utama bukan pada komoditas yang diperdagangkan antara dua negara, akan tetapi pemilik serta negara asal komiditas. Maka dari itulah kebijakan yang ang ada berdasar pada filosofi mendasar. Sisi perdagangan luar negeri harus tetap dalam koridor syariat. Berikut pula pola interaksi antara negara yang satu dengan lainnya. Atas dasar itulah, setiap warga negara tidak boleh melakukan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa seizin negara (khilafah).
Jika negara ingin mengimpor barang maka ada pertimbangan khusus. Adapun ketentuannya adalah negara mengizinkan kaum muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor produk dari negara-negara kafir. Terhadap kafir Mu’ahad (orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian damai) maka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian baik yang menyangkut komoditi impor maupun ekspor ke negara yang menerapkan Islam kafah. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis. Namun, bagi negara luar yang membuat perjanjian damai dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannya kedalam negeri kaum muslimin.
Terhadap negara Kafir Harbi Fi’lan, yaitu yang secara nyata memerangi Islam dan kaum muslimin, maka mutlak tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada hanya hubungan jihad di jalan Allah. Selain itu Islam mewajibkan negara untuk melakukan penjagaan untuk memelihara stabilitas ekonomi. Negara akan melakukan penjagaan tersebut tidak hanya berorientasi pada sisi keuntungan materi semata, namun demi terwujudnya situasi politik yang stabil. Dan tak lupa agar aktivitas dakwah ke seluruh penjuru dunia tetap berlangsung.
Jadi, akan jelas tampak bahwa hanya dengan terikat pada syariat Islam secara kafah menjadi aspek utama. Sehingga membuat sistem ekonomi Islam selalu terjaga kestabilannya dan menjauhkan dari segala krisis. Nuansa kata cinta dan benci tak lagi menjadi sesuatu yang membingungkan. Cukup melihat pada sandaran utamanya saja, jika sesuai syariat maka tentunya rasa cinta akan terwujud dengan sendirinya. Wallaahu a’lam. [ ]
Views: 5
Comment here