Oleh : Rosi Kuriyah
(Muslimah Peduli Umat)
wacana-edukasi.com, Belakang ini, masyarakat diramaikan dalam medsosnya mengenai penolakan miras sehubungan dengan adanya Perizinan Miras untuk bisa diinvestasikan.
Namun karena menuai kontroversi di tengah masyarakat, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (2/3/2021) mencabut lampiran Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Perpres ini mengatur pembukaan investasi baru industri miras yang mengandung alkohol. (detik.com, 2/3/2021).
Namun demikian, yang dicabut bukan Perpresnya, tetapi hanya lampirannya. Itu pun hanya lampiran Bidang Usaha No. 31 dan No. 32. Pasal 6 ayat 1 Perpres 10/2021 pun tetap berlaku.
Sementara, lampiran Bidang Usaha No. 44 tentang Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan No. 45 tentang Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol juga tidak dicabut. Belum lagi UU Omnibus Law (UU 11/2020) terutama Paragraf 2 Pasal 77 tetap berlaku.
Hal ini berarti peluang investasi miras masih memiliki payung hukum. Jadi peluang untuk melegalkan investasi miras masih ada, meski ditunda.
Dengan demikian, adanya pencabutan lampiran tentang investasi baru miras bukan berarti industri miras menjadi tidak ada. Hanya investasi (industri) baru yang tidak ada. Industri miras yang sudah ada, tetap berjalan. Perdagangan eceran dan kaki limanya juga tetap berjalan menurut peraturan yang sudah ada. Industri dan perdagangan miras diklaim memberikan manfaat secara ekonomi, yakni berupa pendapatan negara.
Dalam sistem Kapitalisme, industri dan perdagangan miras diklaim memberikan manfaat secara ekonomi yaitu berupa pendapatan negara. Tidak memperhatikan apakah hal itu halal atau haram.
Miras dianggap sebagai barang yang bernilai ekonomi karena bisa memuaskan kebutuhan. Sementara industri khamr adalah pemberi jasa yang juga memiliki nilai ekonomi karena bisa memuaskan kebutuhan individu.
Karena itu, jika nilai ekonomi miras dianggap bisa menghasilkan peningkatan pendapatan, dipastikan produksi dan konsumsi miras “semestinya” juga meningkat.
Masalahnya, peningkatan produksi dan konsumsi miras juga akan meningkatkan kerugian akibat konsumsi miras dalam berbagai bentuknya, dan ini sangat berbahaya.
Dengan konsep ekonomi kapitalisme ini, tak hanya miras, tapi barang dan jasa haram lainnya juga akan dibiarkan di tengah-tengah umat. Produksi dan distribusinya akan difasilitasi karena dianggap bernilai ekonomi.
Padahal banyak dampak keburukan dari miras ini di antaranya membuat manusia menjadi tidak waras, memicu kejahatan, pencurian, perzinaan bahkan pembunuhan dan lain-lain. Karena sejatinya Miras adalah pangkal dari kejahatan.
Terbukti, komunitas yang mengurangi jumlah gerai alkohol di wilayahnya, menunjukkan penurunan yang konsisten dan signifikan dalam kejahatan terkait alkohol.
Tak pelak, di negeri ini juga banyak fakta yang menegaskan kaitan erat konsumsi miras dengan kasus kejahatan. Di Papua, kriminalitas yang terus meningkat juga dipicu miras. Belum lagi di Sulawesi Utara, pada 2011, 70 persen kriminalitas di sana juga dipicu miras.
Kasus terbaru, seorang oknum polisi dalam keadaan mabuk menembak empat orang. Tiga di antaranya meninggal, salah satunya anggota TNI. (kompas.com, 26/2/2021).
Masalahnya, peningkatan produksi dan konsumsi miras juga akan meningkatkan kerugian akibat konsumsi miras dalam berbagai bentuknya, dan ini sangat berbahaya. Belum lagi kerugian lain dalam bentuk kejahatan, turunnya produktivitas, dan kerugian sosial lainnya.
Tak hanya itu, konsumsi miras juga erat kaitannya—bahkan memicu—dengan tindak kejahatan dan kekerasan.
Oleh karena itu dalam aturan Islam menegaskan dan memperingatkan bahwa miras (khamr) mendatangkan banyak kemudaratan. Allah Swt. juga menyifati khamr dan judi dengan rijsun (kotor), perbuatan setan, dan sebagainya.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah: 90).
Miras tidak hanya merusak pribadi peminumnya, tapi juga menciptakan kerusakan bagi orang lain. Mereka yang sudah tertutup akalnya oleh miras berpotensi melakukan beragam kejahatan.
Tak heran jika Rasulullah saw. menyebut khamr sebagai ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan), “Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya.” (HR. ath-Thabarani).
Rasul saw. juga bersabda, “Khamr adalah induk keburukan. Siapa saja yang meminum khamr, Allah tidak menerima salatnya 40 hari. Jika ia mati, sementara khamr itu ada di dalam perutnya, maka ia mati dengan kematian jahiliah.” (HR. ath-Thabarani, ad-Daraquthni, dan al-Qudha’i).
Islam juga melarang total semua hal yang terkait khamr, mulai dari pabrik dan produsen miras, distributor, penjual hingga konsumen (peminumnya).
“Rasulullah saw. telah melaknat terkait khamr sepuluh golongan: pemerasnya; yang minta diperaskan; peminumnya; pengantarnya, yang minta diantarkan khamr; penuangnya; penjualnya; yang menikmati harganya; pembelinya; dan yang minta dibelikan.” (HR. at-Tirmidzi).
Sementara itu, Islam menetapkan sanksi hukuman bagi orang yang meminum miras berupa cambuk 40 kali atau 80 kali. Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan, “Rasulullah saw. mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR. Muslim).
Jadi dalam Islam, miras haram dan harus dilarang secara total dan tidak dijadikan investasi di dalam negara. Hal itu hanya bisa terealisasi jika syariat Islam diterapkan secara kafah dalam naungan Daulah Islam.
WalLahu ‘alam bishshawab.
Views: 0
Comment here