Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns (perawat)
Wacana-edukasi.com Setahun sudah pandemi covid-19 melanda negeri ini. Krisis multidimensi yang tidak bisa dianggap sepele, angka kemiskinan yang kian menanjak, pontang pantingnya dunia medis, seolah menjadi menu sehari-hari yang mungkin sudah terkesan basi bagi kebanyakan orang. Masyarakat sudah jenuh. Tuntutan hidup yang tak pernah surut, sementara lapangan kerja makin rapat tertutup. Tak heran jika pada akhirnya dampak yang ditimbulkan pun merembet ke berbagai sektor, tak terkecuali sektor kesehatan masyarakat.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menyebut masa pandemi Covid-19 menjadi penyumbang lahirnya kasus gizi buruk baru di sejumlah daerah, bahkan angka stunting (gagal tumbuh) di Provinsi Banten kini mencapai 23 persen, mendekati angka stunting nasional yang mencapai 27,6 persen dari jumlah anak yang ada (antaranews.com, 12/03/21).
Pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai penanggung jawab percepatan penurunan stunting, mencanangkan beberapa langkah strategis, diantaranya adalah mulai memetakan data individu dan kelompok beresiko seperti remaja, ibu hamil, yang akan diberikan sosialisasi hingga pendampingan.
Selain itu, menurut Agus Suprapto selaku Deputi 3 Menko PMK, upaya penanganan stunting juga bisa dilakukan oleh masyarakat umum dan aparat wilayah setempat. Salah satunya melalui kegiatan surveilans atau pemantauan lingkungan untuk melihat keadaan masyarakat sekitar. Penanganan stunting seperti itu pasti bisa dilakukan dengan baik, menurutnya. Dikarenakan bangsa Indonesia memiliki jiwa gotong royong yang tinggi. Masalah-masalah disekitar terkait gizi pada ibu hamil pasti bisa diatasi bersama (kemenkopmk.go.id, 03/02/21)
Sebenarnya Indonesia bukan satu-satunya negeri yang menyandang angka stunting diatas standart yang ditetapkan WHO. Kasus gizi buruk, kelaparan, terus menghantui generasi dibawah kepemimpinan kapitalisme. Hal ini menunjukkan rusaknya sistem ekonomi neolib kapitalisme yang telah memberikan karpet merah kepada para pemilik modal untuk menguasai sektor pangan.
Ditambah, adanya kapitalisasi sektor kesehatan yang sudah menjadi rahasia umum. Bukan hal yang aneh jika solusi yang diberikan pun terkesan setengah hati. Semakin menunjukkan berlepas tangannya mereka dari kewajiban. Mengalihkan tanggungjawabnya kepada masyarakat atas nama gotong royong. Tidakkah cukup untuk dikatakan sebagai kedzoliman?
Miskinnya visi negara terharap generasi, sama saja berjalan menuju kehancuran. Generasi yang lemah secara fisik, hingga mempengaruhi tumbuh dan kembangnya, bagaimana mungkin mampu menjadi generasi penegak kejayaan peradaban. Ini hanya persoalan dari sisi kesehatan. Belum lagi jika kita berbicara pendidikan yang rumit, negara seperti kehilangan arah untuk mewujudkan generasi berkualitas.
Semua fakta ini seharusnya menyadarkan kita. Kesempitan demi kesempitan hidup tidak akan pernah ada habisnya tatkala akar persoalannya tidak tersentuh. Sebagaimana firman Allah :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” (QS. Ath-Thaha: 124)
Kita semua tahu bahwasannya aturan yang diterapkan sebagai solusi atas seluruh permasalahan kita hari ini bukan aturan yang bersumber dari Allah. Maka berpalingnya kita dari aturan dan peringatan Allah merupakan akar persoalannya.
Tidakkah kita mau belajar, dari sejarah para pendahulu, dari masa ke masa, bahwa kualitas generasi adalah aset bangsa. Bahwa estafet pembangun peradaban tidak mungkin jika tidak diwariskan. Lalu peradaban seperti apa yang akan terwujud dari generasi penopang yang rapuh dan minim kualitas?
Tidakkah hati kita tergerak, untuk kembali kepada seruan dan peringatan Allah? Tidak cukup menderita kah kita hari ini, sehingga masih diam berapangku tangan? Sungguh Allah tidak pernah salah menyematkan gelar kepada kita :
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..” (QS. Ali-Imran: 110)
Maka tinggal bagaimana langkah kita. Apakah terus diam dan menahan segala pedih luka akibat tidak mengindahkan peringatan Allah, ataukah kita bergerak dan berubah hingga Allah mengubah nasib kita, sebagaimana janji Allah dalam surat Ar Rad’u ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri”.
Wallahu alam bi shawab
Views: 1
Comment here