Oleh : Dewi Sartika
Polres Tanjung Balai, Sumatera Utara menangkap seorang pria berinisial Z (47) yang tega menghamili anak kandungnya berusia 14 tahun hingga melahirkan seorang bayi perempuan, (cnn.indonesia.com).
Kapolres Tanjung Balai AKBP Putu Yudha Prawira melalui Kasubbag Humas Iptu Ahmad Dahlan Panjaitan, Sabtu, mengatakan bahwa pelaku menyetubuhi anak kandungnya itu sejak awal tahun 2020.
“Saat ini korban telah melahirkan secara normal seorang anak perempuan di sebuah klinik bidan di Kota Tanjung Balai,” katanya.
Di hari yang sama di tempat yang berbeda
Kapolres Meranti, AKBP Eko Wimpiyanto Hardjito SIK melalui Kapolsek Merbau, IPTU Sahrudin Pangaribuan SH, melakukan penangkapan pelaku pencabulan anak tiri isetelah mendapat laporan, tim langsung bergerak. Tak menunggu lama, keberadaan terduga pelaku langsung diketahui. Tepat Senin malam, Iis berhasil diamankan di Jalan Kampung Tengah RT 001 / RW 005 Desa Dedap Kecamatan Tasik Putri Puyu
MERANTI- Pria inisial F alias Iis, warga Dedap Kecamatan Tasikputri Puyu Kepulauan Meranti, Riau, ditangkap polisi, Senin (11/1/2021) kemarin. Pria berusia 28 tahun itu harus berurusan dengan hukum karena terlibat kasus pencabulan terhadap anak tirinya.
Iis dilaporkan oleh istrinya sendiri. Laporan itu teregistrasi dengan LP/03/I/2021/Riau/Res. Kep. Meranti/Sek. Merbau, tanggal 11 Januari 2021.
Dua kasus di atas menambah deret panjang kasus kekerasan seksual di negeri ini. Dari rahim sekulerisme akan terus lahir bibit baru pelaku pelecehan seksual, jika akar masalah tak segera dituntaskan niscaya kasus pelecehan seksual anak dan perempuan pun akan terus bertambah
Demokrasi melahirkan sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya dipakai mengatur di ranah ibadah saja, sementara rumah tangga, pergaulan, ekonomi, politik, pemerintahan.
Manusia menganggap dirinya mampu mengatur manusia lainya. Negarapun tak mampu memberi sanksi tegas bagi pelaku kekerasan seksual, yang dapat memberi epek jera bagi pelaku kekerasan seksual tersebut yang mana pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab (hukum rajam, atau jilid sebanyak 100 kali, atau diasingkan selama satu tahun.hukuman pun dilakukan dengan disaksikan di hadapan orang mukmin yang banyak. sejatinya yang paling mengetahui potensi yang ada di dalam diri manusia hanyalah penciptanya yaitu Allah Swt. sepatutnya sumber hukum harus berasal dari pencipta manusia itu sendiri.
Setahun sudah pandemi belum juga berlalu. Bukan hanya berdampak pada ketidak stabilan ekonomi global, faktanya pandemi juga telah menimbulkan problem sosial, khususnya dalam interaksi masyarakat dan keluarga.
Sejatinya pandemi yang membatasi mobilitas manusia tak pelak mengubah kondisi interaksi keseharian dalam keluarga. Terlebih keluarga yang dibangun dalam sistem sekuler dan tumbuh jauh dari nilai-nilai agama, amat rentan terlebih dalam situasi yang serba tak jelas seperti saat ini.
Tak sedikit relasi suami istri yang mengalami guncangan, apalagi saat ekonomi rumah tangga diterjang pandemi. Tak dipungkiri, ambruknya ekonomi global turut berdampak pada ekonomi rumah tangga. Kondisi ini diperparah dengan terkikisnya pemahaman agama akibat sistem hidup yang memisahkan agama dari kehidupan. Interaksi antara anggota keluarga dalam sistem kehidupan yang minus aturan agama ini, membuat kita harus menyaksikan fakta yang tak seharusnya terjadi.
Sebut saja kasus pemerkosaan ayah kandung terhadap anaknya sendiri, maupun anak tiri, pemerkosaan kakak terhadap adiknya, dan problem (seksualitas) yang melanggar apa yang telah diharamkan Allah Swt.
Parahnya, negara sebagai institusi yang diharapkan hadir untuk menyelesaikan berbagai kasus ini, tak mampu memberikan solusi tepat dan menyelesaikan masalah ini hingga tuntas.
Sebagaimana dikutip dari cnn.com, jumlah kasus perkosaan dalam keluarga di Indonesia selalu tinggi, meski untuk pertama kalinya dalam lima tahun angka ini menunjukkan penurunan kasus—dari rata-rata lebih dari 1.000 kasus per tahun menjadi 215—selama pandemi virus Corona 2020.
Tapi itu bukan kabar baik. Menurut Komisi Nasional Perempuan Indonesia (Komnas Perempuan), masa pandemi menciptakan tantangan baru bagi korban perkosaan dalam keluarga untuk mencari keadilan.
Pelayanan dari institusi yang memberi pendampingan bagi korban juga terbatas saat pandemi. Korban “terjebak” di dalam rumah bersama pelaku dan menanggung berbagai ancaman.
Isu ini pun tentu tak dilewatkan para pejuang feminis untuk menggulirkan isu disparitas gender. Pejuang kesetaraan gender yang memang mengasosiasikan rumah tangga sebagai salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan, kembali mendapat momentum untuk terus menyuarakan pembebasan kaum perempuan dan anak, terlebih lagi di tengah peringatan hari perempuan internasional.
Berbalut baju perjuangan ini, kaum feminis hadir di tengah-tengah kaum perempuan. Dalam berbagai aksinya, para feminis tak pernah luput menempatkan ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan sebagai masalah utama terjadinya kekerasan seksual.
Mereka mengatakan, ada konstruksi seksualitas di masyarakat patriarki yang mewajarkan laki-laki bersikap agresif terhadap perempuan dan anak.
Kesalahan mengidentifikasi masalah membuat aktivis gender salah dalam menghadirkan solusi. Ketimpangan gender yang dianggap sebagai akar masalah membuat mereka merumuskan solusi kesetaraan gender.
Bukannya mengidentifikasi masalah mengapa kekerasan seksual dialami perempuan dan anak dalam institusi keluarga, mereka justru disibukkan dengan tuntutan kesetaraan gender.
Bukannya menawarkan solusi bagaimana selayaknya relasi antaranggota keluarga yang mampu mewujudkan kehidupan keluarga yang harmonis, mereka justru menuding superioritas laki-laki di tengah-tengah keluarga sebagai biang kekerasan seksual.
Cara berpikir seperti ini, terang saja menunjukkan kekacauan berpikir feminis. Ada kontradiksi yang sangat jelas antara tuntutan mereka dan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Lantas, bagaimana Islam melindungi perempuan dan anak dari pemerkosaan dalam institusi keluarga?
Kontradiksi antara tuntutan dan realitas dalam frame berpikir feminis di atas tak lain diakibatkan pola berpikir sekuler yang menempatkan kebebasan individu di atas segalanya. Di satu sisi mereka menginginkan agar perempuan dan anak bebas dari kekerasan seksual, namun di sisi lain mereka juga mengkampanyekan kebebasan individu yang memicu bangkitnya naluri seksual.
Hal ini berdampak pula pada tuntutan mereka ke negara sebagai pembuat regulasi. Mereka menuntut keadilan dan kesetaraan gender dengan logika bahwa jika kesetaraan gender ini terwujud, secara otomatis akan mereduksi kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Sayangnya, setelah kurang lebih seperempat abad berjuang mewujudkan kesetaraan gender, realitas yang terjadi justru kekerasan seksual meningkat bahkan saat kaum perempuan telah menempati posisi strategis yang selama ini hanya diduduki kaum pria.
Perlindungan sejati bagi perempuan dan anak dalam konsep relasi keluarga sesungguhnya telah diatur dalam Islam. Allah Swt., Zat Yang Mahatahu ini telah menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan sekaligus menurunkan seperangkat hukum syariat untuk mengaturnya.
Aturan itu secara garis besar sebagai berikut:
Pertama, Islam mencegah dan meminimalisir terjadinya kekerasan seksual dengan mengatur sistem pergaulan melalui mekanisme yang khas. Di kehidupan umum, Islam mendudukkan kaum perempuan sebagai mitra laki-laki dalam kehidupan domestik dan publik.
Rasulullah saw. bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal (Perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki).”
Di rumah tangga, mereka seperti dua orang sahabat yang saling bekerja sama dalam mendidik generasi. Dalam kehidupan publik mereka adalah mitra sejajar dalam memajukan masyarakat.
Kedua, Islam juga merintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutupi auratnya dan menjaga kemaluannya. Bahkan dalam lingkup keluarga sekalipun yang notabene merupakan kehidupan khusus (hayatul khasshah), Islam mengatur privasi masing-masing anggota keluarga.
Ketiga, dalam Islam juga diperintahkan untuk memisahkan tempat tidur anak-anak saat mereka berusia tujuh tahun termasuk melarang laki-laki dan perempuan tidur dalam selimut yang sama. Hal ini menutup celah terjadinya interaksi jinsiyah/seksualitas yang diharamkan Allah SWT, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Keempat, dalam Islam berlaku pula aturan mengenai izin saat hendak memasuki rumah. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu : sebelum salat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang isya, itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu…” lalu di akhir ayat tersebut Allah SWT juga berfirman, “..Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin... (QS. An-Nuur : 58-59)
Imam Abu Dawud menuturkan riwayat sebagai berikut: Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah aku harus meminta izin kepada Ibuku?” Beliau menjawab, “Tentu saja.” Laki-laki itu kemudian berkata lagi, “sesungguhnya ibuku tidak memiliki pembantu selain diriku. Lalu, apakah setiap kali aku masuk rumah harus meminta izin?” Rasulullah balik bertanya, “Apakah kamu senang melihat ibumu telanjang?” Laki-laki itu pun berkata, “Tentu tidak.” Selanjutnya Rasulullah saw. bersabda, “Karena itu mintalah izin kepadanya.”
Inilah upaya preventif dalam Islam untuk menghindari terjadinya interaksi seksual dalam keluarga.
Di ranah publik, Allah melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki. Terjadinya pemerkosaan dalam institusi keluarga tak lepas dari realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Aurat yang diumbar secara bebas, interaksi tanpa batasan serta aktivitas yang merusak akhlak telah berkontribusi dalam memengaruhi pikiran seorang ayah untuk memerkosa anaknya, atau seorang kakak laki-laki memerkosa adiknya sendiri.
Untuk menangani masalah seksualitas dalam institusi keluarga, negara wajib hadir untuk menjalankan hukum yang jelas dan tegas. Menghukum pelaku pelecehan seksual, pemerkosaan, dan sejenisnya dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam.
Negara juga wajib mengawasi pemilik media untuk tidak menyebarkan konten yang berisi hal-hal yang membangkitkan naluri seksual dan akan menindak tegas jika melanggar syariat.
Dengan aturan dalam kehidupan khusus dan kehidupan umum ini, Islam menjadi satu-satunya sistem yang memberikan kepastian perlindungan bagi perempuan dan anak dari kekerasan seksual dalam institusi keluarga.
Wallahua’lam bishowab.
Views: 49
Comment here